"Kau sudah pulang?" Andreas yang baru saja pulang dari luar kota, menyambut Misha di depan kamarnya.Misha yang masih sedih karena kontrak kerjanya diputus sepihak, hanya berdiri menatap pria itu dengan muram."Kenapa?" tanya Andreas dengan cemas.Misha menggigit bibirnya menahan gumpalan rasa sedih yang mendesak di dadanya."Aku dipecat," jawab gadis itu dengan muram.Andreas menarik nafas panjang, lalu merentangkan tangannya di depan gadis itu."Kemarilah." Misha berjalan cepat lalu menyusup masuk ke pelukan pria itu seketika."Kumohon, jangan sedih. Kau milikku sekarang, jadi kau tidak harus bersusah payah bekerja, Misha." Ucap Andreas dengan lembut.Misha masih merasa muram. Bagaimanapun hidup tanpa pekerjaan itu tidak enak baginya."Misha," panggil Andreas dengan hati-hati. "Hm?" Misha menjawab dengan gumaman."Menikahlah denganku. Aku ingin memilikimu dengan cara yang benar." Andreas melepas dekapannya dan menatap Misha dengan sorot memuja.Misha tertegun seraya memandang pria
"Miranda." Misha nyaris berbisik memanggil kakak perempuannya.Miranda terlihat lebih cantik dari terakhir kali mereka bertemu. Perempuan itu memakai sebuah sweater panjang berwarna hijau tua yang tampak begitu pas di kulitnya yang putih namun tidak sepucat Misha."Sedang apa kau di sini, Mish?" Sinis Miranda meski matanya melirik penasaran pada butik terkenal yang baru dimasuki adiknya.Misha tergagap dengan wajah merona tanpa sadar."Aku akan menikah, Mira." Misha menantang mata sang kakak dengan sorot percaya diri.Miranda terkesiap kencang. Rahangnya mengencang dengan ekspresi penuh kebencian pada adiknya."Kau? Menikah lebih dulu dari aku? Sulit dipercaya. Siapa pria buta yang menikahi Adikku yang kumal ini, hah?" Miranda menghina dengan suara yang terdengar cukup kencang."Aku!" Miranda tersentak dan langsung berbalik mendengar suara bariton yang mendekat ke arah mereka.Andreas Maxwell terlihat berjalan dan menatap lurus hanya ke arah Misha. Seolah Miranda hanya serangga yang t
"Aku ingin ganti pelayan. Aku tidak suka perempuan gemuk!" ujar sebuah suara bariton yang terdengar tegas.Misha melotot kesal pada seorang pengusaha terkenal yang menjadi pelanggan VIP di tempat kerjanya hari ini."Aku hanya mengantar ayam panggang pesananmu, Sir." Misha meletakkan senampan hidangan mewah yang tampak lezat di meja marmer ruang VIP restoran itu.Andreas Maxwell mengangguk dengan raut bosan. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah gadis berambut kemerahan yang melayaninya kali ini."Sandy sudah tahu standar pelayananku. Dan itu bukan kau!" ujar laki-laki itu terlihat kesal.Misha menahan bibirnya berusaha agar tidak merespon pelanggan dengan kalimat kasar. Gadis itu lalu tersenyum selebar mungkin."Carry sedang izin sakit, Sir. Jadi hanya ada aku yang melayani area VIP hari ini," jawab Misha dengan sopan.Andreas terlihat mengernyit tak suka. "Pelayan yang terlalu besar mengganggu selera makanku," ucap laki-laki itu terlihat jengkel.Misha menarik nafas tajam dan me
"Aku akan menjenguk Harry. Selesai jam istirahat aku pasti sudah kembali, Sandy." Ucap Misha seraya merapikan rambutnya yang lembab dan kusut.Sandi menoleh lalu mendengkus pelan, meski akhirnya mengangguk mengiyakan."Pergilah! Semoga tunanganmu cepat sehat, Mish!" ucap manajernya itu.Misha tersenyum, lalu bergegas pergi dan memanggil taksi menuju apartemen tunangannya.Setelah sampai di depan sebuah gedung apartemen kelas menengah, Misha berjalan masuk dengan terburu-buru.Gadis itu menyusuri koridor apartemen tunangannya dengan wajah cemas. Kemarin Harry, tunangannya itu sedang sakit dan tidak masuk kerja di kantor firma hukum yang kebetulan tak jauh dari restoran tempat Misha bekerja.Misha merasa cemas sepanjang hari ini karena tunangannya itu tidak mengabarinya sejak pagi.Senyum lega tampak di wajah lelah gadis 22 tahun itu saat akhirnya sampai di depan pintu kamar tunangannya.Dengan perlahan, dia menekan beberapa angka untuk membuka pintu. Dia tidak mau mengganggu istiraha
Misha memasuki sebuah flat sederhana berkamar 1 yang baru saja disewanya untuk beberapa bulan ke depan.Dia memakai sebagian uang simpanannya untuk membiayai hidupnya di tempat lain yang cukup jauh dari kota asalnya, setelah dia mengundurkan diri dari restoran tempatnya bekerja. Misha juga memutus semua komunikasi dengan orang-orang yang dikenalnya.Gadis itu mengembuskan nafas dengan keras, saat menatap satu persatu ke arah koper dan kotak yang masih berserakan setelah diturunkan salah satu mobil ekspedisi tadi."Baiklah...Misha. Mari mulai hidupmu dari awal," gumam gadis itu pada dirinya sendiri.Sebuah dering ponsel terdengar memenuhi seisi ruangan kecil itu kemudian.Misha tersenyum kecil melihat nama Howard di layar ponselnya.Dia begitu beruntung memiliki sahabat seperti Howard yang bisa memudahkan nyaris seluruh proses kepergiannya."Hallo temanku yang sebaik peri!" sapa Misha sebelum menyalakan fitur speaker di ponselnya."Hei! Berhentilah mengejekku, bodoh! Bagaimana sarang
Matahari masih belum muncul sepenuhnya. Langit bahkan masih sedikit gelap, namun Misha sudah terbangun dan tengah duduk diam di kasurnya dengan wajah muram.Senyum ceria dan ekspresi ramab yang sebelumnya Misha tunjukkan di hadapan tetangganya hilang tak berbekas saat dia sendirian.Wajah cantik Misha masih sesedih sebelumnya. Juga luka yang masih basah di hatinya masih berdenyut perih dan memicu rasa benci yang semakin membesar."Aku harus berhenti peduli pada apapun, selain diriku sendiri mulai hari ini," batin gadis itu.Misha melirik sekilas bayangannya yang tampak muram di cermin besar kamarnya.Karena tak ingin terlambat, dia bergegas mandi tanpa memikirkan hal tak penting lagi.Dia tidak ingin membuat Lizzie menunggu, jadi dengan cepat Misha mengikat rambut panjangnya dan hanya memoleskan sebuah pelembab berwarna pink samar di bibirnya yang sedikit pucat.Tak lama, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya."Aku datang!" teriak gadis itu lalu berlari pergi setelah mengamb
Misha menemukan seorang laki-laki setengah telanjang yang tampak tak sadarkan diri dengan sebuah pisau kecil masih menancap di pinggangnya."Ya Tuhan! Kau baik-baik saja?" pekiknya dengan gemetar.Misha merasakan tubuhnya dingin karena ketakutan.Dia takut malah menemukan mayat justru di hari pertamanya bekerja.Dengan kakinya yang terbungkus sepatu olahraga, gadis itu memberanikan diri menyentuh betis laki-laki yang tampak tak bergerak. "Hei! Kau masih sadar?" tanya gadis itu dengan suara semakin goyah.Misha lalu mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menghubungi layanan darurat. Dia tidak ingin jadi saksi jika orang itu benar-benar sudah atau nyaris mati.Dengan suara nyaris terbata-bata karena panik dan takut, gadis itu menyebutkan nama komplek sekaligus nomor rumah ini. Misha tidak ingin kelak ditanyai sendirian jika ada hal buruk yang terjadi pada orang itu.Tapi sebelumnya, dia berusaha memeriksa orang itu sekali lagi.Dengan ngeri, Misha melangkahi noda darah di lantai kama
"Apa yang akan kau lakukan?" Alan menerobos masuk ke dalam kamar Andreas yang memang sudah biasa tidak terkunci.Andreas yang tengah mengancingkan kemejanya dengan tubuh yang masih terasa sedikit nyeri melirik sepupunya itu dengan santai."Selamat pagi, Sepupu!" sapa Andreas dengan senyum lebar yang bagi Alan terlihat mencurigakan."Jawab aku, Maxwell!" desak Alan terdengar jengkel.Andreas mengangkat alisnya dengan senyum kecil."Aku akan mulai menyusun cara untuk menyingkirkan Eddie dari kursinya," jawab pria itu.Alan bertolak pinggang dengan raut cemas."Bukan itu. Kau memasukkan kunjungan ke Divine hari ini," ujar laki-laki berkulit kecoklatan itu pada atasan sekaligus saudaranya.Andreas bergeming. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi."Aku harus berterima kasih, bukan?" ucap Andreas datar.Alan menghela nafas panjang."Tidak, kita tahu tujuanmu bukan itu kesana." desak Alan seraya melipat lengannya di dada.Kekehan Andreas terdengar di kamar yang hening itu."Aku pernah bertemu gadis