Share

Kenangan Pahit

"Dasar lelaki bodoh. Payah. Begitu banyak duit di depan mata malah memilih jalur hukum. Dia pikir dapat mengalahkan orang kaya," jerit Sheila dalam perjalanan pulang dari kantor polisi. 

"Lihat saja nanti, dia harus mendapatkan pelajaran dari perbuatannya!" Sheila berkata dengan lantang. Kini mobilnya dikemudikan oleh Pak Rahman. Pria paruh baya itu melihat Sheila sekilas dari kaca depan mobil.

"Pak, Sheila ingin pemuda tak tahu diri itu mendapatkan pelajaran seberat-beratnya. Biar dia tahu rasa." Gadis itu memajukan tubuhnya dan mengajak Pak Rahman berbicara.

Namun Pak Rahman bergeming. Dalam hatinya ia tidak bisa membenarkan keinginan Sheila. Baru saja Pak Banta mengirimkan pesan agar tak mencampuri kasus Sheila. Biarlah Sheila menyelesaikan kasusnya ini dengan keadilan semestinya jika pemuda itu tak mau berdamai. Kali ini, ia mesti bersabar melihat Sheila merasakan hukuman akibat kelalaiannya. Walau, kadang hatinya sangat tak tega melihat gadis itu menderita.

Sejak kecil, Sheila selalu mendapatkan perlakuan istimewa darinya. Andai ia punya anak, maka ia akan lebih memprioritaskan Sheila di atas segalanya. Sheila telah berada dalam pangkuannya sejak lahir. Ia kehilangan mamanya saat lahir. Kemudian kakek dan neneknya menyusul dalam kecelakaan tragis pesawat terbang yang jatuh. Sejak hari itu, ia betul-betul mencurahkan segenap kasih sayang dan perhatiannya untuk Sheila. Melihat Sheila bayi, ia seakan menerawang akan nasibnya saat bayi dulu. Sebatang kara tanpa ayah dan ibu. Hingga kemudian ia dibesarkan oleh kakek dan nenek Sheila dengan baik. Mereka sudah seperti ayah dan ibu kandung Pak Rahman sendiri.

Pak Rahman menarik napas berat. Rasanya ia sangat berat membiarkan gadis itu tanpa ikut campurnya kali ini. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun, demi kepatuhannya dan demi mendidik Sheila agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab, ia terpaksa melakukan ini.

Tiba di rumah, Sheila langsung uring-uringan. Ia mendorong seorang pelayan yang melintas di depannya. Saat melewati lorong rumah menuju ke kamarnya ia mendorong guci-guci besar yang tertata di sisi lorong. Entah apa salah guci itu hingga menjadi pelampiasannya. Sambil jalan ia mendorong guci itu satu persatu. Namun para pelayan sudah sigap menangkap guci itu satu persatu agar tak jatuh dan pecah. Mereka sudah paham dengan sikap Sheila yang uring-uringan jika punya masalah dan melampiaskannya pada orang-orang dan benda di sekelilingnya. 

"Kurasa memang kita harus memindahkan guci-guci itu, Rahman," kata Mak Cik Limah yang ke luar dari dapur saat menyadari kehadiran Sheila.

"Br*ngs*k." 

"Dasar gembel." 

"Tidak tahu diri." 

"Menyebalkan." 

"Tunggu saja pembalasanku." 

Guci yang terakhir tak sempat ditangkap karena berakhir dengan tendangan cepat.

Mak Cik Limah dan Pak Rahman hanya geleng-geleng kepala melihat ulah Sheila kali ini. 

"Bereskan!" perintahnya pada seorang pelayan.

Sementara Sheila telah berlari jauh menuju kamarnya di lantai atas. Mak Cik Limah berjalan pelan menuju kamar Sheila. 

Ia membuka pintu kamar gadis itu yang tak pernah terkunci. Ditatapnya gadis yang tidur menghadap langit-langit di hadapannya itu.

Pelan, ia mendesah.

"Pergilah Mak Cik. Sheila ingin sendiri." 

"Jangan lupa sebentar lagi Papa pulang. Segera bersiap untuk makan malam bersama." Mak Cik Limah mengingatkan Sheila.

Sheila bergeming.

Mak Cik Limah telah ke luar kamar meninggalkannya. Ia pun tak kuasa menahan kantuk dan terlelap.

***

"Mana Sheila, Limah?" tanya Papa saat pulang dan telah berada di meja makan.

"Aku telah mengingatkannya agar bersiap-siap. Kurasa dia tertidur karena lelah," jawab Mak Cik Limah.

Papa mendengkur dan duduk di kursi makan. Ia mengambil dan melemparkan serbet ke meja makan. 

"Apa perlu aku memanggilnya?" 

"Tidak usah, Limah. Biar sajalah. Seharian bikin onar pasti dia lelah." Papa bangkit dan meninggalkan meja makan. 

Mak Cik Limah meninggalkan Pak Banta seorang diri. Ia menggelengkan kepala. Sungguh ia resah memerhatikan hubungan ayah dan akan yang tak pernah harmonis itu. Sejak Sheila kecil, Limah telah sering mengingatkan Banta agar meluangkan waktu untuk Sheila. Karena yang dibutuhkan Sheila sebenarnya bukanlah pelayan, harta ataupun mainan-mainan bagus. Melainkan kasih sayang dan waktu Banta sebagai seorang ayah. Apalagi ia tak memiliki ibu lagi.

Pak Banta melihat dinding ruang makan. Ada foto-foto keluarga yang tertata rapi di sana. Tak banyak foto istrinya. Karena ia telah pergi tanpa meninggalkan kenangan apapun untuk gadis kecilnya yang kini telah dewasa. Ia menatap foto pernikahan mereka dan tersenyum. Di sebelahnya ada foto saat mereka bulan madu ke Turki. Saat itu ia berfoto di dalam balon di kota cappadocia. Kota terindah dengan balon-balon udara berwarna-warni. Saat itu ia merasakan takkan pernah kehilangan istri yang dicintainya.

Mereka telah lama bersama sejak bangku kuliah. Saat menikah, kebahagiaan itu lengkaplah sudah apalagi saat kehamilan Sheila. Dirinya hidup diliputi kebahagiaan. Istri yang cantik dan berhati mulia. Harta yang melimpah dan jabatan yang tinggi menjadikan kehidupannya begitu sempurna. 

Hingga kemudian Mama Sheila mengembuskan napas terakhir saat Sheila hadir di dunia. Disusul kedua orang tuanya yang mengalami kecelakaan udara saat ingin menemuinya. Kehidupannya berubah. Ia lebih banyak bermuram durja. Sehingga Sheila kecil lebih banyak diurus oleh Pak Rahman dan Mak Cik Limah. Suatu ketika ia tersadar bahwa ada Sheila kecil yang masih membutuhkan kasih sayangnya. Ia pun berusaha menyusun kembali pundi-pundi semangatnya yang telah berserakan. 

Demi melupakan kepahitan yang dialami, Banta memilih menghabiskan waktu bekerja. Walau demikian, tak lupa ia meluangkan waktu untuk Sheila kecil yang tumbuh dengan banyak kasih sayang dan rasa iba dari seluruh penghuni rumah.

Hingga tanpa disadari, Sheila tumbuh menjadi anak yang manja dan sering tantrum. Ia seperti tak pernah kehabisan energi untuk menangis dalam waktu yang lama. Kadangkala mengamuk berat dengan merusak barang-barang dan mengguling-gulingkan tubuh di lantai saat sesuatu tak sesuai dengan keinginannya. 

Seorang teman menyarankan agar Sheila diikutkan pelatihan bela diri, agar tenaganya tersalurkan dan lebih tenang dalam bersikap.

Hingga kemudian Sheila kecil pun sangat berbakat dalam ilmu bela diri dan menjadi yang terbaik hingga beberapa kali memenangkan kejuaraan. Memang itu semua sedikit tidaknya membantu menyalurkan emosi Sheila. Apalagi Shensei yang mengajari Sheila sering memberikan ilmu self healing yang membuat gadis itu semakin tenang dari hari ke hari.  

Namun, Sheila tetaplah gadis sombong yang merasa lebih baik daripada orang lain. Ia selalu merasa orang lain salah jika tak mengikuti keinginannya seperti pada masalah yang menimpanya sekarang. Semua juga salah Banta. Ia abai mendidik anaknya agar menjadi pribadi yang rendah hati dan tak sungkan minta maaf. Kata-kata itu begitu keramat bagi gadisnya. Ia tak pernah merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. 

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status