"Saya membenci kelakuannya, seperti yang pernah Bunda katakan. Saya tidak terima jika Bunda terus disakiti!""Ayah mendua mungkin karena Bunda belum bisa menjadi istri yang baik, makanya dia mencari hiburan di luar.""Bukan salah Bunda. Bunda sudah menjadi ibu dan istri yang paling baik, hanya saja Ayah tidak pernah memiliki rasa syukur sehingga mudah sekali tergoda dengan wanita di luaran sana. Coba saja kalau dia menundukkan pandangan, menghindari zina mata dan memperkuat benteng keimanan, mungkin dia tidak akan terlena dengan godaan di luaran sana. Ayah akan tetap menjadi suami setia yang hanya cukup dengan satu istri saja!""Nanti kalau kamu sudah menikah jangan ditiru ya perbuatan seperti ini? Jangan pernah menyakiti hati perempuan, karena kamu juga terlahir dari rahim seorang perempuan. Dikhianati itu rasanya sakit banget, Kak. Bahkan hampir setiap malam, jika sedang mengingat semua ini Bunda jadi sulit sekali memejamkan mata. Rasa sakitnya itu tidak
"Adek mengalami kecelakaan, Fran. Adek kecelakaan!" pekikku sambil memeluk si sulung."Inalillahi, ya Allah. Terus sekarang Adek di mana?" Zafran bertanya seraya menyodorkan botol air mineral yang ada di tangannya."Adek sedang dirawat di rumah sakit Budi Kasih. Kita ke sana sekarang, Fran. Kita lihat adik kamu!" "Iya, Bun!" Zafran membantuku untuk berdiri, akan tetapi karena perasaan syok luar biasa membuat kaki tidak mampu menopang tubuh. Aku kembali ambruk hingga akhirnya si sulung memutuskan untuk menggendongku ke parkiran, sementara barang belanjaan dibawakan oleh pengunjung lain yang berkenan membantu.Perasaan cemas bercampur gelisah terus memenuhi pikiran, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku belum siap kehilangan Zafir, belum siap kehilangan mutiara hati yang selama ini selalu menjadi penguat di kala lara sedang melanda."Astaghfirullahaladzim ...." Terus mengucap istighfar, menahan air mata yang sejak tadi mengge
Kembali mencoba menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi dia tidak juga menjawab panggilan dariku."Ya Allah, Mas. Di saat genting seperti ini kenapa kamu malah mengabaikan panggilan dariku. Kamu boleh membenci aku karena terus menerus menolak ajakan kamu untuk kembali hidup bersama, tetapi Zafir itu anak kamu!" Aku menggumam sendiri dalam hati, sambil sesekali mengusap air mata yang berlomba-lomba meluncur dari sudut kedua netra.[Mas tolong segera ke rumah sakit. Anak kita sekarat dan butuh donor darah AB. Zarina sudah datang tapi dia tidak lolos pemeriksaan karena dia baru melakukan operasi dan sedang menyusui.] Send, Mas Abi.Karena tidak kunjung ada jawaban darinya aku segera keluar dari ruangan, meminta Zafran untuk menghubungi teman-temannya yang memiliki golongan darah sama.[Mas Rendi, apa Mas sudah menghubungi nomor Mas Abi? Zafir harus menjalani transfusi darah, dan golongan darahnya sama kaya Mas Abi. Tapi dia nggak bisa dihubungi, sementara Zarina tidak bisa mendonorkan dara
POV Abi."Alhamdulillah keadaan ananda sudah mulai stabil, perdarahannya juga sudah berhenti dan mungkin malam ini akan segera dilakukan tindakan operasi pemasangan pen di kaki ananda!" ucap dokter membuat diri ini sedikit bernapas lega.Aku terus menatap wajah sembab Hanina, ingin mendekat dan mendekap tubuhnya akan tetapi dia malah terkesan menghindar, bahkan diajak bicara saja tidak merespons sama sekali.Memang aku akui telah melakukan kesalahan besar, memberikan syarat supaya dia mau kembali, sebab jujur di hati masih ada rasa cinta yang begitu besar juga tidak pernah bisa aku buang.Aku pikir dengan memberikan syarat seperti itu Hanina akan terima, karena demi anak dia pasti akan melakukan segalanya.Namun tidak disangka Rendi datang sebagai penyelamat, menyumbangkan darahnya untuk anakku sehingga akhirnya permintaan konyolku menjadi sia-sia dan membuat Hanina semakin membenciku.Astagfirullah
Astaghfirullahaladzim, Abimanyu. Ternyata susah sekali ya bicara sama orang yang hatinya sudah mati. Semua orang disamakan seperti kamu yang suka selingkuh. Dipukul rata. Pasti dalam hati kamu sedang berprasangka buruk terhadap saya dan Mbak Hanina? Iya kan? Sekarang terserah, ya Abi. Saya sudah tidak lagi peduli dengan apa pun yang hendak kamu katakan. Capek ternyata bicara sama orang yang hatinya sudah tertutup oleh dosa. Pasti bawaannya suuzan terus. Sekarang saya tahu alasan kenapa Mbak Hanin tidak mau diajak mediasi, karena percuma bicara sama orang seperti kamu!" pungkasnya sambil menggelengkan kepala.Rendi yang masih terlihat lemas paska mendonorkan darah kepada anakku memilih untuk beranjak dari brankar, turun dari ranjang khas rumah sakit tersebut lalu berjalan menghampiri Hanina dan kedua anakku.Rasa sakit kiat menggerogoti jiwa ketika melihat dengan ramah putra putriku menyambut kehadiran Rendi, sementara aku yang ayah kandung mereka terus di
"Kamu kenapa, Mas? Ya Allah!" pekik Elfira sambil berjalan menghampiri dan mengusap wajahku. Bisa kulihat dengan jelas mata perempuan itu sudah berembun, terlihat sekali kalau dia begitu mengkhawatirkan keadaanku saat ini.Ya Allah, Elfira. Padahal selama ini aku selalu jahat sama kamu, bahkan tidak jarang berlaku kasar, akan tetapi kamu masih begitu baik serta pengertian."Tolong ambilkan air minum hangat!" pintaku dengan terbata.Elfira mengangguk, segera beranjak dari duduknya dan lekas membawakan segelas air hangat untukku. Dia juga segera membantuku untuk meneguknya."Sebaiknya kamu istirahat dulu. Ayo aku bantu Mas ke kasur!" ajaknya sembari membantu mengangkat tubuhku lalu membaringkannya di atas kasur. Dengan telaten ia memijat tangan serta kakiku, juga keringat yang terus menyembul dari pori-pori."Terima kasih, Fira. Maaf karena tadi saya sudah berbuat kasar sama kamu!" ucapku pelan, hampir tidak terdengar."Nggak apa-apa, Mas. Aku juga salah karena sudah lancang. Harusnya
Gema suara azan mulai terdengar berkumandang di seluruh penjuru musala. Aku membuka mata perlahan, mengucap hamdalah karena ternyata Allah masih memberi kesempatan untuk menatap dunia fana ini.Segera membangunkan Elfira, mengajak dia untuk melaksanakan ibadah wajib secara berjamaah akan tetapi dia malah merapatkan selimut, menutup seluruh tubuhnya hingga ke kepala."Kapan kamu mau salat, Fir? Kamu itu tanggung jawab saya, dan saya akan ikut menanggung dosa jika kamu selalu seperti ini!" ujarku mengingatkan."Aku masih ngantuk, Mas. Lagian kalau kita rajin salat langsung dikasih kekayaan sama Allah? Enggak kan?" jawabnya benar-benar diluar dugaan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sebab sedang tidak ingin marah-marah karena dada masih terasa sesak juga sedikit nyeri.Segera melaksanakan ibadah sendiri, air mata tiba-tiba lolos dari sudut netra ketika mengingat hari-hari yang kujalani bersama Hanina beserta ketiga anak kami. Setiap pag
POV Hanin.Keluar dari ruang sidang sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk, juga menahan diri agar tidak menoleh ke arah Mas Abi.Jika boleh jujur, sebenarnya masih ada rasa cinta yang tersemat di dalam dada, akan tetapi semua kesalahan yang telah ia perbuat membuatku terpaksa harus melepasnya.Dia telah berkhianat, dan di saat sang anak sedang membutuhkan donor darah Mas Abi malah memberikan syarat baru akan membantunya. Rasanya terlalu menyakitkan, karena demi anak saja dia tidak mau berkorban.Masuk ke dalam mobil Mas Rendi, Zarina mengambil jemariku lalu menggenggamnya, memberikan kekuatan sebab pasti ia tahu seperti apa perasaan ibunya saat ini."Bunda yang sabar ya?" ucapnya kemudian."Iya, Sayang. Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk hubungan Bunda sama Ayah!" jawabku, tetap memaksa menerbitkan senyuman kepadanya."Ayah memang pantas mendapatkan hukuman seperti ini. Dia pantas ditinggalkan