Selepas mandi sore, Yana melangkah ke ruang tamu untuk menonton televisi sambil menunggu anak-anaknya pulang bekerja. Segala tugas rumah telah ia selesaikan termasuk menyiapkan makan malam. Meskipun Wiguna telah menyediakan seorang asisten rumah tangga, tetapi tetap saja perempuan paruh baya itu turut membantu, memastikan semuanya terselesaikan dengan baik.
Berbeda ketika masih ada mantan menantunya, ia bisa mengandalkan Hilma sebab setiap tugas dikerjakan sudah sesuai dengan keinginan. Berbeda dengan orang yang bekerja di rumahnya, berulang kali berganti orang, tetap saja belum menemukan yang sesuai dengan standar kebersihannya.Baru saja ia duduk di sofa, terdengar suara ponselnya berdering dari saku baju. Melihat nama Tanti yang tertera, ia langsung menekan tombol hijau."Halo, dengan keluarga Tanti?" Terdengar suara asing dari seberang telepon. Kening Yana bertaut."Iya, ini siapa?" Detak jantung Yana berdegup kencang, mempPerempuan berusia dua puluh delapan tahun itu mengecup kening Ghava, lalu membelai pucuk kepala anaknya dengan lembut. Setelah itu, ia lihat kembali wajah polos yang membuatnya terpaksa melakukan tindakan yang lebih tegas. Walaupun hal itu membuatnya menahan sesak sebab melihat wajah yang memohon untuk tidak diberi hukuman. Bukan ia egois, tetapi hanya menerapkan kebijakan, ketika anaknya membuat kesalahan harus siap menerima sangsinya, terlebih perbuatan itu dilakukan berulang kali. Jika terjadi pembiaran, dikhawatirkan akan terbentuk perilaku yang kurang bertanggung jawab dan semaunya sendiri juga tidak menghargai orang lain."Maafin Mama Ghava! Semua ini demi kebaikanmu," ucapnya pelan sambil kembali melihat wajah yang tampak lelah. Sepeninggal Wiguna tadi sore, ia meminta Ghava untuk meminta maaf karena sikap yang kasar terhadap orang lain, akan tetapi dengan kekerasan hati, anak tersebut tetap menolak permintaannya. "Ak
"Bos, sepertinya ada yang mengikuti kita, ucap sopir dengan pandangan tetap mengarah ke depan, berusaha terlihat santai, agar tidak menimbulkan kecurigaan."Aku tahu!" sahut Noto terlihat tenang. Ketika keluar dari pintu utama, ia melihat seseorang yang mencurigakan tengah melihat ke arahnya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan ia terus berjalan santai menuju parkiran. Satu tangannya ia gerakan seolah sedang melihat benda di pergelangan tangan. Padahal ia tengah melihat keberadaan orang itu dari kaca khusus yang ada di jam tangan yang dipakainya. Dan betul saja, orang yang tadi mengintainya tengah mengikuti dari belakang."Saya sudah hubungi yang lainnya, Bos, untuk segera datang!""Bagus. Sekarang kita mulai berangkat saja!""Jangan, Bos. Berbahaya. Saya khwatir jumlah mereka banyak.""Kamu tidak usah khawatir. Ada yang melindungi kita," ucap Noto menenangkan.Sopir tersebut mengerutkan kening, tetapi
Idam terpaku pada seseorang yang bersama Mima di meja makan ketika sedang menuruni tangga. Seketika wajahnya berubah cerah pada saat menyadari jika itu adalah kakek dari istrinya. Dengan riang ia mempercepat langkah dan menghampiri kumpulan orang yang tengah tertawa."Opa, kapan datang!" tanya Idam ketika telah berada di depan lelaki paruh baya yang tengah menyuapi Cantika. Satu tangannya mengambil jemari keriput itu dan menyalaminya."Semalam, Nak." "Semalam? Kenapa tidak ada yang memberitahuku!" Lelaki yang mengenakan jas hitam itu menatap pada adiknya meminta penjelasan. "Mima kenapa ga kasih kabar?"Mima yang tengah mengoles roti menengok. "Opa yang minta untuk tidak memberi kabar. Mau buat suprise, eh Mas Idam lagi-lagi pulangnya kelewat malam, bahkan pagi," ucap Mima menggeleng, mengetahui jika saudara laki-lakinya tengah memiliki masalah lagi, selalu seperti itu jika banyak hal yang dipikirkan. Hanya saja ia tidak suka
Mendengar mantan istri serta kedua anaknya diculik, Wiguna langsung bangkit berdiri lalu menarik kerah baju ayahnya sampai lelaki berambut putih itu mendongak."Apa yang Anda lakukan terhadap Hilma dan anakku?" ucap Wiguna dengan kemarahan yang membara. Yana yang melihat sang anak berlaku kasar pada Noto langsung menghampiri dan berusaha melerai, akan tetapi Wiguna tidak menghiraukan permintaan ibunya. Ia terus saja mendesak meminta penjelasan.Sementara Noto masih terdiam, kedua matanya terpaku pada tatapan yang menyorot tajam, ia mendapati kekhawatiran juga ketakutan akan kehilangan di manik tersebut."Gun, jangan seperti itu!""Lepasin, Gun! Ga baik kamu bersikap seperti ini!""Guna! Kamu tidak mendengar ibu, ya?""Jangan Guna!" teriak Yana ketika anaknya semakin menarik paksa kerah baju lelaki yang tampak pasrah. Ia menggeleng dengan airmata yamg semakin menderas. Kesalahpahaman y
"Hilma, kamu akan segera mati!" Wiguna terkejut dengan penuturan istrinya. Bibir tipis yang selalu disukainya dulu itu menggaungkan kata yang mengerikan. Sebegitu bencikah perempuan yang masih terpejam itu pada Hilma. Padahal mantan istrinya tidak pernah menganggu rumah tangga mereka, bahkan perihal nafkah untuk anak-anak pun tak pernah menuntut, diberi berapapun akan diterima, tak diberipun tak pernah mengeluh. Perihal nafkah itu juga baru ia penuhi tiga bulan terakhir.Tring!Ponsel merah muda yang tergeletak tak jauh dari Wiguna, menyala dengan getaran yang membuat benda itu menarik perhatiannya. Ingatan mengenai dugaan sang ayah, jika Nela terlibat dalam penculikan Hilma, terngiang di kepalanya. Sebuah ide muncul untuk memeriksa benda pribadi istrinya itu. Setelah memastikan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas, ia mulai mengambil ponsel itu perlahan, lalu membuka paswordnya. Beruntung masih menggunakam kata sandi
"Mas, Mas Idam kenapa?" tanya Mima melihat saudara lelakinya yang terlihat syok.Mendengar suara yang terdengar panik, Opa Patra menoleh. Wajahnya pun terlihat resah, baru saja ia juga menerima berita yang kurang baik. Namun, melihat cucu menantunya yang membeku, ia langsung menghampiri."Idam apa kamu baik-baik saja?" Dua kali memdapat pertanyaan dari orang yang berbeda, Idam masih terdiam. Mima melangkah lebih mendekat, menepuk bahu orang yang seolah tak sadar."Mas Idam kenapa?"Mendapat tepukan pelan, lelaki itu tersentak lalu menoleh."Hilma, Mim!""Kenapa Mbak Hilma!""Hilma diculik!"Mendengar nama yang tak asing dengan kejadian yang sama baru dilaporkan oleh bawahannya membuat Opa Patra terperangah."Hilma! Diculik!" gumam Opa PatraSementara Mima langsung histeris."Mas, cepat tolong Hilma!""L
Mendapati seseorang menyapanya, lelaki yang sedang menatap pusara itu menegakkan tubuh, dengan pandangan masih ke arah makam mendiang Amira."Ada apa?" Lelaki itu bertanya dingin."Maaf, Tuan Gery, saya diminta menyampaikan ini pada Anda." Seseorang yang memakai pakaian serba hitam itu melangkah, kemudian melewati Gery selangkah dan berbalik menghadap lelaki yang tampak acuh tak acuh tersebut. Ponsel berwarna hitam disodorkan dengan posisi menyala dan berada pada sebuah file yang sudah dipersiapkan.Gery terlihat enggan untuk mengambilnya."Tolong diterima, Tuan. Ini masih berhubungan dengan mendiang Nyonya Amelia," jelas pengawal tersebut.Mendengar nama perempuan masa lalunya disebut, Gery menoleh lalu menatap tajam pada pengawal di hadapannya. Tampak sekali wajahnya terlihat tidak suka.Menyadari perubahan mimik yang tak biasa, tubuh tinggi kurus itu sedikit membungkukkan tubuh. "Maaf, Tuan Gery.
"Joni! Apa yang terjadi?" tanya Gery pada anak buahnya.Anto yang mengikuti langkah Gery langsung terbelalak melihat teman yang dikenalnya di penjara terlihat babak belur. "Itu Bos, saya kasih pelajaran sama anak baru ini. Dia terlalu banyak membantah!" ujar Joni menjelaskan.Gery tak terlalu menanggapi penjelasan yang diberikan, kedua netranya fokus pada perempuan yang terduduk di atas ranjang dengan ketakutan. Sejenak, ia tertegun mendapati rupa yang begitu sama dengan istri pertamanya, setelah itu ia mulai melangkah. Wajah yang mengingatkannya pada Amelia seolah menarik dirinya untuk mendekat.Sementara Anto yang sejak tadi terlihat gundah, langsung membantu Haris yang tak berdaya. Ia langsung memeriksa keadaan temannya."Kamu ga apa, Ris?"Aris tidak menjawab. Sekitar mulutnya mengeluarkan darah, tetapi dengan isyarat mata seolah mengatakan ia akan baik-baik saja. Lelaki yang merupakan tangan ka