“Nona Kanisa mengalami trauma yang cukup dalam, maka dari itu perlu dilakukan perawatan khusus untuk nona Kanisa dan terus perhatikan apa pun kebutuhannya.”
“Selain mengalami trauma mendalam nona Kanisa juga mengalami stres berat. Karena itu, besar kemungkinan nona Kanisa bisa melakukan percobaan bunuh diri, makanya saya sarankan untuk jauhkan benda-benda tajam dari dekat nona Kanisa dan selalu memperhatikannya selama dua puluh empat jam penuh.”
Tendero mengusap kasar wajahnya. Kata demi kata yang dibeberkan dokter khusus yang dia sewa untuk merawat Kanisa tadi kembali bermunculan di kepalanya membuat Tendero merasa begitu prustasi dan merasa bersalah. Karena dirinya Kanisa harus mengalami semua itu, melewati penderitaanya seorang diri.
Tendero menyenderkan kepalanya ke kursi, dia mendongakan wajahnya menatap kosong langi-langit ruang kerjanya yang menyatu dengan kamar
Prank!Suara pecahan terdengar nyaring begitu Tendero masuk ke dalam kamar Kanisa. Pecahan piring pun terlihat berserakan di lantai.“Aku tidak mau makan apa pun! Apa kalian tidak mengerti hah! Pergi dari sini!” teriak Kanisa nyaring. Wanita itu menatap tajam para pelayan yang berdiri menunduk beberapa langkah dihadapannya.Tendero menatap nanar keadaan di sekelilingnya. Lalu tatapannya berhenti pada Kanisa.“Maaf tuan, nona Kanisa tidak ingin makan. Saya sudah berusaha keras membujuknya,” ujar Netra dengan kepala menunduk.Tendero menghela nafas, “Kanisa,” panggil Tendero dengan lembut. Hati-hati dia pun melangkah melewati pecahan kaca yang berserakan di lantai untuk mendekati Kanisa.Kanisa meringsek menjauh dari sosok Tender
Dengan hati-hati Tendero menidurkan kepala Kanisa ke atas bantal, dia juga menarik selimut untuk menyelimuti tubuh mungil wanita itu. Setelahnya Tendero terdiam, duduk di sebelah Kanisa. Memandangi wajah damai Kanisa dan juga kedua mata wanita itu yang tampak terpejam rapat dengan sorot sendunya.Tangan Tendero terulur mengelus rambut Kanisa dengan lembut, turun ke pipi dan berakhir dengan menggengam tangan dingin Kanisa. Helaan nafas pendek keluar dari hidung mancung pria itu.“Mau sampai kapan kamu seperti ini Kanisa,” batin Tendero, ibu jarinya mengelus-ngelus punggung tangan Kanisa, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Kanisa barang sedikit pun.Suasana di dalam kamar tersebut terasa begitu hening, namun Tendero tampaknya tidak keberatan sama sekali dengan suasana hening itu mengingat pria itu memang sudah terbiasa dalam keadaan tersebut.Selama hampir semalaman penuh itu Tendero
Kanisa menunduk, meremas jari-jari tangannya yang terasa dingin. Suara ketukan pada pintu membuat Kanisa mengangkat kepalanya dan menoleh, nyonya Elsa terlihat berdiri di luar pintu.“Nona memanggil saya?” tanya nyonya Elsa. Kanisa pun menganggukan kepalanya dan menyuruh nyonya Elsa untuk masuk.Dengan agak canggung nyonya Elsa berjalan masuk ke dalam kamar, dia pun berdiri di sebelah Kanisa tanpa melepaskan tatapannta dari wanita itu.“Bibi pasti sudah tahu kenapa aku memanggil bibi ke sini,” ucap Kanisa sembaring mengalihkan pandangannya jadi menatap lurus ke arah jendela yang berada tepat dihadapannya.Nyonya Elsa menganggukan kepalanya, “Iya, Netra sudah memberitahu bibi kenapa nona memanggil bibi ke sini,” jawabnya.Kanisa mendongak, menatap nyonya Elsa dengan raut wajah datarnya.Nyonya Elsa terdiam, tidak langsung me
Johseon memberhentikan mobilnya begitu dia tiba di depan mansion Tendero, dengan pakaian rapih Johseon pun turun dari dalam mobilnya. Saat dia berjalan menuju pintu dua penjaga tampak menghalangi jalannya, melarang Johseon untuk masuk ke dalam mansion secara terang-terangan. Johseon mendengus, menatap tidak suka kepada dua penjaga yang diperintahkan oleh Tendero untuk menghalanginya itu.“Maaf tuan, tuan Tendero memerintahkan kami untuk tidak mengijinkan tuan masuk ke dalam mansion,” ucap salah satu penjaga itu.“Aku hanya ingin berkunjung, menemui Kanisa bukan untuk melakukan kejahatan,” balas Johseon dengan kesal.“Maaf, tuan tidak mengijinkan jadi sebaiknya tuan Johseon segera pergi dari sini sebelum tuan Tendero mengetahui kedatangan tuan Johseon.”Johseon diam, tidak bergeming sama sekali. Ini sudah kunjungan yang keempat kalinya Johseon tapi Tendero masih jug
Secara bersamaan Tendero dan juga Johseon tiba di lokasi gudang persenjataan milik Tendero. Kedua pria itu terlihat keluar dari dalam mobil, mereka saling melempar tatapan satu sama lain, Adrew pun datang menghampiri kedua pria itu menghentikan aksi saling menatap mereka.Tendero dan juga Johseon sama-sama terdiam saat melihat gudang yang dijadikan tempat penyimpanan senjata yang baru saja mereka produksi terbakar hingga tidak tersisa. Beberapa anak buah Tendero terlihat saling bekerja sama, berusaha memadamkan api yang membakar gudang tempat senjata itu.“Tuan, semuanya tidak ada yang tersisa...”Belum selesai Andrew menyelesaikan perkataanya Tendero sudah lebih dulu memukul pria itu hingga Andrew tersungkur, seketika Andrew pun bungkam, memegangi pipinya yang berkedut nyeri karena Tendero baru saja memukulnya.“Bodoh! Bukankah aku sudah bilang kepadamu. Perketat keamanan di sini,
Di ruang kerjanya. Tendero terlihat sibuk dibalik komputernya, jari-jari tangannya terlihat sibuk berselancar mengutak-atik keyboard komputernya. Matanya terfokus menatap layar komputer dihadapannya dengan sorot tajam serta ekspresi wajah yang tampak serius dan dingin.Kaca mata bening tampak membingkai kedua matanya ditambah lagi dengan kedua baju tangan panjangnya yang terlihat digulung sampai ke sikut, mempertontonkan tangannya yang terlihat kekar dengan urat-urat di kedua tangannya yang terlihat menonjol membuat sosok pria itu terlihat jauh lebih maskulin dan sexy.Sudah dua hari ini Tendero disibukan dengan pekerjaan tambahannya yang sangat amat menjengkelkan baginya yaitu mencari identitas orang yang sudah mencuri senjata-senjata terobosan terbarunya yang selesai dibuat olehnya bersama dengan Johseon.Karena pekerjaanya saat ini Tendero terpaksa dan dengan berat hati harus mengabaikan Kanisa karena Tend
Kanisa terlihat keluar dari dalam kamar mandi saat nyonya Elsa masuk ke dalam kamarnya dengan membawa bunga warna-warni yang terlihat begitu indah. Semerbak harum aroma dari bunga-bunga itu pun langsung bertebaran di dalam kamar membuat Kanisa tersenyum kecil tampak menyukai aroma bunga-bunga itu.Sambil mengeringkan rambutnya yang setengah basa dengan handuk kecil di tangannya Kanisa pun berjalan menghampiri nyonya Elsa yang mulai membagi bunga-bunga itu dan menatanya di dalam vas bunga berukuran sedang dan kecil yang kemudian wanita itu taruh dibeberapa sudut kamar Kanisa sebagai hiasan sekaligus pengharum ruangan.“Itu untukku?” tanya Kanisa begitu dia sudah berada di samping nyonya Elsa.Nyonya Elsa menganggukan kepalanya, “Iya.”“Kapan bibi membeli bunga-bunga itu?”Nyonya Elsa diam sejenak terlihat berpikir lantas wanita tua itu pun menge
“Nona.”Kanisa tersentak, kaget dan menatap nyonya Elsa yang entah sejak kapan sudah berada dihadapannya. Kanisa pun langsung menoleh ke arah Tendero yang rupanya masih tertidur dan Kanisa masih berada di tempatnya berdiri dari terakhir kali menaruh nampan berisikan makanan untuk Tendero di atas meja. Sejurus kemudian Kanisa langsung menghela nafas lega karena apa yang baru saja terjadi kepadanya itu hanya sekedar bayangan di dalam pikirannya saja dan tidak benar-benar terjadi kepadanya. Buktinya dia masih berdiri di tempatnya dan pria itu, Tendero masih tidur dengan posisi sama tanpa merasa terusik sama sekali, buktinya dia tidak bergerak sedikit pun.“Nona baik-baik saja?” tanya nyonya Elsa dengan suara rendahnya karena tidak ingin membangunkan Tendero yang tampak pulas tertidur. Wanita tua itu menatap Kanisa dengan ekspresi cemasnya.“Kenapa bibi ada di sini?” tanya Ka