"Selamat malam, Pak Yusuf. Sedang apa?" Suara Fery bertanya pada Yusuf. Aku tak melihat seperti apa wajah Fery saat menyapa Yusuf aku membuang pandangan ke area liar. Aku tak sudi memandang wajah Fery yang selalu merasa menang saat bertemu denganku."Selamat malam, Pak Fery. Kebetulan saya sedang makan malam." Suara Yusuf menjawab. Aku tak tahu entah mereka berjabat tangan atau saling menyapa dengan senyuman, karena sungguh aku enggan melihat wajah mantan suamiku itu."Dengan, Mia?" Lagi, Fery terdengar bertanya seperti ragu. Akh telingaku rasana panas mendengarnya. Apalagi saat suara gelak tawa mengiringi setiap pertanyaan yang terdengar dari mulut Fery."Iya benar. Apa ada yang salah? Atau Pak Fery mau bergabung?" Yusuf terdengar menawarkan. "Tidak! Saya tidak mau!" Gegas aku memotong dengan menolaknya."Loh, kenapa?" Yusuf bertanya. Sementara Fery tampak mengulum senyum penuh misteri."Mohon maaf, Pak. Saya tidak mau makan malam bersama dia," jawabku dengan tegas pada Yusuf. Apa
Aku merasa ada yang menusuk jantung dengan tajam melihat kondisi, Khaila. Ternyata ada yang lebih pilu selain kisah hidupku. Nasibku dan Khaila tak jauh berbeda, hanya saja aku lebih mampu mengandalikan diri dibanding Khaila yang saat ini terpuruk dan depresi."Khai, jangan bicara begitu lagi. Reynaldi sudah pergi jauh. Dia tak akan kembali. Kamu jangan lagi memikirkannya. Ada Mas Yusuf yang akan selalu menemani kamu di sepanjang waktu," tutur Yusuf dengan lembutnya. Ia terus saja mengusap rambut Khaila dengan lembut.Namun, wajah Khaila seketika terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Ia menunduk sambil menggelengkan kepala. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas kain baju yang ia pakai. Perutnya nampak membuncit. Kehamilannya sudah terlihat jelas."Tidak, Mas. Jangan begitu. Mas Reynaldi masih hidup. Tapi wanita itu telah membunuhnya. Wanita itu yang telah mengambilnya dariku. Wanita sialan! Bresngsek!" Khaila menjadi histeris. Ia berteriak sekuat tenaga dan membanting setiap
"Saya tidak pantas, Bu. Saya hanya lulusan SMA. Saya juga belum pernah menjadi asisten pribadi." Aku mencoba menjelaskan. Aku merasa ada yang aneh."Mba Mia akan diajarkan. Coba saja dulu. Lagi pula segala sesuatu tak akan tahu kalau belum dicoba." Bu Anjani masih dengan permintaannya."Tapi, Bu-"Belum sempat lidah ini kembali melanjutkan penolakan, seketika Bu Anjani memotong."Saya tidak mau ada penolakan karena ini tujuannya baik. Mba Mia, akan mulai menjadi asisten pribadi Mas Yusuf mulai besok." Bu Anjani memberikan surat kuasa kepadaku."Ambilah surat ini untuk nanti berikan pada ketua office girl sebagai laporan kalau tugas Mba Mia telah dialihkan," imbuhnya seraya menyodorkan surat itu.Aku tetap merasa berat menerimanya. "Tapi, Bu-""Sudahlah, Mba Mia. Semua akan lebih baik dari sebelumnya," tekan Bu Anjani dengan yakin.Aku menghela napas berat. "Terima kasih atas kepercayaan Bu Anjani pada saya. Saya berjanji tak akan mengecewakan semua kepercayaan yang Bu Anjani berikan k
Dalam perjalanan pulang. Suasana jalanan yang ramai oleh lalu lalang dengan kendaraan. Sementara aku, menepikan kendaraan roda duaku di depan toko souvenir. Aku masuk dengan langkah penuh semangat ke dalam toko yang terlihat mewah. Aku mulai memilih satu persatu barang mewah yang ada di sana.Kulihat harga yang tertera semuanya mulai dari satu juta sampai puluhan juta. Gegas kumengintip isi amplop yang ada di dalam tas selempangku. Kuhitung lembaran uang kertas berwarna merah di dalam amplop. Isinya terhitung dua puluh lembar. Sepertinya aku bisa membeli harga dikisaran satu juta setengah. Sisanya yang lima ratus ribu rupiah bisa aku gunakan untuk membeli bensin dan makanan sebelum gajian nanti.Pilihanku jatuh pada midi dress cantik senilai satu juta setengah. Aku segera membawa dress itu ke kasir. Aku bungkus dengan kotak kado berwarna merah muda, persis seperti warna gaun yang ada di dalamnya. Pegawai toko juga menghias kotak kadonya dengan rapih dan indah dipandang.Gegas aku memb
Aku diam. Namun beberapa saat kemudian memberanikan diri untuk berbicara lagi."Saya juga benci manusia pengkhianat. Saya bahkan sudah dua kali merasakan sakitnya." Aku menimpali.Yusuf tampak membeliak ke arahku. Sepertinya aku paham. Aku pernah mendengar kabar yang berhembus dari teman sesama office girl tempo lalu. Kabar yang mengatakan kalau Yusuf juga sempat dikhianati istrinya sebelum meninggal. Menurutku wajar saja kalau saat ini Yusuf benci tentang pengkhianatan karena dirinya dan Khaila merupakan korban."Maka dari itu saya tegaskan sama kamu, Mia. Bekerja dengan baik, jujur dan amanah. Saya tidak suka dengan orang-orang pendusta," tekan Yusuf terdengar menantangku."Iya, Pak. Saya tak akan mengecewakan kepercayaan yang telah diberikan," balasku meyakinkannya.Dia kembali tersenyum walau sedikir tipis. "Oh iya, bagai mana dengan rumah kamu yang terbakar? Apa pelakunya sudah tertangkap?" Tiba-tiba Yusuf bertanya seperti itu kepadaku.Aku sedikit tercengang mendengarnya. "Pak Y
"Pak!" Aku menyadarkan Yusuf yang mematung dalam beberapa detik."Sorry!" Yusuf mengusap wajahnya dengan kasar. Dia memperbaiki kembali pandangannya. Terlihat menyembunyikan sesuatu yang bisa aku lihat."Pak Yusuf, kenapa? Kok tiba-tiba kaku begitu," tanyaku merasa aneh."Tidak apa-apa. Hanya saja saya tak dapat mengingat penuturan kamu tadi," elak Yusuf."Pria yang saat itu di depan taman, Pak. Saya melihat Pak Yusuf memberikan amplop." Aku berusaha memulihkan ingatan Yusuf."Oh iya saya ingat. Saya sempat menyuruhnya membakar mobil Reynaldi. Saya benci dengan benda yang merupakan saksi bisu perselingkuhan. Saya menyuruh orang itu membakarnya. Saya memberi upah kepadanya," jelas Yusuf.Aku manggut-manggut. Ternyata kecurigaanku salah. Aku sempat merasa curiga saat mendengar kata membakar. Ternyata Yusuf memang membakar sesuatu dan bukan rumahku."Memangnya apa yang kamu pikirkan sampai kamu mencurigai wanita itu dan membuntutinya?" Kini, Yusuf yang bertanya kepadaku."Awalnya saya cu
Bu Anjani terus melajukan mobil mewahnya. Sementara aku yang tengah duduk di sampingnya, kembali diam. Menjadi Asisten orang besar seperti Yusuf memang harus terlihat perfect. Tadi pagi pun aku sempat merasa minder.Saat ini mobil Bu Anjani telah berhenti di depan sebuah butik ternama di kota Jakarta. Aku dan Bu Anjani segera melepaskan safety belt kemudian turun dari mobil.Kami berdua masuk ke dalam butik yang isinya adalah pakaian-pakaian mahal dan bagus."Bu, kalau hanya sekedar membeli pakaian kantor, saya bisa pergi ke toko biasa," ucapku di tengah-tengah Bu Anjani memilihkan pakaian."Saya sudah biasa ke butik ini. Jadi sudah percaya dengan kualitas butik ini," jawab Bu Anjani.Aku manggut-manggut sebagai kode paham. Orang kaya seperti Bu Anjani memang tak mungkin membeli pakaian di toko biasa. Ya sudahlah, mau mahal atau pun murah, toh bukan aku pula yang bayar.Tak lama, Bu Anjani selesai memilih beberapa setel pakaian kantor untukku. Aku sudah memakainya satu setel untuk har
Yusuf langsung keluar dari mobilnya tanpa menunggu persetujuan dariku."Huhh, dia begitu lagi. Seenaknya," protesku sendirian di dalam mobil karena aku belum keluar juga."Ayo keluar!" Yusuf berteriak dari luar mobil."Iya!" Sahutku dari dalam.Gegas kulepas safety belt. Aku menarik handle pintu lalu keluar dan berjalan mengikuti langkah Yusuf di depanku.Aku masuk ke dalam butik yang berbeda dengan tadi siang. Butik yang Yusuf kunjungi berisi gaun-gaun mewah yang terpajang di setiap sudut. Gaun-gaun yang sudah bisa ditaksir harganya pasti mahal. "Selamat malam, Pak Yusuf. Ada yang bisa saya bantu?" Wanita dengan pakaian sopan dam rapih menyapa Yusuf seraya menautkan kedua tangan terlihat sangat menghargai kedatangan kami."Malam," balas Yusuf singkat. Sementara aku, hanya berusaha mengukir senyuman hangat dan ramah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Wanita itu bertanya dengan ramah. Senyuman lebar tak terlepas dari bibirnya. Sepertinya sudah mengenal Yusuf sebelumnya."Tolong pakaian