Tak ada yang janggal dengan resepsi pernikahan Raga dan Gianna, keduanya terlihat seperti pasangan normal lainnya, Sasha berusaha keras untuk terlihat bahagia dan menyembunyikan rapat-rapat rasa resah dihatinya. Gianna tampak anggun dengan gaun pengantin lace curvy yang mencetak jelas tubuhnya yang kurus. Wajahnya terlihat cantik dengan make up bold yang menyembunyikan wajah pucatnya. Gendis berkali-kali menghampiri Sasha dan mengingatkan Sasha untuk tak perlu khawatir berlebihan dengan keputusan yang diambil oleh Raga. "It's so weird seeing Raga dan Gianna together as husband and wife," tukas Daniel saat melihat Raga dan Gianna sedang berfoto berdua. Sasha menyandarkan kepalanya di bahu Daniel, "Yeah it's so weird," sahut Sasha setuju, karena memang semuanya terlalu cepat. Rasanya baru kemarin Sasha dan Daniel memergoki Raga berada di apartemen Gianna dan sekarang tahu-tahu mereka sudah menjadi suami istri. "Babe, they asked you to deliver the speech," tukas Daniel yang mendengar
Lima Bulan Kemudian, Kesibukan Sasha sama seperti sebelumnya, seputar Daniel, LPC, keluarganya, Allysa dan persidangan Olivia Wangsa. Sampai suatu pagi ia merasakan ada yang salah dengan tubuhnya, "Are you okay Babe?" tanya Daniel saat melihat Sasha masih merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang TV. "Gak tau nih, badan aku gak enak banget, lemes," sahut Sasha dengan mata terpejam. Ia meringkuk di sofa sambil memeluk guling kesayangannya. Daniel mendekat, lalu berjongkok di samping Sasha. Ia memeriksa suhu tubuh Sasha, namun tampak normal. "Kamu kecapean mungkin, kamu istirahat aja, gak usah ke kantor dulu," tukas Daniel lalu mengecup pipi Sasha. Sebelum berangkat ke kantor, Daniel menyiapkan sarapan untuk Sasha dan meletakkannya di meja ruang TV. Lalu ia menyelimuti Sasha yang tertidur dan segera berlalu menuju kantor LPC. Satu jam kemudian Sasha terbangun dan mengernyit saat mencium aroma nasi goreng yang disiapkan oleh Daniel. Entah mengapa ia merasa mual dengan aroma garlic ya
Fase insecure yang terjadi dalam kehamilan pun dimulai. Sasha mulai merasa tidak seksi lagi padahal berat badannya hanya bertambah 4 kg di kehamilannya yang baru menginjak empat bulan. Ia sering uring-uringan jika Daniel dan Karin harus rapat sampai larut malam dan tidak melibatkan Sasha, tentu saja Daniel tak ingin melibatkan Sasha, karena takut akan mengganggu kesehatan janin dalam perut Sasha jika sampai harus bekerja sampai larut malam. Namun demi kenyamanan Sasha, Daniel selalu melibatkan orang lain dalam rapat tersebut dan tidak pernah hanya berduaan saja dengan Karin yang herannya masih saja terus berusaha mengejar perhatian Daniel. Malam ini, saat Sasha sedang berbaring di atas paha Daniel sambil menonton film, ponsel yang pernah diberikan Evan dan sudah lama tak berdering tiba-tiba berdering lagi, membuat Sasha dan Daniel saling tatap. Sebelum Sasha mengangkat Daniel menarik tangan Sasha, "Remember Babe you're pregnant! Don't put your self in danger," tukas Daniel sungguh
"Evan? Kamu udah sadar?" tanya Sasha saat melihat Evan membuka matanya. Ia segera memanggil Daniel dan mengabarkan jika Evan sudah sadar. Saat itu adalah pagi hari, di hari Sabtu. Sasha dan Daniel berdiri di samping tempat tidur, menatap Evan yang masih mengedip-ngedipkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya kamar yang terang. "Ini Van minum dulu," Sasha menyorongkan segelas air lalu membantu Evan duduk, membuat Daniel menatap kurang suka ke arah mereka. Di matanya tetap saja Evan adalah seorang penjahat yang menerima konsekuensi atas apa yang dipilihnya. Sasha tidak perlu merasa berhutang budi pada seseorang yang urung melakukan kejahatan kepadanya karena kepentingan dirinya sendiri. Itu konyol namanya! "Jadi sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Sasha setelah Evan sudah sepenuhnya tersadar. Daniel memasukan kedua tangannya ke saku celana trainingnya, menunggu jawaban Evan. "Gak ada apa-apa, saya dipukulin dan dikeroyok sama entah preman pelabuhan atau orang suruhan Olivia dan ditus
"Baby, are you okay?" tanya Daniel saat melihat Sasha meringis memegang perutnya."Perut aku sakit banget," jawab Sasha, wajahnya tampak pucat.Dengan sigap Daniel berlari menghampiri Sasha, ia baru saja sampai di Penthouse setelah lembur bekerja. "Kita ke dokter aja ya, aku takut ada apa-apa sama kamu dan baby kita," tukas Daniel, wajahnya benar-benar khawatir. Setelah itu Daniel mengeluarkan kursi roda yang memang sudah ia siapkan untuk keadaan darurat, lalu menggendong Sasha ke atas kursi roda dan mendorongnya menuju pintu keluar Penthouse. Di atas kursi roda Sasha memejamkan mata merasakan sakit yang teramat sangat di perutnya. Di mobil Sasha memejamkan mata, berusaha menetralisir rasa sakitnya. Ia mengelus perutnya lembut, mengatakan pada janinnya untuk bertahan karena Mommy dan Daddy sangat menantikan kehadirannya. Namun tiba-tiba ia merasakan aliran hangat di sela pahanya, ia merabanya dan langsung berteriak histeris, membuat Daniel terkejut dan langsung menepi. "What happen
Dua minggu sudah berlalu sejak Sasha kehilangan janinnya di usia kandungannya yang baru menginjak empat bulan. Sasha tak bisa berhenti menyalahkan dirinya atas kehilangan tersebut. Ia mengurung diri di kamar, enggan melakukan apapun. Hanya tidur dan menangis. Daniel dengan sabar menenangkan Sasha dan mengatakan bahwa semua yang terjadi bukan kesalahannya. Namun Sasha tentu saja tak mau mendengar. Ia membenci dirinya sendiri dan merasa tak berharga. Sampai akhirnya Daniel terpaksa menceritakan semuanya pada Raga, karena mungkin Raga bisa membantu Sasha untuk kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Ada rasa cemburu di hati Daniel karena ikatan hati antara Sasha dan Raga terjalin teramat kuat, mengalahkan ikatan antara Sasha dan Daniel, walaupun mereka adalah suami istri yang saling mencintai. Atas usul Gianna, akhirnya Daniel membujuk Sasha untuk berlibur ke Australia agar bisa mengobati rasa kehilangannya. Karena Daniel sudah tahu bahwa Sasha akan menolak ajakannya, maka ia menyiap
"Lo bercanda kan Ga?" tanya Sasha yang masih tak percaya dengan kata-kata Raga. Bagaimana mungkin Raga bisa terus mencintai Sasha setelah apa yang terjadi belakangan. Apalagi Raga secara intens menghabiskan waktu dengan Gianna, Sasha pikir Raga akan jatuh cinta pada Gianna dengan mudahnya, namun ternyata faktanya membuat Sasha hanya terperangah tak percaya. Raga menghela nafas panjang, "Tapi gue udah lebih dewasa kok Sha, gue udah lebih bisa nerima semuanya, please jangan merasa gak nyaman cuma gara-gara gue masih punya rasa yang sama buat lo, karena gue sama sekali gak ada niatan buat ngerusak hubungan kalian, cinta gue ya cuma gue aja yang rasa," ujar Raga seraya menatap lurus ke jalanan yang lengang. Sasha menghela nafas, menggosok wajahnya dengan kedua tangan, masih terkejut. Ia melirik Raga yang terlihat sangat segar dan bugar di luar, namun ternyata rapuh di dalam. "Lo yang paling ber hak atas perasaan lo, gue gak berhak buat nyuruh lo berhenti mencintai gue walaupun gue ngera
Hari itu setelah seharian berjalan-jalan keliling Melbourne, Sasha dan Raga menghabiskan malam dengan menonton film bersama. Mereka duduk di ayunan yang ada di halaman depan, dengan layar dan proyektor yang memutarkan film klasik perancis yang direkomendasikan oleh Raga. Sasha memegang erat mug besar yang berisi cokelat panas sambil matanya fokus menatap ke arah layar. Raga yang sudah menonton film tersebut berkali-kali lebih tertarik menatap wajah Sasha dari pada menatap ke arah layar. Sasha yang sedang serius sama sekali tak menyadari jika Raga sedang menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. "Emangnya ada ya orang kayak gitu di dunia?" tanya Sasha saat melihat si pemeran utama pria yang rela mati demi si wanita. "Ada," jawab Raga datar. Sasha menoleh, matanya bertemu mata Raga yang sejak tadi belum berpaling. "Oh ya, siapa?" tanya Sasha mengerutkan keningnya. "Gue," sahut Raga masih menatap wajah Sasha. Membuat jantung Sasha berdebar. "Gue mau, ngelakuin apapun biar lo tetap hi