Misha berjalan cepat dengan langkah panik.
"Kau kabur!" sebuah suara sinis menghentikan langkah gadis itu.Misha mengernyit melihat Alan berdiri di pintu keluar rumah baru Andreas."Aku tidak tahu selain materialistis ternyata penolong saudaraku itu seorang pembohong," sinis pria itu.Misha merangsek maju dengan ekspresi marah."Bisakah kalian berhenti menghinaku? Kau sama saja dengan saudaramu!" ujar Misha jengkel.Alan mendengkus kesal."Kami sudah tahu pelaku penusukan Andreas. Dan kau jelas tidak akan kuat melukai saudaraku," kata pria itu.Misha memalingkan wajahnya.Dia tidak ingin berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya kesal di hidip barunya ini."Aku pernah menyumpahinya celaka. Dan dia benar-benar celaka di depan mataku! Kau puas?!" desis Misha frustasi.Alan mengerjap kaget, lalu sorot sinis di matanya perlahan melunak."Kau... Merasa bersalah ternyata," gumam Alan seolah baru saja menyadari sesuatu.Misha menghindari tatapan pria berwajah tampan itu.Suara langkah kaki mendekat ke arah mereka.Andreas perlahan mendekat dengan mata lekat pada Misha dengan tatapan yang tak terbaca.Misha mundur tanpa sadar. Aura laki-laki itu terlalu mendominasi hingga tanpa sadar gadis itu selalu menghadapinya dengan sikap defensif."Aku memang pantas disumpahi di pertemuan pertama kita, Misha. Aku minta maaf," ucap Andreas Maxwell dengan nada yang terdengar tulus.Misha mendelik kesal."Kau menghinaku tanpa sebab waktu itu," ucap Misha mengingatkan.Andreas meringis terlihat menyesal."Kurasa begitu. Kau sangat mengganggu konsentrasiku saat itu, Misha," jawab pria itu dengan pelan.Misha mengernyit bingung."Apa maksudmu? Aku hanya bekerja." Misha menatap Andreas dengan bingungMata biru gelap Andreas nyaris tak lepas dari Misha dengan seulas senyum ramah memikat yang membuat Misha nyaris saja terpana."Sejujurnya, kau tampak lebih lezat dari makanan yang waktu itu kau bawa, Misha," jawab Andreas dengan sorot tertarik yang terlihat sangat jelas.Misha merasa pipinya memanas seketika."Berhentilah, kau menjengkelkan," gumam gadis itu berusaha agar tidak salah tingkah.Andreas tertawa pelan dengan suara yang terdengar menyenangkan di telinga Misha."Aku serius. Aku mengingatmu, Misha. Kau berdiri melotot padaku dengan mata biru dan rambut kemerahanmu waktu itu. Percayalah, aku butuh berhari-hari untuk berhenti memikirkanmu," ucap pria itu nyaris berbisik.Misha mengerjap sekilas, lalu dengan cepat berusaha memulihkan diri dari ungkapan kekaguman Andreas yang tak pernah dia duga.Bagaimanapun pria itu sudah biasa menghadapi media. Jadi Misha yakin rasa kagum yang dikatakannya itu bersikap umum dan mungkin berlaku untuk semua wanita."Aku harus kembali bekerja." Misha beranjak dari sana dengan tergesa-gesa."Tanganmu terluka." Andreas jelas berusaha mencegah Misha pergi dari sana.Misha melihat luka memanjang yang tidak besar di punggung tangan kirinya."Yang benar saja! Aku tidak akan mati karena luka sekecil ini," gumam Misha.Sebuah tangan kekar menyentuh pinggiran luka di tangannya."Sebesar apapun lukamu, kau akan tetap kesakitan," ucap pria itu dengan lembut.Misha mendongak dan berhadapan dengan sepasang mata indah yang memandangnya penuh kekhawatiran.Sebuah getaran kecil terasa di lubuk hatinya."Sudahlah, aku harus bekerja lagi." ujar Misha dan bergegas pergi dari sana.Andreas menatap punggung gadis cantik itu dengan tajam."Dia cantik," sinis Andreas."Apapun niatmu, semoga tidak kau lakukan, Andre," desis Alan dengan cemas.Andreas menatap sepupunya tanpa bicara."Dia sedikit menjaga jarak sepertinya," gumam Andre pelan."Maxwell! Hentikan! Apapun yang akan kau lakukan, aku tidak akan pernah menyetujuinya!" ujar Alan dengan tegas.Andreas tersenyum lebar ke arah saudaranya."Kau berlebihan. Aku suka wanita cantik, Alan," jawab Andreas.Alan mendengkus pelan. Dia kenal sepupunya yang selalu bertindak penuh perencanaan.***Andreas tersenyum ramah pada sekumpulan wartawan yang berbaris di depan kediaman pribadinya.Berita insiden penusukan yang menimpa pria itu sudah didengar media dan cukup menimbulkan kehebohan.Selain sebagai pengusaha, Andreas Maxwell yang juga berprofesi sebagai pembawa berita dan serial dokumenter populer itu cukup dicintai banyak orang."Aku baik-baik saja. Terima kasih atas kepedulian kalian," ucapnya dengan senyum tulus."Apa pelakunya sudah tertangkap, Mr. Maxwell?" Salah satu wartawan perempuan berambut pirang mengajukan pertanyaan.Andreas mengernyit sekilas."Kami sedang berusaha," jawab pria itu serius."Apakah itu karena dendam pribadi?" tanya seseorang lagi.Andreas mengernyit."Kita cari tahu nanti. Karena pasti cukup banyak yang membenciku, bukan?" gurau pria itu.Suara tawa pelan berderai dari beberapa wartawan yang mengelilinginya."Apakah anda akan kembali ke dunia penyiaran setelah menjabat sebagai direksi Tv NewsOn?" tanya seorang wartawan lagi.Andreas tersenyum misterius."Entahlah, mungkin saja aku akan beristirahat sebentar. Aku ingin mengejar resolusi tahun baruku," cetus pria tampan itu secara mengejutkan.Alan yang berdiri dan menjaga saudaranya dengan waspada, mengangkat alis dengan penasaran dan penuh antisipasi."Wah, apa resolusi tahun baru anda, Tuan Maxwell?" tanya wartawan lagi.Andreas tampak tersenyum malu ke arah para wartawan yang datang mewawancarainya secara mendadak itu."Aku berfikir untuk menikah akhir-akhir ini," ujar pria itu dengan tawa renyah yang terlihat memikat.Sorakan serta dukungan terdengar riuh dari para jurnalis yang menyukai Andreas sebagai publik figur yang ramah dan menyenangkan."Hei... Kalian harus mendukungku," gurau Andreas dengan tawa salah tingkah.Andreas tertawa ramah melihat ramainya dukungan pada keputusan besarnya."Kau selalu memberi kami kejutan, Maxwell," Seorang wartawan senior yang dikenal baik oleh Andreas bergurau kearahnya.Andreas tergelak pelan mendengarnya."Aku juga terkejut, Mike. Tapi sepertinya aku memang menginginkannya," ucap Andreas Maxwell dengan mantap.Alan memicing tajan ke arah saudaranya tanpa berkomentar.Tapi sorot di mata gelap pria separuh latin itu tampak waspada sekaligus curiga."Siapa perempuan spesial itu, Tuan Maxwell?" tanya salah seorang wartawan perempuan yang disusul persetujuan dari yang lainnnya.Andreas tertawa dengan ekspresi yang tak bisa ditebak."Berhentilah penasaran. Kalian bisa membuatku takut sebelum mulai berjuang," canda Andreas dengan tawa ramah."Kau bisa memberi kami sedikit bocoran," pinta beberapa wartawan.Andreas menunduk salah tingkah."Baiklah, beberapa hari fokusku teralih oleh seorang bidadari berambut merah," jawab pria itu yang langsung disambut tawa dan sorakan dari para wartawan.Di sebelahnya, Alan menegang kaget dan menatap saudaranya dengan penuh kemarahan."Apa yang kau rencanakan?" desis Alan.Andreas mencondongkan badan ke arah staf pribadinya itu dengan ekspresi yang tak bisa ditebak."Menurutmu apa yang akan kulakukan....?" bisik Andreas dengan senyum tipis yang tampak menakutkan.***Beberapa jam kemudian Misha menatap potongan wawancara Andreas dengan ekspresi kesal dan ketakutan."Tidak, tidak. Pasti bukan aku yang dia maksud, kan?" gumam gadis itu dengan gusar.Ting tong!Bunyi bel pintu kamar apartemennya membuat Misha yang sedang melamun terperanjat kaget.Gadis itu menghela nafas panjang berusaha menenangkan diri sebelum bergegas berjalan ke arah pintu.Misha membuka pintu kamarnya, lalu tertegun dengan wajah memucat."Hai Misha! Apa kau mau makan malam denganku?""Pantas tubuhmu berisi," Sebuah komentar bernada geli membuat Misha berhenti mengunyah.Mata biru gadis itu menyorot tajam penuh kemarahan."Kau menghinaku lagi," desis gadis itu kesal.Andreas tergelak pelan."Kau seksi dan terlihat lezat. Aku suka melihatmu, dan itu bukan hinaan," ucap pria itu pelan."Berhentilah menghina fisikku!" ujar Misha dengan marah.Andreas tertawa renyah. Tawa pria itu tampak ringan lepas.Misha membuang nafas kasar antara terpukau dan kesal.Dia sudah mendapat kejutan luar biasa saat membuka pintu dan menemukan seorang Andreas berdiri memasang senyum ramah dengan sebuah jaket hoodie berwarna navy."Bagaimana kau bisa masuk? Apartemenku harus punya kunci lift sendiri untuk naik ke lantai atas," desak Misha dengan pandangan menyelidik.Andreas meneguk segelas soda dingin dengan senyum tipis yang membuat Misha makin kesal."Aku memang tak punya kunci lift, tapi aku punya uang," jawab pria itu dengan senyum penuh arti."Tentu saja," gumam Misha agak sinis."A
"Ya Tuhan, Mish. Sayang, kau baik-baik saja?"Misha mundur dengan jijik dan marah dari pria yang menghambur seolah ingin memeluknya.Harry. Entah bagaimana laki-laki brengsek itu ada di kota ini."Apa yang kau lakukan di sini?" desis Misha dengan tegang.Harry memamerkan senyum memuakkan dengan ekspresi seolah tak berdosa."Aku selesai menemui klien penting di sini. Dan sebuah kejutan yang luar biasa saat aku melihatmu dari taksi menuju hotel," jawab Harry dengan senyum sekilas tampak mengejek.Misha menatap mantan tunangannya itu dengan tegang dan sorot panik."Siapa kau?" tiba-tiba suara bariton bernada dingin menyentak Misha dan Harry sekaligus.Andreas menatap mantan tunangan Misha itu dengan ekspresi dingin yang membuat Misha meremang gelisah.Harry yang tadinya kesal, tampak melotot saat akhirnya menyadari siapa pria dibalik hoodie yang berdiri bersama Misha."Oh, Hai! Kau Andreas Maxwell, kan? Aku Harry Barton, tunangan Misha." ucap laki-laki itu dengan senyum antusias tanpa r
KISAH CINTA TERLARANG ANDREAS MAXWELL DAN TUNANGAN ORANG.Misha menarik nafasnya yang gemetar karena rasa takut.Dengan tangan gemetar Misha bergegas menutup gorden kamarnya, padahal waktu masih tengah hari.Dia tidak harus menebak siapa pelaku penyebaran berita buruk itu ke media."Harry sudah keterlaluan," gumamnya dengan suara bergetar karena marah.Kehidupan baru yang baru saja dimulai sepertinya tidak akan semudah yang dia bayangkan.Misha mengusap wajahnya dengan frustasi.Drrrrt... Drrrt...Suara getar ponsel di atas meja makan membuat Misha tersentak kaget. Gadis itu mengernyit bingung melihat nomor tak dikenal di layar ponselnya."Hallo!" "Misha?" Suara bariton yang terdengar familiar berbicara dengan nada cemas.Misha menegang kaku mendengarnya."Darimana kau tahu nomorku?" tanya gadis itu panik."Kau bekerja di perusahaan milik Ibu Tiriku, Misha." Jawab lawan bicaranya diikuti kekehan pelan bernada geli.Misha memejam frustasi. Dia bahkan baru tahu jika perusahaan tempatn
"Hai!" Sore hari Misha dibuka dengan sapaan sopan bernada kaku dari seorang pria tampan.Misha mengangguk sopan saat membuka pintu apartemennya dan menemukan Alan berdiri memasang senyum canggung ke arahnya.Dia sudah menghubungi keamanan gedung sebelum pria itu tiba agar memberi izin kepada tamu yang ingin menemuinya, hingga Alan bisa masuk dan naik ke lantai tiga tempat tinggal Misha."Kau mau masuk dulu?" tanya gadis itu berbasa-basi.Alan menggeleng cepat dan tampak tak nyaman."Kita pergi saja. Andreas bisa sangat menyebalkan jika harus menunggu lama." Ujar pria itu dengan senyum tipisnya.Misha mendengkus pelan."Seingatku dia memang orang yang menyebalkan," ucap Misha.Alan tertawa kecil, lalu mengangguk setuju."Baiklah, ayo!" Alan berjalan cepat mendahului Misha yang masih berkutat dengan kunci apartemennya yang baru."Alan, bisakah aku kembali kemari sebelum jam 8 malam?" tanya Misha tiba-tiba.Alan menoleh dan mengeryitkan keningnya dengan kesal."Kau bahkan belum pergi, d
"Misha, kita harus berbicara tentang berita hari ini." Andreas mencegahnya saat baru saja membuka pintu depan rumah mewah itu, dan ekspresi serius di wajah pria itulah yang membuat langkah Misha terhenti.Gadis itu menelan ludahnya gelisah. Rasa khawatir pada gosip yang bisa mengusik hidup barunya kembali menyeruak."Aku tahu, tapi aku ada janji penting hari ini," jawabnya tak sabar.Andreas menggengam lengan Misha dengan senyum menenangkan."Kita lakukan keduanya. Kita akan berbicara, dan kau akan tetap datang menepati janjimu," ujar pria itu dengan yakin.Misha menatap Andreas dengan bimbang, lalu akhirnya mengangguk setuju."Baiklah." jawab Misha dengan senyum lemah.Andreas tersenyum lega, lalu merogoh ponselnya dan menempelkannya ke telinga."Alan, aku membutuhkanmu." Ujar pria itu tanpa melepas tatapannya dari Misha.Tak lama, Alan menyusul mereka ke teras luas rumah megah itu dengan raut penasaran."Ada apa?" tanya pria itu tanpa basa-basi. "Bantu aku mencari kado ulang tahun
Misha menahan senyum melihat interaksi antara Andreas dan Barry yang terlihat dekat dan tak berjarak.Laki-laki yang punya segalanya dan cukup diagungkan banyak orang itu memperlihatkan kebaikan hatinya dengan membaur bersama para tamu di pesta kecil Lizzie tanpa ingin diistimewakan oleh siapapun."Dia bisa baik juga," gumam Misha tanpa sadar.Alan yang duduk di kursi tepat di sebelah Misha meliriknya dengan sorot cemas dan muram."Andreas memang orang baik," jawab Alan dengan tatapan melamun.Misha menoleh dan tersenyum canggung ke arah laki-laki itu. Dia lupa jika sejak tadi Alan seolah mengekorinya kemana-mana."Aku merasa kau selalu mengikutiku." Protes Misha meski dengan cara sopan.Alan melirik sekilas, lalu mengangguk."Ya, Andreas memintaku menjagamu saat dia bermain dengan anak itu," jawab Alan terus terang.Misha mendengkuskan tawa singkat."Dia memang aneh," gumam gadis itu. Misha tanpa sadar terus menatap Andreas yang kini tengah tertawa terbahak-bahak dengan Barry dan se
Sebuah pelukan mengetat di sekeliling tubuhnya saat akhirnya mereka berhasil menerobos kerumunan pers dan masuk ke flat kecil Misha. Sepertinya Misha tidak akan bisa tidur malam ini."Aku akan menjagamu tetap aman," bisikan lembut mengendurkan ketegangan Misha."Aku takut," bisik gadis itu.Andreas tersenyum lembut ke arahnya tanpa melepas pelukannya yang hanya dibiarkan melonggar saja."Kau sudah tidak aman di tempat ini. Aku ingin kau berada di tempat yang aman bersamaku." Mata biru Andreas menatap dengan intens ke arah Misha yang terlihat gelisah. "Tidak, aku tidak mau hidupku terlalu dekat denganmu," jawab Misha agak ketus.Andreas tersenyun tipis. Perlahan dia mendekatkan wajahnya ke samping Misha. Hembusan napas beraroma mint samar membuat Misha nyaris menoleh."Terlambat. Hidupmu sudah terikat denganku." Andreas mendekap tubuh Misha dan memeluknya erat sekali lagi."Jangan terlalu yakin, karena aku tak ingin terikat dengan siapapun." Ujar Misha, lalu melepas pelukan pria itu b
"Ya Tuhan, Howard!" Misha melompat seketika ke pelukan seorang pria tinggi berambut pirang gelap yang muncul pagi-pagi di depan pintunya.Senyum miring khas sahabatnya sejak kecil itu membuat Misha berkaca-kaca karena terlalu bahagia."Kau pulang, dan tidak memberitahuku sama sekali," Misha mendelik kesal ke arah teman terbaiknya itu."Kau lebih cantik di foto, Mish." Seulas senyum tipis aneh dari Howard membuat Misha tertegun."Apa maksudmu?" tanya gadis itu kebingungan.Howard mengembuskan napas panjang, lalu masuk tanpa permisi ke apartemen Misha yang terbuka."Kau memaksaku untuk pergi dari Harry dan sekarang berpindah ke selebritis kaya? Kau memang bukan main." ucap Howard dengan kernyitan tak suka.Misha terhenyak mundur dan menatap sahabatnya dengan wajah pucat. "Kenapa kau bicara begitu, Howard? Aku tidak melakukan apapun!" desis Misha tak terima.Dia sangat bahagia karena kepulangan temannya itu, tapi tiba-tiba Howard berkata tidak masuk akal. Misha mengerutkan keningnya me