Dirga dan Andien memisahkan diri, duduk di tepi kolam renang, usai ketiga sahabat itu adu tanding kepiawaian karate dengan Irgi. Ian dan Borne yang kelelahan, terlentang tak tentu arah di ruang keluarga. Sementara Debby dan Meta asik menonton drama korea kesayangan mereka di Netflix.
"Sayang, nanti diantar Borne dan Debby ya... Aku mau balik lagi ke rumah sakit. Ga tega ninggal Papa."
"Iya ga apa-apa." Andien menautkan jemari mereka berdua. "Yang penting sekarang Papa, beliau biar sehat dulu."
"Saat itu, Abah dan Ummah mendidik aku dengan keras. Mungkin karena merekapun dulu dididik seperti itu. Tapi, aku ga kuat dengan cara Abah dan Ummah. Akibat awalnya, aku jadi ga fokus belajar. Nilai-nilaiku hampir selalu di bawah rata-rata. Dulu kan ga seperti sekarang ya Kak, banyak psikolog anak yang bisa di ajak konsultasi. Ilmu-ilmu parenting juga sekarang mudah didapat. Jadi, merosotnya nilai-nilaiku justru membuat Ummah dan Abah berang. Itu salah satu penyebab yang bikin kamu jarang lihat aku keluar rumah."Andien memberi jeda. Dirga masih menyimak dengan seksama.
Andien menumpang Borne dan Debby dalam perjalanan pulang dari Bandung. Dirga yang belum bisa meninggalkan Papanya, meminta tolong pada Borne agar mengantar Andien sampai ke kediamannya di Bogor. "Kedai buka non?" tanya Borne pada Andien. "Buka. Mau mampir makan dulu?" "Iye. Laper gue abis dihajar Bang Irgi."
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi netranya belum juga terpejam. 'ting!' Bunyi notifikasi ponsel membuatnya terbangun untuk meraih benda pipih itu di atas nakas. [Ace]Baru banget sampe dari RS. Already miss you. Sleep tight baby.
Beberapa hari kemudian. "Halo sayang..." Sapa Andien hangat kala mengangkat panggilan telpon dari Dirga malam itu. "Hey baby... Aku lagi di jalan. Baru keluar dari unit. Mau ke rumah sakit, nemenin Ian. Meta mau lahiran." "Oh, aku besok inshaaAllah ke sana ya sayang. Ga mungkin aku malam-malam begini pergi."
"Dilarang ngomongin orang yang lagi tidur!" Ian bergumam dengan mata yang masih terpejam. "Bangun juga lo." "Bangunlah, kalian ngegibah di samping kuping gue!" Andien dan Meta terkekeh bersamaan.
"Ditya? Ditya kan? Raditya Baskara?" sapa Andien. Ditya tertegun menatap Andien. Tak pernah disangkanya, perempuan yang menjadi rival Viona kini ada di hadapannya. Dan wanita ini mengenalnya? "Iya. Maaf siapa ya?" "Gue Keinara. Kita pernah satu fakultas waktu kuliah dulu. 'lo jangan pingsan dulu', lo inget?"
“Dan kalau Dirga tau, menurut lo apa yang akan Dirga lakukan? Apa dia masih mau kembali pada Vio sementara sudah sebegitu sakitnya Vio memperlakukan dia?” Jeda, Andien menarik napasnya panjang sebelum menuntaskan kalimatnya. "Vio yang mengkhianati Dirga! Lo tau sakitnya orang yang dikhianati Dit?" "Vio berkali-kali mengkhianati gue." Lagi, Andi
Dirga masih diam. Andien meremas-remas jemarinya. Mulai gelisah karena dinginnya sikap Dirga. Ia tau, Dirga pasti menyembunyikan sesuatu tentang Ditya. Di saat yang bersamaan, Andien ragu apakah harus memberi tahu Dirga tentang kondisi kesehatan Viona. Viona memang bersikap keterlaluan pada mereka, tetapi Andien juga tak mampu menepis rasa empatinya saat mengetahui rivalnya itu menderita salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh kaum hawa. Lampu merah di hadapan mereka menyala. Para seniman jalanan mulai menunjukkan warna suaranya. Andien tak tahan, ia memutuskan untuk b