Matahari masih belum muncul sepenuhnya. Langit bahkan masih sedikit gelap, namun Misha sudah terbangun dan tengah duduk diam di kasurnya dengan wajah muram.
Senyum ceria dan ekspresi ramab yang sebelumnya Misha tunjukkan di hadapan tetangganya hilang tak berbekas saat dia sendirian.Wajah cantik Misha masih sesedih sebelumnya. Juga luka yang masih basah di hatinya masih berdenyut perih dan memicu rasa benci yang semakin membesar."Aku harus berhenti peduli pada apapun, selain diriku sendiri mulai hari ini," batin gadis itu.Misha melirik sekilas bayangannya yang tampak muram di cermin besar kamarnya.Karena tak ingin terlambat, dia bergegas mandi tanpa memikirkan hal tak penting lagi.Dia tidak ingin membuat Lizzie menunggu, jadi dengan cepat Misha mengikat rambut panjangnya dan hanya memoleskan sebuah pelembab berwarna pink samar di bibirnya yang sedikit pucat.Tak lama, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya."Aku datang!" teriak gadis itu lalu berlari pergi setelah mengambil ransel biru navy kesayangannya.Misha membuka pintunya dengan antusias. Akhirnya dia melihat Lizzie memakai seragam kerja khas petugas kebersihan berwarna abu-abu yang tampak rapi dan bersih. "Kau cantik," puji Misha dengan tulus.Lizzie memutar matanya dengan gemas."Katakan lagi sepulang kerja nanti," jawab tetangganya itu dengan geli.Keduanya saling tertawa."Tentu saja kita pasti akan lebih cantik lagi nanti," seloroh gadis itu pada calon teman kerjanya.Lizzie tergelak geli mendengarnya."Siapa yang menjaga Barry?" tanya Misha penasaran."Ibuku. Sudahlah, ayo pergi!" ajak Lizzie sambil menarik lengan Misha dengan cukup kencang.***Misha sampai di sebuah rumah mewah bergaya modern yang tampak jelas baru saja dibangun.Rumah itu terlihat megah dan kokoh, seolah terbuat dari pahatan beton yang dibuat berliku dan bersudut yang sekilas membuat Misha bingung."Ya Tuhan…! Bagaimana cara membersihkan bangunan sebesar ini?" ucap Misha dalam hati dengan gelisah.Gadis itu lalu meringis ngeri melihat banyaknya sampah bekas pembangunan yang masih bertumpuk dan menutupi keindahan rumah megah itu.Bahkan masih terlihat cukup banyak balok-balok kayu yang bertumpuk di sekitaran rumah itu.Misha mengernyit gusar."Apa aku harus mengangkat itu juga?" gumam gadis itu tanpa sadar.Lalu dia kembali teringat jika mereka tim yang terdiri dari beberapa orang lainnya hingga akhirnya Misha bisa merasa sedikit lega."Ayo kita mulai! Pekerjaan sangat banyak, Misha," ujar Lizzie sambil menggandeng tangannya memasuki rumah itu."Rumah ini terlalu besar untuk orang normal," guman Misha takjub saat memasuki ruang depan rumah kosong itu.Lizzie tertawa pelan."Jika kau kaya, rumah sebesar ini akan terasa kurang. Percayalah, uang akan membuat seseorang jadi aneh." ucap Lizzie seraya mengedip iseng.Misha tersenyum setuju."Kita ke atas!" Ajak Misha dengan semangat.Mereka bertugas membersihkan debu-debu di lantai dua yang cukup luas hari ini, dan Misha merasa cukup antusias meski pekerjaannya mungkin seperti yang Howard katakan. Tidak terlalu bergaya.Gadis itu tersenyum kecil pada dirinya sendiri."Kurasa hidupku akan membaik setelah ini," gumam Misha meyakinkan dirinya.Lizzie dengan baik hati memilih ruangan dan sudut yang tampak lebih sulit karena berpikir Misha masih harus beradaptasi di hari pertamanya bekerja."Aku akan membersihkan kamar utama yang di pojok itu saja," pinta Misha sambil menunjuk sebuah ruangan berpintu hitam besar yang menjorok ke teras luar.Lizzie melihat ke arah yang ditunjuk dan mengangguk. "Baiklah, tapi kita akan berada di sisi bangunan yang berjauhan." kata Lizzie sebelum berlari ke sisi berlawanan darinya.Dengan hati-hati Misha memasuki ruangan itu, lalu terdiam kebingungan.Ruangan itu kosong dan masih berdebu. Jelas belum ditempati karena masih belum layak sebelum dibersihkan.Tapi ada sebuah gorden berwarna abu-abu agak gelap menutup sebagian jendelanya. "Kurasa warna gelap tidak cocok untuk tirai kamar," gumam gadis itu.Misha mulai berjalan masuk dan semakin mengernyit melihat ruangan itu.Yang paling membuatnya bingung, ada jejak sepatu berukuran cukup besar di lantai kayunya yang masih kotor. "Bukankan rumah ini masih kosong?" Misha bertanya dalam hati saat melihat jejak itu.Sekitar 2 meter dari sana, ada sehelai kain yang terlihat seperti pakaian tampak tergeletak di lantai kayu ruangan yang tampak dua kali lebih besar dari flat miliknya itu.Misha berkedip kebingungan, perlahan dia mendekati onggokan kain berwarna putih itu lalu terkesiap kaget."Apa ini?" batin gadis itu kebingungan.Itu jelas sebuah kemeja laki-laki yang terlihat dirobek dengan noda darah tersebar cukup banyak dan tampak pekat. Mata Misha membelalak ngeri dan jantungnya berdebar cepat karena waspada.Dengan ragu-ragu, dia memberanikan diri mengangkat kemeja rusak itu karena penasaran.Noda darah itu tampak melumuri bagian pinggang sebelah kiri kemeja putih itu. "Ini… darah? Ya Tuhan! Apakah ada mayat di tempat ini?" batin Misha dengan panik.Gadis itu lalu melihat sekeliling ruangan dengan wajah pucat dan ekspresi ketakutan.Siapapun pemiliknya, kemungkinan orang itu terluka cukup parah saat ini.Rasa ngeri membuat Misha cepat-cepat menjatuhkan kemeja itu lagi dan melangkah mundur tanpa sadar.Misha menelan ludah dengan tangan gemetaran. Tangannya dengan reflek dia usapkan ke pakaiannya seolah ingin menghapus jejak darah yang tadi disentuhnya."Ya Tuhan… Apa itu?"Mata lebarnya dengan panik memindai lagi seluruh ruangan itu, lalu berhenti pada sebuah pintu yang ada di dekat jendela.Kamar mandi.Misha menelan ludahnya dengan gugup."Tidak, tidak! Aku tidak harus melihat kesana, bukan? Bagaimana jika ada mayat?" batin Misha berdebat dengan rasa takutnya sendiri.Gadis itu mulai mundur lagi ke arah pintu keluar, lalu berhenti dengan ragu."Tapi bagaimana jika tidak ada apapun?" batin gadis itu semakin bimbang.Misha menggigit bibirnya tanpa sadar.Dia merasakan jantungnya berdebar begitu kencang karena penasaran bercampur takut."Kurasa, aku harus memeriksanya, bukan? Kamar ini tugasku," ucap Misha dalam hati seolah meyakinkan dirinya sendiri.Meski takut dan ragu-ragu, akhirnya kakinya melangkah mendekati ruangan dengan pintu tertutup itu dengan tubuh gemetar."Ayolah, Mish…!" bisiknya menyemangati diri sendiri.Misha mulai mengangkat tangannya meski dengan wajah takut, lalu perlahan berusaha membuka pintu kamar mandi kemudian memekik kencang."Ya Tuhan! Tolong! Apa ini?!" pekik gadis itu semakin gemetaran."Lizzie! Toloong!" teriak Misha sekencang mungkinLizzie terdengar berlari mendekat di rumah kosong itu seraya menjawab keras dengan nada khawatir."Misha? Kau baik-baik saja?" tanya wanita itu panik.Lizzie semakin takut saat tak menemukan Misha dan malah mendapati sebuah kain bernoda darah di lantai.Saat memasuki kamar mandi, Lizzie akhirnya menemukan Misha. Tapi belum juga lega, dia melihat sesuatu dan saat itu juga ikut menjerit dengan panik."Ya Tuhan!""Tolooong!"Misha menemukan seorang laki-laki setengah telanjang yang tampak tak sadarkan diri dengan sebuah pisau kecil masih menancap di pinggangnya."Ya Tuhan! Kau baik-baik saja?" pekiknya dengan gemetar.Misha merasakan tubuhnya dingin karena ketakutan.Dia takut malah menemukan mayat justru di hari pertamanya bekerja.Dengan kakinya yang terbungkus sepatu olahraga, gadis itu memberanikan diri menyentuh betis laki-laki yang tampak tak bergerak. "Hei! Kau masih sadar?" tanya gadis itu dengan suara semakin goyah.Misha lalu mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat menghubungi layanan darurat. Dia tidak ingin jadi saksi jika orang itu benar-benar sudah atau nyaris mati.Dengan suara nyaris terbata-bata karena panik dan takut, gadis itu menyebutkan nama komplek sekaligus nomor rumah ini. Misha tidak ingin kelak ditanyai sendirian jika ada hal buruk yang terjadi pada orang itu.Tapi sebelumnya, dia berusaha memeriksa orang itu sekali lagi.Dengan ngeri, Misha melangkahi noda darah di lantai kama
"Apa yang akan kau lakukan?" Alan menerobos masuk ke dalam kamar Andreas yang memang sudah biasa tidak terkunci.Andreas yang tengah mengancingkan kemejanya dengan tubuh yang masih terasa sedikit nyeri melirik sepupunya itu dengan santai."Selamat pagi, Sepupu!" sapa Andreas dengan senyum lebar yang bagi Alan terlihat mencurigakan."Jawab aku, Maxwell!" desak Alan terdengar jengkel.Andreas mengangkat alisnya dengan senyum kecil."Aku akan mulai menyusun cara untuk menyingkirkan Eddie dari kursinya," jawab pria itu.Alan bertolak pinggang dengan raut cemas."Bukan itu. Kau memasukkan kunjungan ke Divine hari ini," ujar laki-laki berkulit kecoklatan itu pada atasan sekaligus saudaranya.Andreas bergeming. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi."Aku harus berterima kasih, bukan?" ucap Andreas datar.Alan menghela nafas panjang."Tidak, kita tahu tujuanmu bukan itu kesana." desak Alan seraya melipat lengannya di dada.Kekehan Andreas terdengar di kamar yang hening itu."Aku pernah bertemu gadis
Misha berjalan cepat dengan langkah panik."Kau kabur!" sebuah suara sinis menghentikan langkah gadis itu.Misha mengernyit melihat Alan berdiri di pintu keluar rumah baru Andreas."Aku tidak tahu selain materialistis ternyata penolong saudaraku itu seorang pembohong," sinis pria itu.Misha merangsek maju dengan ekspresi marah."Bisakah kalian berhenti menghinaku? Kau sama saja dengan saudaramu!" ujar Misha jengkel.Alan mendengkus kesal."Kami sudah tahu pelaku penusukan Andreas. Dan kau jelas tidak akan kuat melukai saudaraku," kata pria itu.Misha memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya kesal di hidip barunya ini."Aku pernah menyumpahinya celaka. Dan dia benar-benar celaka di depan mataku! Kau puas?!" desis Misha frustasi.Alan mengerjap kaget, lalu sorot sinis di matanya perlahan melunak."Kau... Merasa bersalah ternyata," gumam Alan seolah baru saja menyadari sesuatu.Misha menghindari tatapan pria berwajah tampan itu.Suara langkah
"Pantas tubuhmu berisi," Sebuah komentar bernada geli membuat Misha berhenti mengunyah.Mata biru gadis itu menyorot tajam penuh kemarahan."Kau menghinaku lagi," desis gadis itu kesal.Andreas tergelak pelan."Kau seksi dan terlihat lezat. Aku suka melihatmu, dan itu bukan hinaan," ucap pria itu pelan."Berhentilah menghina fisikku!" ujar Misha dengan marah.Andreas tertawa renyah. Tawa pria itu tampak ringan lepas.Misha membuang nafas kasar antara terpukau dan kesal.Dia sudah mendapat kejutan luar biasa saat membuka pintu dan menemukan seorang Andreas berdiri memasang senyum ramah dengan sebuah jaket hoodie berwarna navy."Bagaimana kau bisa masuk? Apartemenku harus punya kunci lift sendiri untuk naik ke lantai atas," desak Misha dengan pandangan menyelidik.Andreas meneguk segelas soda dingin dengan senyum tipis yang membuat Misha makin kesal."Aku memang tak punya kunci lift, tapi aku punya uang," jawab pria itu dengan senyum penuh arti."Tentu saja," gumam Misha agak sinis."A
"Ya Tuhan, Mish. Sayang, kau baik-baik saja?"Misha mundur dengan jijik dan marah dari pria yang menghambur seolah ingin memeluknya.Harry. Entah bagaimana laki-laki brengsek itu ada di kota ini."Apa yang kau lakukan di sini?" desis Misha dengan tegang.Harry memamerkan senyum memuakkan dengan ekspresi seolah tak berdosa."Aku selesai menemui klien penting di sini. Dan sebuah kejutan yang luar biasa saat aku melihatmu dari taksi menuju hotel," jawab Harry dengan senyum sekilas tampak mengejek.Misha menatap mantan tunangannya itu dengan tegang dan sorot panik."Siapa kau?" tiba-tiba suara bariton bernada dingin menyentak Misha dan Harry sekaligus.Andreas menatap mantan tunangan Misha itu dengan ekspresi dingin yang membuat Misha meremang gelisah.Harry yang tadinya kesal, tampak melotot saat akhirnya menyadari siapa pria dibalik hoodie yang berdiri bersama Misha."Oh, Hai! Kau Andreas Maxwell, kan? Aku Harry Barton, tunangan Misha." ucap laki-laki itu dengan senyum antusias tanpa r
KISAH CINTA TERLARANG ANDREAS MAXWELL DAN TUNANGAN ORANG.Misha menarik nafasnya yang gemetar karena rasa takut.Dengan tangan gemetar Misha bergegas menutup gorden kamarnya, padahal waktu masih tengah hari.Dia tidak harus menebak siapa pelaku penyebaran berita buruk itu ke media."Harry sudah keterlaluan," gumamnya dengan suara bergetar karena marah.Kehidupan baru yang baru saja dimulai sepertinya tidak akan semudah yang dia bayangkan.Misha mengusap wajahnya dengan frustasi.Drrrrt... Drrrt...Suara getar ponsel di atas meja makan membuat Misha tersentak kaget. Gadis itu mengernyit bingung melihat nomor tak dikenal di layar ponselnya."Hallo!" "Misha?" Suara bariton yang terdengar familiar berbicara dengan nada cemas.Misha menegang kaku mendengarnya."Darimana kau tahu nomorku?" tanya gadis itu panik."Kau bekerja di perusahaan milik Ibu Tiriku, Misha." Jawab lawan bicaranya diikuti kekehan pelan bernada geli.Misha memejam frustasi. Dia bahkan baru tahu jika perusahaan tempatn
"Hai!" Sore hari Misha dibuka dengan sapaan sopan bernada kaku dari seorang pria tampan.Misha mengangguk sopan saat membuka pintu apartemennya dan menemukan Alan berdiri memasang senyum canggung ke arahnya.Dia sudah menghubungi keamanan gedung sebelum pria itu tiba agar memberi izin kepada tamu yang ingin menemuinya, hingga Alan bisa masuk dan naik ke lantai tiga tempat tinggal Misha."Kau mau masuk dulu?" tanya gadis itu berbasa-basi.Alan menggeleng cepat dan tampak tak nyaman."Kita pergi saja. Andreas bisa sangat menyebalkan jika harus menunggu lama." Ujar pria itu dengan senyum tipisnya.Misha mendengkus pelan."Seingatku dia memang orang yang menyebalkan," ucap Misha.Alan tertawa kecil, lalu mengangguk setuju."Baiklah, ayo!" Alan berjalan cepat mendahului Misha yang masih berkutat dengan kunci apartemennya yang baru."Alan, bisakah aku kembali kemari sebelum jam 8 malam?" tanya Misha tiba-tiba.Alan menoleh dan mengeryitkan keningnya dengan kesal."Kau bahkan belum pergi, d
"Misha, kita harus berbicara tentang berita hari ini." Andreas mencegahnya saat baru saja membuka pintu depan rumah mewah itu, dan ekspresi serius di wajah pria itulah yang membuat langkah Misha terhenti.Gadis itu menelan ludahnya gelisah. Rasa khawatir pada gosip yang bisa mengusik hidup barunya kembali menyeruak."Aku tahu, tapi aku ada janji penting hari ini," jawabnya tak sabar.Andreas menggengam lengan Misha dengan senyum menenangkan."Kita lakukan keduanya. Kita akan berbicara, dan kau akan tetap datang menepati janjimu," ujar pria itu dengan yakin.Misha menatap Andreas dengan bimbang, lalu akhirnya mengangguk setuju."Baiklah." jawab Misha dengan senyum lemah.Andreas tersenyum lega, lalu merogoh ponselnya dan menempelkannya ke telinga."Alan, aku membutuhkanmu." Ujar pria itu tanpa melepas tatapannya dari Misha.Tak lama, Alan menyusul mereka ke teras luas rumah megah itu dengan raut penasaran."Ada apa?" tanya pria itu tanpa basa-basi. "Bantu aku mencari kado ulang tahun