Sheila turun dari mobil dengan penuh amarah. Ia berteriak-teriak menceracau tak jelas sepanjang perjalanannya menuju kamar dan merusak beberapa pajangan yang ada di ruang tengah. "Kenapa dia?" tanya Mak Cik Limah pada seorang pelayan di dapur. Pelayanan itu menggelengkan kepala. Jelas saja dia tak tahu apa yang terjadi, karena Sheila baru pulang setelah pergi tanpa pamit dari rumah dan menginap di rumah Aisha. Pak Banta melewati Mak Cik Limah yang memandang kepergian Sheila dari bawah tangga. "Ada apa, Pak?""Anak itu sungguh terlalu Limah." "Apa yang telah dia lakukan sebenarnya?"Pak Banta merebahkan tubuh di sofa." Buatkan aku kopi Limah." Pintanya. Makcik Limah bergegas ke dapur. Mengambil cangkir dan menuangkan kopi ke dalamnya dengan kening mengkerut. Limah membawa nampan berisi kopi dan juga sedikit camila ke meja Pak Banta."Aku kehabisan cara menasihati Sheila. Menikah dengan Damar pun kurasa belum tentu efektif menjadikannya lebih baik. Sebagai ayah aku benar-benar ta
Si Gadis AngkuhGadis itu merasa puas melihat penampilannya di kaca setelah menghabiskan waktu beberapa jam. Ia memang sangat betah menggonta-ganti pakaian dan aksesorisnya setiap waktu. Tepatnya bukan dia, tapi para pelayan yang telah disiapkan untuk mengurusnya oleh Papa.Kini, ia duduk manis di hadapan cermin panjang yang memperlihatkan tubuhnya dari ujung rambut sampai kaki. Seorang pelayan di belakangnya hendak memasangkan kalung. Namun, karena terlalu ceroboh ia malah membuat kalung itu tersangkut di jepitan rambut Sheila.Sheila meradang. Wajahnya memerah. Ia merampas kalung yang telah berhasil dilepaskan dari jepitan dan melemparkannya ke tanah."Sini kamu!" Bentaknya. Pelayan yang ditunjuk berjalan menunduk mendekati gadis cantik itu."Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis yang dipandangnya hanya berani memandang lantai dan meremas kedua tangannya.
Sore hari Zaid mengajar di masjid dekat rumah. Luka memar masih menghiasi pelipis dan tungkai lengannya."Assalamualaikum," ucap Zaid saat bertemu anak-anak yang sudah berkumpul di dalam masjid."Waalaikumsalam," sahut mereka bersamaan."Maafkan Ustad telat hari ini," pintanya."Iya Ustadz," sahut seorang santri."Ustadz kenapa itu," seorang dari mereka menunjuk pelipis Zaid yang memar." Oh, ini, ini Ustadz jatuh." Tangannya menunjuk pelipis. Namun Ia tak ingin membahas mengenai peristiwa itu dengan anak-anak karena akan memperpanjang cerita dan mengurangi waktu mengaji mereka yang juga sudah telat."Ternyata Ustadz kayak anak kecil. Bisa jatuh juga." Celetukan itu membuat tawa menggema sementara waktu hingga Zaid menegur mereka untuk berhenti.Saat pengajian selesai. Ustadz Hafiz teman Zaid menemuinya.
"Dasar lelaki bodoh. Payah. Begitu banyak duit di depan mata malah memilih jalur hukum. Dia pikir dapat mengalahkan orang kaya," jerit Sheila dalam perjalanan pulang dari kantor polisi."Lihat saja nanti, dia harus mendapatkan pelajaran dari perbuatannya!" Sheila berkata dengan lantang. Kini mobilnya dikemudikan oleh Pak Rahman. Pria paruh baya itu melihat Sheila sekilas dari kaca depan mobil."Pak, Sheila ingin pemuda tak tahu diri itu mendapatkan pelajaran seberat-beratnya. Biar dia tahu rasa." Gadis itu memajukan tubuhnya dan mengajak Pak Rahman berbicara.Namun Pak Rahman bergeming. Dalam hatinya ia tidak bisa membenarkan keinginan Sheila. Baru saja Pak Banta mengirimkan pesan agar tak mencampuri kasus Sheila. Biarlah Sheila menyelesaikan kasusnya ini dengan keadilan semestinya jika pemuda itu tak mau berdamai. Kali ini, ia mesti bersabar melihat Sheila merasakan hukuman akibat kelalaiannya. Walau, kadang hatin
Sheila menerima panggilan sidang. Ia amat murka karenanya. Entah berapa gelas dan piring yang pecah setelah surat itu dibaca."Pak Rahman. Mana Pak Rahman?" cecarnya pada Mak Cik Limah di dapur."Tenanglah Sheila. Ada apa sebenarnya?" Limah tidak paham mengapa tiba-tiba Sheila mengamuk hari ini. Padahal ia belum melakukan kegiatan apapun dan belum pergi ke mana-mana."Sheila bilang, mana Pak Rahman!" teriaknya membuat Limah terperanjat."Sheila! Berhenti bersikap kekanak-kanakan!" Perintah Papa yang baru tiba dari ruang tengah.Sheila kaget mendengar suara Banta."Papa!""Lihat ni, Pa. Pak Rahman. Sheila jadi dipanggil ke persidangan gara-gara dia." Sheila mendekati Banta. Tangannya bergelayut di lengan Banta sembari memperlihatkan sebuah surat panggilan.Banta membenarkan letak kaca matanya.Kemudi
Suatu pagi hari yang cerah. Di halaman rumah Sheila yang tertata indah, Papa sedang sarapan pagi di meja makan mungil berwarna putih. Di atas meja itu telah tertata cangkir teh dan teko keramik berwarna putih. Di sampingnya ada roti dan selai yang tersusun rapi. Sheila sedang mengoles rotinya dengan selai kacang kesukaannya."Sheila, Papa punya sebuah keinginan. Papa harap, kamu dapat memenuhi keinginan Papa kali ini." Papa meletakkan cangkir teh itu di atas piring kecil yang terletak di meja."Kalau Sheila bisa, tentu saja Sheila akan penuhi, Pa," jawab Sheila."Papa ingin kamu menikah." Papa memandang lekat ke arah Sheila."Papa!" Sheila terkejut dengan permintaan Papa padanya."Sheila masih muda, Pa!""Kalau kamu tidak kuliah dan tidak bekerja, sebaiknya menikah saja, Sheila. Supaya hidupmu lebih berarti," ucap Papa.Sheila mengg
"Mak Cik dari mana saja?" Wajah Sheila memerah karena amarah."Mak Cik baru belanja." Mak Cik Limah meletakkan barang belanjaannya.Sheila memindai sejenak barang belanjaan Mak Cik Limah."Duduklah. Mak Cik akan buatkan teh untukmu." Mak Cik Limah mengambil 2 cangkir di lemari dapur dan menatanya di atas nampan. Kemudian menyeduh teh dan menuangkannya ke dalam cangkir.Sheila menanti Mak Cik Limah di meja makan dengan sambil sesekali mengetuk-ngetuk meja makan dengan tangannya."Sudah, marahnya?"Mak Cik Limah meletakkan nampan berisi dua cangkir teh di atas meja. Mengarahkan secangkir untuk Sheil, dan mengambil secangkir untuknya."Sheila benci Papa!"Sheila mengetuk meja dengan jari tergenggam."Minum dulu tehnya," ujar Mak Cik Limah.Sheila menghid
Sheila dan ArkanSheila mengabaikan pertanyaan Mak Cik Limah ia bergegas masuk ke dalam rumah. Saat membuka pintu, Papa Banta, Pak Rahman dan beberapa orang telah berada di ruang tamu.Apakah tamu yang diundang papa untuk acara perjodohan itu telah datang?Mata Sheila menyipit menatap ke arah penghuni ruang tamu di hadapannya.Mak Cik Limah menyampaikan kalau mereka sudah bisa menikmati makan malam.Banta mengarahkan para tamu ke ruang makan. Sheila masih mematung saat semuanya telah beranjak ke ruang makan. Papa memandang Sheila memberi kode agar ia menyusul ke ruang makan.Sheila celingukan seakan mencari seseorang."Hei, kamu! Tunggu hukuman dariku!" Telunjuknya diarahkan ke wajah pemuda bermata sendu yang sedari tadi masih berada di belakangnya. Lantas, Sheila melengos dan meninggalkan Zaid yang tak berkedip menatap punggungnya.Andaikan saja dia bukan seorang gadis, Zaid ingin sekali melabra