Dani terkejut. “Aku?” menunjuk wajahnya sendiri – sambil menahan langkah yang setengah diseret Kiran. “Tidak-tidak, aku tidak mau, Kiran. Tuan Lukman pasti menghukumku lagi kalau dia tahu aku di kamarmu.” Sontak nona muda melepaskan genggamannya. Ia melupakan rahasia Dani yang disembunyikan sejak lama.
“Maaf, aku lupa. Aku cuma ingin kau melihatku pergi.”
“Kalau begitu beri aku pelukan.” Celetuk si pemuda. “Sebagai bentuk permintaan maafmu.” Ia mengeles. Katakan saja bahwa ini adalah trik agar dapat mendekap tubuh kecil gadis yang ia sukai.
Dengan besar hati Kiran memberikan pelukan pertama pada seorang laki-laki. Selama hidup sebagai Arina – ia bahkan menarik diri dari hubungan khusus terhadap sosok pria. Terkadang Arina merayu sahabatnya – Riana, untuk berpura-pura menjadi kakak perempuan pemarah dan jelek.
Pelukan tulus ini seharusnya ia berikan pada laki-laki yang sepantasnya, Wira lebih dari berhak menerima kehangatan seorang istri.
‘Apa?
(Wira, apa kau pulang telat hari ini?) laki-laki yang menerima pesan tersebut menautkan alis. “Kiran.” gumamnya. “Aris, istriku sudah di rumah?” berseru pada sekretaris yang sedang berbincang pada bawahannya. “Kenapa kau tidak memberitahuku?” ia merasa kesal. Aris menoleh sesaat. “Kau boleh pergi.” Aris meminta Ricky keluar dari ruangan. Diskusi mereka terpaksa harus diselesaikan. Sekretaris menghela napas terlebih dahulu sebelum mendekati tuan muda yang labil akhir-akhir ini. “Dua jam yang lalu aku mengantarkan nona Kiran kembali ke rumah. Sudah sewajarnya dia di sana.” “Bisa tidak kita pulang lebih cepat hari ini?” Wira tak dapat menyembunyikan raut gembiranya, perhatian kecil Kiran sangat mempengaruhi suasana hati putra tertua Arasatya. “Paling cepat pukul delapan, setelah pertemuan dengan pihak pemasok sabun tradisional sekaligus mereka ingin menjamu makan malam. Mereka ingin berterima kasih telah menerima produk-produknya.”
Wira menatap aneh – bergantian antara Kiran dan piyamanya tadi malam terbentang di atas ranjang. “Piyamaku?” pemiliknya seakan meminta penjelasan. Bukankah pakaian itu seharusnya dibawa bibi Halim untuk dibersihkan? “Kau yakin ini punyamu, Wira?” “Kau menganggap aku mencurinya? Jelas-jelas itu piyamaku – istriku.” Wira berpindah – melepas jas yang seharian melekat pada tubuhnya. ‘Panggilan menggelikan apa yang barusan kudengar?’ perempuan yang mendapat julukan sedang kebingungan. “Ada apa dengan baju tidurku? Kau juga tidak biasanya menanyakan kepulanganku, lagipula bukan aku yang menjemputmu tadi, apa kau tidak marah?” tutur Wira. Laki-laki ini mencari jawaban atas kekhawatirannya. Sejujurnya Wira ingin mendapatkan sesuatu dari setiap pertanyaan-pertanyan yang memenuhi otak kiri. Sayangnya, putra sulung bukan pemuda dengan berbagai kisah roman picisan. Bibir mungil Kiran juga bukanlah sebuah buku – memiliki banyak jawaban untuk putra
“Sejujurnya aku juga takut saat kau memberitahunya. Tapi… penasaranku lebih besar. Apa kau juga bermimpi seperti yang aku mimpikan?” tanya Kiran. Dari tempatnya, perempuan ini mencuri pandang. Kedua matanya seakan tertarik pada porsi tubuh laki-laki di sana.Wira hampir selesai mengganti pakaiannya, lalu sedikit merapikan baju itu sambil mengamati gerik Kiran. Khawatir teman sekamar bergerak tiba-tiba.“Mimpi? Mimpi sepertimu? Tunggu, aku belum bisa memahami ucapanmu, Kiran.”“Kau bertemu perempuan asing di dalam mimpi, di sebuah kamar, kemudian pergi ke restoran?” paparan dari Kiran membuat raut wajah Wira berubah.“Bagaimana bisa? Kau-”‘Tunggu dulu, misal Kiran menguping rahasiaku jelas-jelas itu tidak mungkin. Sedangkan dia bermalam di rumah Lukman. Dan aku belum menceritakan mimpi itu. Tapi… cara dia tahu…’ Wira berdiskusi sendiri menggunakan pikirannya.&l
“Wira, kupikir, kau telah menerima hukumanmu selama ini.” Laki-laki di depannya memperhatikan, mencari pemahaman dari perkataan Kiran. “Aku tidak tahu mengapa kau melakukannya, bisa saja kau mempunyai alasan yang kuat. Tapi, aku tak bisa melihat ketulusan dari dirimu. Kau selalu memikirkan keuntungan. Juga aku tak menemukan kenyamanan padamu, maksudku sebagai partner ataupun sebagai teman. Kau sangat berbeda dengan Rakin.” Wira tersenyum getir. “Ya. Hukuman itu membuatku seperti patung hidup, dan keseharianku di jadwalkan seperti anak SD. Hidupku hanya sebatas pekerjaan dan rumah – kalaupun ada waktu untuk tidur. Tetap saja, aku tidak bisa melupakan kejadiannya, klakson memekakkan selalu terngiang, sampai telingaku sakit.” “Apa kau punya kenangan buruk akan suara itu, Wira?” tanya Kiran. Pria di sana diam menatap istrinya. Barulah kemudian berkata, “Aku menabrak seorang gadis, kondisiku saat itu sangat kacau. Aku sedang mabuk berat, tiba-tiba gadis berpakaian
“Hai, kita bertemu lagi, nona.” Teman pria di mimpi Kiran menyapa penuh senyum bersamaan lambaian tangannya. “Apa kita akan ke restoran waktu itu?”Kiran pun baru teringat kalau dirinya mengunjungi kembali dunia mimpi, dunia yang selalu membuat teka-teki.Perempuan yang diajak bicara masih termenung, berpikir sambil mengamati wajah laki-laki di depannya. Mengapa ia tidak bisa mengenali pria ini? meskipun ia sangat tahu nama dan identitas lawan bicara.“Nona, apa aku mengganggumu. Kemarin kan kau yang menemuiku lebih dulu.” Tambah si pria.“Ah, em, tidak – kau tidak mengenaliku, ya?” Kiran bertanya dengan raut muka yang menuntut.“Kenal. Bukannya kita sudah bertemu sebelumnya?” giliran laki-laki itu yang keheranan.Kiran sedang berpikir keras, dengan mengikuti alur alam bawah sadar – ia akan semakin terkunci dan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Seperti suatu l
“Iya, baiklah. Bisakah kau duduk terlebih dahulu. Kepalaku sakit melihat ke atas terus.” Wira meminta sembari matanya menangkap sesuatu yang kemerahan pada wajah Kiran. Ia sedari tadi sadar akan hal itu. Hanya saja pengetahuannya yang kurang – pria ini tidak tahu penyebab munculnya rona di pipi seorang gadis. “Terlalu dekat?” Kiran bertanya sesaat setelah ia duduk. Khawatir Wira memberikan peringatan lagi. “Tidak.” “Wira. Aku melakukan kesalahan, ya?” Netranya masih enggan menatap lawan bicara. Putri Lukman tetap menunduk. “Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu kalau kau tidak suka denganku. Bahkan kau membuatku ketakutan, kukira kau tidak akan bangun lagi.” “Memangnya kalau aku tidak bangun lagi kau akan menangis sampai tak bersuara?” pria kaku ini melempar candaan. “Tentu saja!” diiringi pandangannya yang terangkat. “Walaupun kau aneh, kau kan suamiku.” Wira kembali terkekeh. Ternyata istrinya begitu lucu. “Bukannya ti
“KAU TIDAK TIDUR?” Wira terkejut bukan main, layaknya pencuri yang ketahuan.“Aaaa…. Kau mengejutkanku Wira!” gadis di depannya berteriak juga.Dengan segera putra tertua Arasatya kembali ke tempat tidurnya – ia tampak menyembunyikan kegelisahan.Kamar yang awalnya sunyi semakin menambah kesunyiannya, pasangan suami istri muda tidak saling sapa lagi.“Ku-kukira kau sudah mendengkur, Kiran.” Wira membuka pembicaraan mereka lebih dulu.“Mendengkur? Bagaimana bisa aku mendengkur, tidur saja tidak.” istri Wira merapatkan selimutnya – di iringi kekesalan. “Kau juga kenapa mendekatiku? Kau mau mesum ya?” Kiran menambah tuduhan.“Enak saja! Aku kan tidak bisa disentuh sembarang orang.”“Itu kan kalau kau yang disentuh. Akan berbeda jika kau menyentuh lebih dulu.” Balas istrinya. Wira pun tak bisa menyanggah. Ia termangu untuk sesaat sambil
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.