Cap tangan Siska membekas di pipi Nabila. Ia tak terima dengan ucapan adik madunya itu. Ia sama sekali tak berniat lari dan menelantarkan Ilham begitu saja.
Dari awal semua juga tahu bahwa Siska sama sekali tak mau di poligami dan kekeh minta bercerai. Hanya saja sekarang keadaannya begini, walau ia iba dengan Ilham itu tidak akan menggoyahkan keputusannya.
"Jaga bicaramu ya, Nab! Sejak kedatanganmu dalam keluarga saya pasti telingamu juga udah denger kalau saya minta cerai. Jadi, kamu nggak berhak berkata seperti itu kepada saya!" bentak Siska dengan kedua matanya yang membara.
"Sakit!" pekik Nabila dan langsung berdiri seraya menatap Siska dengan nyalang.
"Assalamualaikum." Seorang laki-laki paruh baya masuk dengan bantuan tongkat coklat tuanya. Membuat semua yang ada langsung menoleh ke sumber suara.
"Waalaikumsalam."
"A-Abah." Kedua mata Ilham
Setelah keluar dari rumah sakit Pak Kyai meminta Ilham untuk tinggal di rumah beliau dan dengan berat hati Ilham terpaksa menyetujuinya karena ia sendiri juga tak ada pilihan lain.Jika tinggal di dalam rumahnya seorang diri juga ia belum terbiasanya akan keadaannya yang sekarang ini. Sedangkan Nabila sendiri juga enggan ke rumah Ilham. Hubungan kedua suami istri ini sama sekali tidak harmonis. Nabila sama sekali tidak peduli dengan kondisi Ilham.Dan di tambah lagi dalam keadaannya yang seperti ini, jelas saja ia di pecat dari perusahaannya. Ia seolah hidup hanya dengan sebuah kehampaan. Hari demi hari terlewati, tinggal bersama dengan keluarga Pak Kyai yang masih peduli dengan dirinya namun tidak lagi dengan Nabila itu sendiri.Sikapnya begitu dingin dan acuh kepada Ilham. Walau sudah berkali-kali ditegur oleh Abah tetap saja ia tidak berubah. Sama tidak ada kebahagiaan dari kedua pasangan suami istri itu. 
Perempuan itu harus serba bisa. Perempuan itu harus bisa berdiri di kakinya sendiri. Perempuan bisa terlihat anggun dengan dengan kesederhanaannya. Perempuan bisa terlihat kuat dari semua lukanya.Hari yang telah Siska nanti-nantikan akhrinya datang juga. Hari dimana ia akan resmi berpisah dengan Ilham. Ia sama sekali tidak merasa berat. Ia sudah sangat siap untuk menerima semuanya.Satu bulan berlalu, ia sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Ilham. Hanya sesekali melakukan video call itu pun sekedar dengan Aqila saja dan kadang di temani oleh Ibu atau pun Bapak. Siska sedang sibuk mengurus toko baju dan kosmetiknya yang baru buka 2 Minggu ini.Ke sana sini ia mencoba mempromosikan barang dagangannya. Melalui whatsApp, instagram dan juga tiktok. Dengan senang hati ia menjalani hari-harinya sembari menunggu panggilan kerja dari perusahaan dimana Ika bekerja yang telah ia lamar.Untuk sa
Aqila terlihat begitu gembira, mereka saling berbincang-bincang dan ketika hujan sudah mulai reda Haris pamit pulang. Awalnya Aqila justru tidak memperbolehkannya, tapi karena Haris berkata bahwa besok janji mereka akan bertemu lagi akhrinya Aqila pun menganggukkan kepalanya.Keduanya sudah begitu dekat. Seolah gadis kecil itu kembali menemukan sumber tawanya setelah sekian lama tak merasa bahagia sejak Ilham merusak segala keadaan keluarganya sendiri.Bahkan, sekarang ini Aqila tidak pernah merindukan ayahnya itu. Saat Ilham menelepon pun terkadang Aqila enggan untuk berbicara. Ia hanya banyak diam, gadis itu pernah mengatakan bahwa ayahnya itu sudah berubah. Suka marah-marah dengan kedua bola matanya yang memerah. Aqila ternyata tidak bisa melupakan kejadian di rumah sakit saat Ilham mengamuk dan marah besar kepada Fatya.Dan mulai dari situ lah hubungan antara anak dan ayah ini jadi sedikit merenggang.
(Pov Siska)Ku tatap dengan lekat wajah mantan suamiku yang sedang duduk termenung di kursi rodanya. Tak ku sangka, ini semua akan menimpa keluargaku.Aku pikir selama ini, hidupku sudah sangat sempurna. Memiliki suami yang sangat baik, pengertian, romantis dan juga tampan rupawan. Di tambah dengan anak yang sangat lucu, menjadikan kebahagiaan yang aku rasakan semakin terasa sempurna.Namun, nyatanya tidak ada satu hal pun yang abadi di dunia ini. Kini semuanya lenyap dari hidupku. Separuh jiwaku sungguh telah menghilang bersama dengan rasa sakit yang telah Mas Ilham torehkan.Aku tak tahu, apa setelah ini aku dapat memberikan sebuah kepercayaan pada laki-laki lagi atau tidak. Rasanya, aku sudah sangat cukup jika harus bersama dengan putri dan kedua orangtuaku saja.Rasa takut dan bayang-bayang diduakan itu masih menggelayuti benakku. Seolah citra semua laki-laki sudah teramat la
Fatya menghela napasnya seraya menurunkan kedua bahunya, "oke-oke, nggak lagi gitu. Kecuali dia nggak bikin gara-gara, si." Ia pun langsung masuk ke dalam mobilnya dan di ikuti oleh yang lain."Ya semoga aja kalian nggak akan pernah ketemu lagi! Bahaya!" ungkap Siska seraya menutup pintu."Ogah juga ketemu dia! Amit-amit!" Fatya bergidik ngeri lalu menyalakan mesin mobilnya dan bergegas untuk pulang ke rumah orangtua Siska.Di sepanjang perjalanan Siska banyak tersenyum. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Fatya yang sibuk menyetir pun sama sekali tak menyadarinya.Bahkan sampai hingga sampai tujuan pun senyuman di bibir manis Siska itu tidak pudar. Masih tetap terukir rapih di wajahnya."Heh! Ngapain senyam-senyum?" Fatya menyenggol bahu Siska hingga membuat wanita itu langsung tersentak dan ia pun langsung membenahi ekspresinya."Emang kenapa? Nggak boleh, y
Hari yang begitu panjang bagi Siska. Ia menatap langit-langit kamarnya, kamar yang dulunya adalah tempat paling ternyaman di dalam rumah ini sebelum ia menikah. Dan akhirnya kini ia kembali lagi ke sini bersama dengan putri kecilnya.Ia tarik kursi meja riasnya, menatap wajah yang sudah hampir memasuki kepala tiga dalam pantulan cermin. Ia lepaskan jilbab yang menutup kepala lalu melepaskan ikat rambutnya. Dengan perlahan ia menyisir rambut panjang yang mengungsi, senyumnya merekah. Ia pandang dirinya sendiri dengan lekat, membersihkan sisa-sisa make up nya dengan kapas lalu bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.Tak lupa Siska menggelar sajadah untuk melaksanakan 4 rakaat salah dzuhur. Ia tunaikan kewajibannya itu sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah SWT.Setelah selesai,
Abah mengusap kepala Nabila dengan lembut lalu menatap Ilham dengan lekat, "Nabila ini sebenarnya adalah anak dari adik bungsu Abah yang meninggal akibat tertabrak kereta."Nabila bak tersengat listrik dengan tegangan tinggi. Hatinya hancur berkeping-keping, ia menggeleng tak percaya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Begitu juga Ilham yang tak kalah terkejutnya mendengar rahasia yang selama ini telah Abah dan kekuasaan sembunyikan dari Nabila."Dan, Ibumu meninggal sewaktu baru saja melahirkanmu ke dunia ini, Nduk!" imbuh Umi yang duduk di lantai bersama dengan Nabila."Nggak! Nggak mungkin, Umi! Nabila ini anak Abah sama Umi! Ini pasti nggak bener kan, iya, kan?" Tangis Nabila pecah. Kenyataan ini tak pernah ia sangka sebelumnya. Karena memang selama ini tidak ada yang membuatnya cerita. Abah dan Umi selalu menyayanginya hingga ia tak mengira bahwa ia bukanlah anak kandung mereka.Pantas saj
(Pov Siska)Ku tatap dengan lekat wajah mantan suamiku yang sedang duduk termenung di kursi rodanya. Tak ku sangka, ini semua akan menimpa keluargaku.Aku pikir selama ini, hidupku sudah sangat sempurna. Memiliki suami yang sangat baik, pengertian, romantis dan juga tampan rupawan. Di tambah dengan anak yang sangat lucu, menjadikan kebahagiaan yang aku rasakan semakin terasa sempurna.Namun, nyatanya tidak ada satu hal pun yang abadi di dunia ini. Kini semuanya lenyap dari hidupku. Separuh jiwaku sungguh telah menghilang bersama dengan rasa sakit yang telah Mas Ilham torehkan.Aku tak tahu, apa setelah ini aku dapat memberikan sebuah kepercayaan pada laki-laki lagi atau tidak. Rasanya, aku sudah sangat cukup jika harus bersama dengan putri dan kedua orangtuaku saja.Rasa takut dan bayang-bayang diduaka