Dari hari ke hari isu mengenai orang-orang komunis yang membuat keonaran semakin senter terdengar. Akan tetapi, Pada Suka yang terlalu lugu, terlalu kolot, tidak pernah sampai berpikir jika desa mereka akan disentuh orang komunis yang jahat itu. Pada Suka terpencil, hampir terasing. Selain itu, mereka tidak punya urusan apalagi masalah dengan orang komunis. Mereka juga miskin. Tidak ada sesuatu hal pun di Pada Suka yang cukup menarik perhatian orang komunis. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa orang-orang komunis itu adalah bagian dari mereka.
Pada suatu hari beberapa orang dari kota datang mengunjungi rumah Pak Mantri. Mereka berasal dari Semarang. Dua orang perempuan muda dengan seorang pria paruh baya yang memiliki bekas luka memanjang di lehernya. Mereka memperkenalkan diri sebagai teman lama Bu Mantri. Setelah mempersilakan tamunya masuk, Pak Mantri yang tahu siapa sebenarnya orang-orang ini meminta diri dengan beralasan ada janj
Mardian adalah seorang pria yang tahu persis apa yang diinginkannya. Tak ada sesuatu hal pun di dunia ini yang paling dia inginkan selain diakui keberadaannya oleh semua orang. Oleh karena itulah dia bertekad menundukkan semua orang, menjadikan mereka boneka yang dapat dikontrol nasibnya. Pertama-tama dia membangun citra sebagai seorang korban. Lemah, rapuh, tak berdaya. Dia memainkan perannya dengan sangat apik. Orang yang menderita sekaligus sebagai pembuat derita. Dengan berani Mardian menyelinap keluar rumah pada suatu malam lalu mencuri senapan Pak Mantri yang biasa digunakan untuk memburu babi hutan perusak kebun singkong warga. Setelah mengisikan beberapa butir peluru, Mardian berjinjit keluar dari gudang dan berlari meninggalkan Pada Suka. Sebelumnya dia telah mendengar berita mengenai penyerbuan komplotan komunis di gunung sebelah utara yang dipimpin oleh pamannya, Kolonel Sudarto atas perintah langsung dari Jendral Sumarto. Dengan nyala lampu senter ditangan Mardian be
“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudmu, Mardian?”Mardian mengembangkan senyum lugu. “Aku tidak tahu. Kardi, pamanku yang terkutuk yang mengatakan itu padaku. Tapi, setelah kupikir-pikir, mungkin dia ada benarnya. Surga itu sepertinya memang tidak ada. Dunia telah begitu kacau balau. Bukan karena zaman semakin modern. Melainkan karena manusianya sudah tak saling peduli. Dan soal penderitaan, bahkan dalam keadaan yang paling buruk sekalipun seperti saat ini kita masih bisa tersenyum bahkan tertawa. Lalu penyesalan. Benarkah seseorang benar-benar menyesali perbuatannya bukan karena terpaksa atau hal lain? Aku ragu soal itu. Sebab, yang kulihat, seseorang berlutut dan meneriakkan penyes
Mardian mendongak. Malam memang telah menghilang, gumpalan awan gelap bertepi merah menyala terseret di belakangnya. Fajar menyingsing di ufuk timur. Suara lesung mulai terdengar bertalu-talu.“Mardian, Nak, apa kau mendengarku? Nak, ini Paman. Kau berjanji pada Paman akan bertahan, Paman sudah mengikuti semua kemauanmu. Paman juga sudah membantumu untuk membangkitkan kembali kenangan masa lalumu. Sekarang Paman menuntut janjimu, Mardian. Penuhilah janjimu.” Kolonel Sudarto terus mencoba menyadarkan Mardian. Dia mengguncang-guncang bahunya dengan keras. “Mardian, Paman tahu kamu bisa bertahan. Nak, sadarlah. Demi Paman, Nak. Demi ayahmu.” Melihat Mardian yang tidak bereaksi dan hanya menatap nyalang ke langit, tangis Kolonel Sudarto pecah, tak mampu di tahan lebih lama lagi.“Kenapa menangis, Pak Kolonel?”Kolonel Sudarto menoleh tajam ke wajah Mardian. Dia tak yakin baru saja mendengar suara keponakannya itu. Ditelitinya air muka Mardian. Tak ada perubahan, kosong, hampa, tanpa ekspr
Meskipun Kolonel Sudarto mengatakan jika dia telah mempercayai Ana, akan tetapi, Ana tahu persis jika Kolonel Sudarto masih belum mempercayainya sepenuhnya. Jauh di dalam mata Kolonel Sudarto Ana melihat keraguan dalam diri paman teman baiknya itu. Lalu, "Pak Kolonel, sambil menunggu Pak Jendral, ada sebuah pemeo yang ingin saya ceritakan pada Pak Jendral. Pemeo ini saya dengar dari seorang teman lama saya yang sekarang saya tidak tahu ada di mana. Saya harap Pak Kolonel akan bersedia untuk mendengarkannya.""Tentu, tentu saja, Nak Ana."Dan Rohana pun mulai menceritakan pemeonya. Dia mengambil dirinya sendiri untuk dimasukan ke dalam cerita sebagai pelakon utama. Agar, cerita itu meninggalkan kesan yang mendalam untuk Kolenel Sudarto.Kami adalah segerombol anjing liar penguasa kota ini. Para nabi, iblis, bahkan malaikat, takut melintasi kawasan kami. Namun itu cerita beratus-ratus tahun lalu. Masa sebelum anak gembala bernama Muhammad datang dan mengadukan kejahatan kami kepada tuha
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Ana melipat kakinya dalam posisi bersila. “Pak Jendral, sebaiknya Pak Jendral segera menangkap Bung Tan Djiman. Sebelum segala sesuatunya terlambat.”Jendral Sumarto mengerutkan alis. “Apa maksudmu? Mengapa aku harus menangkan Tan Djiman?”“Karena Bung Tan Djimanlah yang membantu Bung Mardian dalam rencana balas dendamnya pada kehidupan ini. Bung Tan tak lain dan tak bukan merupakan keponakan Bung Kasim. Bung Tan juga seorang komunis. Dialah salah satu otak dibalik huru-hara selama ini. Dalang dari geger-geger. Bung Tan Djiman memiliki banyak jaringan. Dia sangat cerdik dan licik. Bung Tan Djiman memiliki banyak uang yang dapat membeli apa pun yang dia mau. Karena itulah orang-orang bersedia menjadi pengikutnya.”“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudm
Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa