"Ayo, bangunlah!" Roxy meraih tangan Lastri membantunya berdiri.Lastri terdiam, bingung dengan sikap lembut pimpinan topeng perak tersebut. "Duduklah." Roxy mengambil kursi tua yang ada di sudut ruangan . "Jangan takut, aku tidak pernah berbuat kasar pada wanita. Apalagi pada wanita cantik sepertimu."Dalam kebingungan Lastri mengikuti saja kemauan Roxy sampai perasaan takut yang melingkupi hatinya perlahan mulai memudar."Kamu mau ini?!" Roxy menawarkan buah apel yang ada di atas meja. Lastri menggeleng lemah. "Siapa namamu?!" tanya Roxy."La-lastri.""Nama yang bagus. Apa benar kamu dari Desa Oryza?!" tanya Roxy.Lastri mengangguk. Roxy sengaja mengajak Lastri bicara agar tidak tegang. Melihat pimpinan topeng perak terlihat tenang, Lastri memberanikan diri bicara. "Tu-tuan, a-a-aku ingin pu-pulang."Roxy tersenyum. "Pulang?!"Lastri mengangguk beberapa kali. "I-iya."Roxy datang mendekat. "Kenapa ingin pulang?!"Lastri menelan saliva sebelum bicara. "Ibu, kasihan ibu.""Kau ti
Sepi dan hening, Axel menajamkan penglihatan dan pendengaran melihat sekelilingnya yang gelap. Sreek!Axel erat memegang pedang. Memasang kewaspadaan penuh melihat ke arah sumber suara berasal. Seekor tupai kecil ke luar dari semak-semak. Sejenak melihat Axel kemudian lari ke atas pohon. Pandangan Axel jatuh pada tanah di bawah kaki. "Darah," gumamnya.Tetes demi tetes darah menjadi petunjuk bagi Axel dalam mencari keberadaan pemimpin topeng perak. Sementara itu, Roxy yang dicari Axel sedang berusaha berlari sekuat tenaga di setiap sisa tenaganya. Darah segar yang ke luar dari luka di pergelangan tangannya bagai tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi.Roxy berhenti sejenak, melihat tangannya yang telah berlumur darah. "Sialan!" umpatnya di antara ringisan sakit dan geram kesal. "Akan ku balas kau jenderal sialan."Berhenti sejenak, Roxy kembali melanjutkan pelariannya tanpa menyadari setiap tetes darah yang ke luar dari tangannya memberi petunjuk bagi Axel yang sekarang tak j
"Ini ,,, anu," jawab Rose kaget bercampur gugup. Dua prajurit sedang berpatroli menatap tajam pada Rose dan Emi penuh kecurigaan.Rose menyenggol lengan Emi agar bicara."Aku dan Rose hanya sedang melihat bunga-bunga di sini," jawab Emi. "Bunga di sini terlihat begitu cantik.""Pergi kalian dari sini!" seru salah satu prajurit. "Jangan berkeliaran di tempat yang tidak boleh kalian injak!"Tanpa banyak bicara, Rose dan Emi langsung pergi."Ada apa di sana?!" tanya Virgolin melihat dari kejauhan dengan apa yang terjadi pada Rose dan Emi bersama dua prajurit berpatroli.Pisceso melihat punggung Emi dan Rose yang semakin menjauh. "Entahlah.""Sepertinya aku sering melihat wanita itu," ucap Virgolin. "Apa mereka berdua juga dayang istana?!""Mereka punya tugas dibagian belakang istana," jawab Pisceso."Oh. Ada berapa orang yang bekerja di istana mu?!" tanya Virgolin. "Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya.""Pasti sangat banyak. Istana mu ini besar dan sangat luas. Perlu ratusan orang
Pertanyaan Tabib Virgolin membuat semua orang bungkam. "Pisceso. Jangan pergi," pinta Virgolin penuh pengharapan. "Tapi ,,,,""Aku ingin pulang ke duniaku," sambung Virgolin. Berjuta kebingungan bergelayut dalam benak Pangeran Pisceso. Bagaimana mungkin dirinya tidak pergi untuk melindungi rakyatnya yang sedang resah, tapi kalau dirinya pergi lalu bagaimana dengan Tabib Virgolin yang juga menjadi tanggung jawabnya?Dalam kebingungannya, datang dua prajurit berpakaian lengkap melapor pada Jidan kalau semuanya prajurit sudah siap untuk berangkat. "Pangeran ,,,," ucap Jidan.Pisceso langsung memotong kalimat. "Pergilah, nanti aku akan menyusul!"Semua orang pergi meninggalkan Pisceso dan Virgolin. "Aku tidak ingin kamu pergi," pinta Virgolin mengawali pembicaraan. "Banyak prajurit yang ke sana, kenapa kamu harus pergi ke sana juga?!""Ini tidak semudah yang kamu bayangkan," ucap Pisceso. "Di sana ,,,,""Aku mengerti!" potong Virgolin dengan cepat. "Tapi tolong coba tempatkan dirimu
"Lebih baik kamu tidak tahu!" hardik Emi menarik tangan Rose agar tidak menghalangi pintu. "Kamu jangan berbuat aneh-aneh!" Rose memperingatkan Emi.Sambil membuka pintu Emi berkata, "tidak ada yang berbuat aneh-aneh! Aku hanya ingin menolong seseorang ke luar dari masalahnya."Setelah itu, Emi pergi tergesa-gesa dengan tangan menyembunyikan pakaian dayang miliknya."Emi!" panggil Rose berharap temannya itu tidak pergi, tapi panggilannya hanya dianggap angin lalu. Pintu pondok herbal segera dibuka Virgolin begitu mendengar ketukan di pintu. "Hamba sudah mendapatkan pakaian dayang!" Emi memberikan pakaian dayang miliknya pada Virgolin."Good job!" Mata Virgolin berbinar melihat pakaian dayang yang ada di tangannya."Kapan tabib akan pergi dari sini?!" tanya Emi. "Lebih cepat, lebih baik. Aku tidak mau berlama-lama tinggal di istana ini.""Di luar banyak prajurit yang berjaga. Tabib harus hati-hati," Emi memperingatkan. Sejenak Virgolin diam menatap dalam wajah Emi, kemudian berser
Seutas senyum samar terukir di bibir Virgolin. Dirinya telah memantapkan hati untuk segera pergi dari istana Voresham. Langkah kaki kecilnya menyusuri jalan setapak yang berbatu, menginjak ilalang kecil sampai hilang dari pandangan Emi."Akhirnya wanita itu pergi juga," gumam Emi tersenyum puas. "Aku tidak perlu repot-repot mengotori tanganku untuk menghilangkannya dari pandangan Putra Mahkota Pangeran Pisceso karena wanita doakan itu telah pergi sendiri."Emi segera masuk kembali ke dalam istana setelah memastikan Virgolin telah hilang dari pandangannya. Hatinya puas, sangat puas. "Emi!" Rose memanggil.Emi menghela napas, "dia lagi, dia lagi!" gumamnya berhenti dari langkah, menoleh melihat pada Rose kesal."Aku mencarimu kemana-mana!" semprot Rose terlihat marah. "Banyak pekerjaan di dapur. Kau malah keluyuran entah ke mana!"Emi memutar bola mata dengan bibir komat kamit menirukan Rose.Rose hendak bicara lagi, tapi dua orang penjaga bertubuh tinggi besar datang ke arah mereka be
Virgolin menarik syal yang menutupi kepalanya semakin ke depan agar wajahnya tidak terlihat dengan jelas."Aku bicara denganmu. Kenapa tidak menjawab?!" tanya wanita tersebut."A-aku seorang pengembara," kalimat yang meluncur begitu saja ke luar dari bibir Virgolin tanpa berpikir panjang."Pengembara?!" tanya wanita tersebut tak percaya. "Dari pakaian yang kamu kenakan, sepertinya kamu seorang dayang istana.""Astaga gue lupa!" Virgolin melihat bajunya sendiri. "Bodoh! Kenapa gue tidak kepikiran dayang istana," hatinya bicara sendiri merutuki kebodohannya. Wanita tersebut tetap berdiri di depan Virgolin bahkan lebih intens melihat ke arah wajah Virgolin yang berusaha menghindar.Virgolin tersenyum samar. "Aku harus pergi."Kriuuk!Kriuuuk!Terdengar naga-naga kecil dalam perut Virgolin bernyanyi."Kau lapar?!" tanya wanita tersebut tersenyum mendengar suara dari perut Virgolin."Sialan banget nih cacing, pake acara bunyi segala. Tidak tahu tempat dan situasi," gerutu Virgolin kesal d
Waktu terus berlalu, tapi hujan tak kunjung reda bahkan terlihat semakin deras. "Kapan hujan ini akan reda? Kalau begini terus menerus, aku tidak bisa pergi," gumam Virgolin."Jika kamu mau, kamu boleh tidur di rumahku ini," Airin seakan tahu kegundahan yang dirasakan Virgolin. "Sebentar lagi, hari akan berganti malam. Akan sangat berbahaya untukmu berjalan di malam hari.""Aku harus segera sampai ke tempat tujuanku. Lebih cepat, lebih baik.""Terserah kamu saja, tapi saranku lebih baik kamu melanjutkan perjalanan besok pagi saja. Melanjutkan perjalanan di malam hari tentunya akan banyak mengundang resiko, apalagi kamu seorang wanita. Bagaimana kalau tiba-tiba kamu bertemu orang jahat? Tentunya itu akan sangat berbahaya."Seketika bulu kuduk Virgolin meremang. Apa yang dikatakan Airin benar-benar sangat mengerikan. Jika itu terjadi, sudah tentu dirinya tidak bisa pulang lagi ke dunianya dan mati ditempat yang begitu asing tanpa diketahui oleh orangtua dan sanak saudaranya. "Tempat t