Jon
Juli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.
“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”
“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”
“Kenapa? Kau takut gelap?”
“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepuk sisi kanannya, menyuruhku duduk di sana, “Kau masih mau menemaniku atau pulang saja?”
Tanpa banyak bicara aku memilih dengan senang hati untuk duduk di situ. Mengingat aku belum siap kembali masuk ke dalam rumah.
“Kau tidak akan memberi tahu mom kan?”
Aku mengangguk. “Kalau itu maumu.”
“Aku tidak mau membuatnya cemas.”
“Sangat normal kalau seorang anak tidak mau membuat cemas orang tuanya.”
Ia menggeleng. “Mom sangat protektif padaku. Kukira ia mau melakukan yang terbaik untukku. Tapi, terkadang aku merasa itu terlalu... Entahlah, dua tahun ini aku mulai merasa dibatasi. Awalnya semua baik-baik saja, aku menuruti semua kemauannya. Seperti pulang sekolah tepat waktu, menurutinya menggunakan bis sekolah kalau ia tidak bisa menjemput atau mengantarku, aku tidak perlu repot-repot mengikuti banyak kegiatan di luar jam pelajaran sekolah, menggunakan ponsel hanya untuk hal-hal penting seperti bertanya tugas sekolah ke teman atau menghubunginya saja, sampai-sampai tidak menggunakan sosial media apapun. Mom bilang itu bisa menjadi sumber kejahatan.”
Aku terbelalak. “Jadi kau tidak punya f******k, i*******m, twitter, dan yang lain-lain?”
“Tidak. Aku tidak ambil pusing dengan aturan itu karena memang aku tidak peduli.”
“Ya ampun, Sum! Kau aneh!”
Ia melirikku sinis. “Masih mau mengejekku? Coba saja! Akan kuadukan Diana kalau kau di sini! Aku tahu kau mangkir dari tugas hari ini. Kau pasti bakalan kena marah.”
“Sialan! Jangan bilang aku di sini! Kau tahu, bibi sangat menyeramkan kalau marah, belum lagi Kevin, ia pasti akan mengumpat-umpat padaku. Pasti tadi dia yang menggantikan giliranku. Aku belum siap masuk rumah.”
Ia menertawakanku.
Lalu tersenyum.“Jon, sepertinya baru kali ini aku punya teman yang benar-benar teman seperti kau dan Kevin. Kalian seperti saudara yang menyenangkan, dan lucu. Aku tidak punya banyak saudara dan teman, kami hanya tinggal berdua. Jadi, aku sudah terbiasa merasakan sendiri, bukan masalah besar, tapi setelah mengenalmu dan Kevin aku ingin terus merasakan kebersamaan dengan kalian berdua.”
“Memangnya kau tidak punya teman yang lain?” aku mengejeknya.
Ia menggeleng dan sama sekali tak tersinggung. “Aku sering kali berpindah sekolah. Sulit bagiku tetap berhubungan dengan banyak orang yang tiap kali waktu selalu berubah-ubah. Mungkin aku hanya akrab dengan teman kerja kelompok. Tapi, setelah pindah sekolah itu akan segera berakhir. Mom juga tidak pernah mengijinkanku untuk bermain keluar terlalu lama.”
“Ya Tuhan! Hidup macam apa itu! Ada apa dengan ibumu? Memangnya kau gak merasa bosan?” seruku tak percaya.
“Selama ini aku sudah terbiasa dan sepertinya aku baik-baik saja dengan hal itu,” kini ia berbicara denganku sembari melempar-lemparkan bantal bulat ke langit-langit lalu menangkapnya lagi. “Mungkin ia paranoid. Sesuatu yang sangat buruk pernah terjadi. Aku benci hal itu.”
Pada lemparannya yang keempat aku menangkap bantal itu. Aku ikut berbaring di sebelahnya. Ia hanya memandangku sekali beberapa detik lalu beralih kembali menatap langit-langit berwarna putih itu. Sepertinya ia berusaha membiasakan diri menerimaku ada di sekitarnya. Aku mengikuti gerakan bola matanya dari sama-sama menatap lalu beralih ke langit-langit. Kuhitung satu dua tiga dalam hati lalu melemparkan bantal itu ke atas. Kali ini ia yang menangkap. Lalu Summer mulai melempar lagi dan aku menangkap lemparannya.
Aku penasaran ingin bertanya ada apa. Namun, kuurungkan berkat ia mengatakan kata benci. “Kenapa kalian sering berpindah-pindah?” tanyaku pada akhirnya.
“Ibuku sering dipindah tugaskan setidaknya setiap setahun sekali.”
Aku melempar lagi. “Apa tidak susah memulai lagi dan lagi dari awal semuanya? Maksudku teman, lingkungan sekolah, lingkungan rumah...”
Ia menangkap dan melempar. “Yeah, awalnya aku selalu marah pada mom. Tapi, mom memberikan pengertian. Mau tidak mau aku harus patuh. Lalu semua menjadi terbiasa dan tidak masalah lagi.”
Aku menangkap. “Kau kuat sekali!” Aku menoleh dan bertepuk tangan untuknya.
Ia tersenyum malu.” Oh sudahlah, Jon!”
Saat masih menatapnya aku menangkap satu pigura tergantung rendah di dinding belakang Summer. Seorang laki-laki bermantel hitam dengan senyum lebar sedang menggendong gadis kecil yang lebih besar dari foto-foto yang kulihat di lorong waktu itu. Ia tengah mengenakan rok berenda warna kuning. Di sebelahnya terpampang sosok Rosalie versi lebih muda dengan rambut panjang lebat dikeriting dan berponi. Sangat kontras sekali dengan penampilannya yang sekarang.
Mereka semua tersenyum lebar. Layaknya keluarga kecil yang bahagia. Pria itu terlihat gagah. Ia seperti pusat dari keceriaan itu. Pria itu terlihat mirip dengan pria yang dulu sering membantu kami mendirikan tenda saat aku dan teman masa kecilku piknik di halaman rumah. Ia sering mengajak kami bersepeda saat akhir pekan. Bahkan ia seperti pria yang bahkan lebih dekat denganku ketimbang ayahku sendiri. Pria itu seperti Dezel Bower.Dezel Bower!
Jantungku mendadak terasa sangat terpompa. Rasanya hampir disentak sangat keras. Aku membelalakkan mata. Aku meyakinkan diri bahwa aku tak salah menangkap isi foto itu. Fokus mataku beralih dari sosok pria itu ke latar belakang keluarga kecil itu. Rumah itu bercat kuning gading dengan pagar kayu putih. Ada sebuah ayunan di halamannya dan di samping ayunan terdapat pohon besar. Aku mengenali rumah itu dulu sekali. Aku terkejut menyadari kenyataan yang ada di hadapanku. Aku tidak salah mengira. Itu memang mereka. Keluarga Bower.
Jantungku berdegub sangat cepat. “Sum… apa… itu… ayahmu?”
Ia mengikuti arah pandanganku hingga berbalik ke dinding itu. “Ya. Dia ayahku,” ia menjawab santai lalu kembali menghadap langit-langit.
Nafasku tercekat. Aku berusaha menenangkan diri. Aku kembali melempar bantal di tanganku. “Apa yang terjadi dengannya?”
Saat bantal itu akan kembali melayang ke bawah, kukira Summer akan menangkapnya. Aku memberinya kesempatan, namun ia malah berbalik memunggungiku. Sementara itu, bantal bulat itu mendarat persis di mukaku. Aku menyingkirkannya dari sana supaya bisa melihat cewek itu. Sepertinya ia kembali fokus pada sosok ayahnya di sana tanpa suara beberapa saat.
Dadaku bergemuruh."Sum? Apa kau…”
Sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, ia menyelaku dengan cepat. “Ia meninggal tepat di depan mataku,” katanya kilat, “Aku tidak benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi saat itu.”
Ia menghela nafas berat. Seperti sehabis menahan beban yang sangat berat.
Ia pun bersuara kembali, “Waktu itu dad datang untukku, tapi ia celaka karena menyelamatkanku. Sepuluh tahun yang lalu aku di culik dengan beberapa anak yang lain. Yang aku tahu saat aku sadar, aku sudah ada di sebuah ruangan gelap dengan tangan diikat. Aku ingat beberapa anak seperti sedang tertidur. Saat aku mulai sadar aku berteriak karena takut dan ingin pulang. Tempat itu menakutkan bagi anak kecil. Aku ingat beberapa kali seseorang menamparku atau membenturkan kepalaku, mungkin karena aku satu-satunya yang melawan. Aku selalu menangis dan berteriak.”
Kini aku yakin ia memang Summer Daisy Bower. Summerku. Ingin sekali aku memeluknya. Ia mungkin tidak ingat siapa aku. Kehidupan masa kecilnya di waktu itu, mengingat kejadian besar yang dialaminya, bukan tidak mungkin ia mengalami trauma berat. Aku tahu ia Summer dari keras kepalanya dan tekatnya.
“Kau memang kuat mental! Kau bahkan berani melawan penculik di tempat yang menyeramkan!”
Ia tertawa getir. Dan ia masih memunggungiku.
Kini aku juga memiringkan tubuh dan menatap punggungnya. “Jadi itu adalah alasan kenapa kau takut gelap?”
Ia mengangguk. “Lebih tepat kalau disebut gelisah dalam gelap.”
Aku memutar bola mataku, “Oh itu sama saja, Sum!”
“Tidak, itu berbeda!” katanya menengaskan ketidak setujuannya padaku.
“Jadi, ia menyelamatkanmu dari tempat mengerikan itu. Apa ia seorang polisi?”
“Dad bukan polisi seperti yang kau bayangkan, kata mom ia seorang agen divisi kriminalitas. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa keluar dari tempat itu. Yang kuingat adalah seorang pria terdesak dengan kedatangan polisi. Ia langsung menggendongku paksa dan berlari menuju danau. Mungkin ia menjadikanku sandera. Ia membawa pistol. Aku dilemparkan ke dalam perahu. Seseorang meneriaki namaku. Aku tahu itu suara dad. Ia datang menyelamatkanku. Tapi, pria itu sudah mau mencapai tengah saat aku mendengar bunyi letusan pistol. Mereka baku tembak. Lelaki itu tersungkur di hadapanku. Ia sangat kesakitan. Dad dengan cepat menyusul kami. Ia menggendongku dan akan membawaku ke perahu yang dikendarainya. Tapi, dad tidak menyadari kalau pria itu berusaha meraih pistolnya kembali dan menembak dad. Kami jatuh ke dalam air. Pria itu pergi dari hadapan kami. Sementara itu, dad menyuruhku tetap berpegangan pada perahu dan perlahan ia sudah tidak tahan menahan luka di dadanya. Ia tenggelam. Itu terakhir kali aku melihatnya.”
Aku hanya menepuk-nepuk lengannya.
“Waktu itu ia bilang kalau aku putrinya yang kuat. Ia berpesan agar aku tidak usah khawatir dan aku harus menjaga diriku baik-baik,” kini suaranya mulai berat. Aku tahu ia mulai menangis.
“Tapi, bagaimana bisa kau tidak khawatir kalau kejadiannya menjadi seperti itu? Benar begitu kan pikirmu?”
“Yeah. Ia suka menolong orang lain. Ia orang yang baik, Jon,” jawabnya singkat dengan tangis campur tawa sarkastis.
“Pantas saja kau selalu terlihat waspada dan jaga jarak.”
“Aku hanya berjaga-jaga dari bahaya apapun."
Hening. Kami pun bergumul dengan pemikiran masing-masing.
Tiba-tiba Summer berseru, "Ya ampun! Kau jadi membuatku sadar… mungkin mom bersikap sangat protektif padaku karena hal itu."
"Apa?" tanyaku tak mengerti arah pembicaraannya.
"Ia hampir kehilangan diriku dan sudah kehilangan dad. Pasti ia tak mau kejadian serupa menimpaku lagi, Jon."
Miris mendengar penuturannya. Kurengkuh begitu saja tubuh di hadapanku itu. Lalu ia mulai bergetar tak kuasa menahan kepedihannya.
"Aku juga sangat kehilangan dad. Aku merindukannya.”
Pelukkanku bertambah erat. “Kenapa kita tidak mengunjunginya? Aku tidak keberatan menemanimu.”
“Maksudmu ke makam?”
“Ya.”
“Aku tidak yakin. Aku saja lupa apa aku pernah ke sana. Melihat makam membuatku merasa kalau ia benar-benar lenyap.”
“Tidak, Sum. Bukan begitu. Ia sudah ada di tangan yang tepat. Kalian akan bertemu lagi suatu saat di kehidupan selanjutnya. Jadi, banyak berbuat baiklah supaya kau bisa pergi ke surga dan bertemu ayahmu!”
“Ingatkan aku supaya terus berbuat baik!”
Ia masih menangis dan tertawa secara bersamaan.Aku menertawakannya. “Kau yakin ayahmu bahagia mendengar suaramu? Suaramu terdengar sangat jelek kalau seperti ini!”
“Bagaimana bisa kau bilang suaraku jelek?” protesnya.
“Percayalah! Suaramu paling jelek sedunia!”
“Oh yeah? Kalau begitu teruskan saja kau mendengar suara jelek ini supaya telingamu sakit!” ia masih sesenggukan sambil menahan tawa.
Aku menggelitiki cewek itu dari belakang. “Coba saja bicara terus! Aku sudah kebal dengan suara jenis apapun!”
Ia tertawa menahan geli. Aku menertawainya yang menggeliat seperti cacing tanah kepanasan.
“Ampun, Jon!” teriaknya.
Aku menghentikannya.
Ia memandang foto itu lagi sambil berkata, “Dad, cowok ini sungguh menyebalkan! Tapi, ia sudah menolongku beberapa kali. Ia sudah menjadi tetangga dan teman baru yang baik buatku. Tolong, jangan hantui dia dalam tidurnya. Kalau kau mau membalaskan dendamku untuk menggelitikinya dalam mimpi tidak apa-apa. Aku rela dia mengompol,” ia cekikian.
Aku tertawa dan kembali menyerangnya. “Aku bukan tetangga dan teman barumu, Sum! Aku tetangga dan sahabat lamamu.”
Ia kembali menyerah hingga aku kembali menghentikan seranganku. Ia menatapku tajam. Ia terkejut dan bingung dengan perkataanku, “Apa maksudmu?”
Aku menatapnya lekat-lekat. Tanganku refleks memegang kedua lengannya yang berhadapan denganku. “Kau benar-benar tidak mengingatku?”
“Kau ini bicara apa?!” ia menatapku bingung.
“Sepuluh tahun yang lalu aku kehilangan sahabatku di depan mataku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa dan aku sangat menyesal. Lalu saat berita itu datang. Sangat sulit mendekatimu. Beberapa minggu kemudian kalian pergi dari Spriengfield. Aku sangat sedih tidak dapat bertemu denganmu, dengan ayahmu lagi.”
Ia hanya ternganga. Ia menggeleng-geleng tak percaya. "Jangan bercanda, Jon!"
Aku menggeleng. "Aku serius, Summy."
Summer memegangi kepalanya lagi dengan kedua tangan. Sama seperti kejadian di luar tadi. Ia menunduk dan berpikir keras.
“Sum?”
Ia tak bersuara.
Aku mulai cemas. “Summer! Kau tidak perlu memaksakan diri. Tidak masalah kau tidak mengingatku. Hanya saja aku kini sudah yakin kau memang Summer Bower, sahabatku yang hilang.”
Ia masih saja menekan kepalanya kuat.
“SUMMER!” aku membentaknya sembari melepaskan kedua tangannya dari sana. Segera aku menariknya dan memeluknya erat-erat. “Hentikan itu! Kau membuatku gila! Jangan lakukan itu lagi!”“Jon...” ia menangis di dalam pelukanku, “Maafkan aku, Jon.”
“Hei, kau tidak perlu berkata begitu,” lalu tiba-tiba aku mengingat satu benda yang ada di laci kamarku,
“Tunggu di sini! Aku akan segera kembali,” aku segera bergegas keluar dari kamar.
Summer berteriak, “Kau mau kemana?”
“Tunggu di situ! Aku akan segera kembali,” lalu aku berlari menuju rumah. Mengambil sesuatu yang sangat berharga.
JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m
SummerJuli, 2015Kami duduk di ruang tengah. Aku, Jon, dan mom. Acara utamanya adalah membicarakan tentang aku dan Jon. Takdir yang memisahkan dan mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun. Mom yang melankolis sudah dipastikan mengeluarkan air mata.Entah mengapa sehari menjadi waktu yang sangat ajaib buatku. Duniaku, memoriku, diriku, sosok-sosok lama yang kembali hadir, segalanya berputar ulang. Cloud yang mengaku mengenalku, walaupun aku tidak pernah merasa mengenalnya. Dan meski berusaha keras hingga kepalaku sakit, aku tidak menemukan gambaran tentangnya. Belum selesai dengan Cloud, muncul hal mengejutkan tentang Jon. Sosok yang selalu bersamaku dulu, yang tidak pernah bisa kuingat lagi bagaimana wajah atau nama lengkapnya. Kini aku sadar cowok di hadapanku itu adalah Jonathan Finch. Aku langsung ingat ketika melihat selembar foto yang ia sodorkan padaku. Bocah kecil itu adalah dia. Mengenal Jon kembali sama dengan membuka kenangan lama bersama dad. Aku takut mengingat se
SummerJuli, 2015Aku menengok ke luar lewat jendela kamarku yang berhadapan dengan rumah Kevin. Jendela atas rumah itu masih menyala semua. Kevin dan Jon belum tidur. Aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Itu pasti Kevin. Sementara, di kamar sebelahnya yang berseberangan dengan kamarku, aku tidak melihat siluet Jon sama sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Tiba-tiba sebuah sinar mengagetkanku. Spontan tanganku menutup wajah karena silau. Sinar yang menyorotku itu padam. Aku memincingkan mataku ke arah sebuah suara. Kevin tertawa. Ia bersandar di bingkai jendela sembari membawa sebuah senter.“Kau tidak tidur?” tanyanya setengah teriak.“Aku belum bisa tidur.”“Tapi, sepertinya kau tidak pernah tertidur.”“Apa?” kataku lebih keras.Ia berteriak sedikit lebih lantang dari yang tadi, “Lampu kamarmu selalu menyala!”“Oh... aku tidak pernah mematikannya. Kau tidak tidur?”“Sebentar lagi. Tidurlah, Sum! Ini sudah larut!” katanya penuh perhatian.Aku hanya tersen
SummerJuli, 2015Mereka menjemputku. Mom benar-benar menyuruhku pergi. Aku melangkahkan kaki dengan rasa kesal. Semalam aku tidur sangat larut, pagi-pagi sekali aku mengantar koran, dan sekarang aku hanya ingin tidur. Tapi mom, dengan senyum ceria memberi Jon dan Kevin pesan agar menghubunginya jika sesuatu terjadi padaku. Rupanya ia masih menyimpan rasa trauma dan tetap saja menyimpan sikap protektif itu.Aku sudah berada di dalam jok belakang mobil Jon. Mereka berdua ribut seperti biasanya. Mereka juga memancingku untuk berbicara, sementara aku menjawab seperlunya. Kevin memutar radio, Jon mengganti ke playlist musiknya. Mereka sedikit bertikai lagi, aku hanya geleng-geleng kepala. "Hei, aku belum mendengarkan update berita hari ini tahu!" protes Kevin.Jon berdecak, "Kenapa sih hari libur begini kau tidak bisa sepenuhnya santai?!" Ia memutar kembali playlist-nya."Daftar lagumu itu sungguh membosankan, Jon! Begini saja, karna ini pertama kalinya Sum resmi bergabung, biar dia me
SummerJuli, 2015Orang-orang ini membawaku ke sebuah tempat makan dan minum yang populer di tengah kota. Crossfire. Padat, tapi cukup nyaman. Seperti kota ini yang katanya nyaman dan aman. Interiornya menarik. Klasik dan modern menjadi satu. Wallcover-nya bercorak batu bata. Ruangannya dihiasi dan diterangi oleh lampu downlight yang menawan. Tempat duduknya terdiri dari kursi kayu bulat dengan meja kayu dengan warna cokelat muda. Dinding-dindingnya dihiasi beberapa pigura berisi kolase unik dari gambar pohon dan juga foto-foto Pittsfield hitam putih.“Kau bisa tampil dengan jadwal permanen di sana kalau kau mau, tapi kau harus mendaftar dan diseleksi lebih dulu,” kata Ruby lirih di telingaku sembari menunjuk panggung kecil di dalam yang penuh dengan live sound equipment.“Kecuali rabu malam dan sabtu malam. Kau bisa langsung main untuk kompetisi, tapi kau harus bayar.” sahut Evan tidak mau kalah.Ruby menjelaskan lagi padaku meski aku tidak minta. “Kau akan dapat hadiahnya, kalau men
SummerMaret, 2008Ini tahun ketiga mom masih membawaku ke psikiater. Meskipun masih di Springfield dengan rumah yang berbeda dan jarak yang lebih jauh, ia masih membawaku ke rumah sakit yang sama. Kata mom, di sana adalah tempat aku bisa bercerita tentang semua yang kurasakan sehingga aku bisa lebih tenang. Kupikir seharusnya ia juga melakukan apa yang ia perintahkan padaku, sebab ia terlihat sama tidak okenya denganku sejak dad meninggal.Aku sudah lelah dengan hal itu, namun bagaimanapun aku tidak pernah mau punya niat membantahnya jika yang ia utarakan adalah demi kebaikanku, kebaikan kami bersama. Aku tahu mom ingin aku sembuh sepenuhnya. Tapi, aku tahu kepedihan yang kurasakan akan meninggalkan jejak yang tidak akan pernah bisa dihapus. Kecuali, aku benar-benar terkena amnesia total.Tiga tahun. Dan aku masih belum mampu memaafkan mom sepenuhnya karena sudah ikut andil merubah total hidupku. Baginya, membuang segalanya yang dulu adalah jalan terbaik untuk memulai hidup dan menem
Summer Agustus, 2015 Semenjak kejadian malam itu aku tidak bisa segera tidur. Pikiranku melalang buana. Jantungku berdegub kencang ketika memikirkan Cloud. Melihat sorot matanya aku seakan terikat. Bahkan sejak pertama kali kami bertemu, aku tidak mampu melupakannya. Meski awalnya aku merasa agak curiga dan waspada, tetapi rasa nyaman dan tidak takut itu selalu ada ketika aku bersamanya. Ini aneh, tidak biasanya. Ia memang bukan orang asing. Ia adalah Cloud. Cloud penyelamatku dulu. Ia adalah awan yang lembut dan empuk buatku. Aku bertanya pada diriku sendiri, masih segitu berartinya kah Cloud bagiku, padahal sudah sekian lama kami berpisah. Menyadari akan eksistensinya di sekitarku, yang ada hanyalah rasa rindu yang menyergap. Sejak pulang dari Crossfire, aku belum lagi bertemu dengannya. Bagaimana bisa aku mencarinya lagi, sementara aku tak tahu dimana ia tinggal. Bagaimana aku mencari akun sosial medianya, sementara ponsel dari ibuku kuno. Aku sudah berjanji pada ibuku tidak a
Summer Agustus 2015 “Sedang apa kau di sini?” tanyaku terkejut campur bingung, dan.... senang. Sangat senang. Setelah beberapa hari berlalu, dengan ketidaktentuan, akhirnya aku bertemu lagi dengannya. “Rumahku di sini. Kau...” ia memperhatikanku. Ia menunjuk keranjangku yang masih berisi setengah, “si pengantar koran itu?” tanyanya tak percaya. “Yeah.” Ia masih memandangku tak percaya. Tatapannya menyerobotku. Dan itu membuatku terpaku sejenak padanya. Banyak pertanyaan berjejalan di kepalaku, bagaimana ia bisa tinggal di sini, bagaimana bisa kami bertemu lagi di saat yang tak terduga seperti ini, ia tinggal dengan siapa, bagaimana kabar orang tuanya, apa kesibukannya dan bagaimana ia memandangku sekarang. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang jika kuucapkan padanya, kuharap jadi penting. Cloud mendekatiku kilat. Merengkuhku, erat. Menghirup nafas di sela pundakku. Aku tercekat dengan apa yang ia lakukan tiba-tiba. Ingin kutampar pipiku keras supaya tahu ini bukan termasuk mimpi-mimpi