Sampai Kak Sananta pulang malam harinya, hatiku tak kunjung membaik. Aku merasa sangat malu, merasa bodoh, dan sederet perasaan negatif lain hingga sepanjang hari rasanya ingin menangis keras-keras, tapi takut ketahuan oleh seseorang.Ingat Bibi Sartika, semakin bertambah buruklah hariku. Tak ada yang bisa kulakukan untuknya, dan aku lagi-lagi merasa jadi anak durhaka. Di satu sisi berusaha berpikir bahwa ini karena ulahnya sendiri, tapi di sisi lain seolah menciderai nurani.Akhirnya, berkat bantuan seorang teman ketika kuliah, aku menyewakan pengacara untuk bibiku itu. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya."Apakah muka tegangmu ini karena panggilan tak terjawab siang tadi, Sayang?" tanya Kak Sananta saat kami sedang menuju meja makan. Papa Saddil belum kembali dan aku tak tahu jam berapa dia akan pulang. Entah bagaimana, sejak kejadian tadi pagi, aku merasa mertuaku itu menjadi semacam momok untukku. Mungkin jika Papa pulang sekaran
TDP 20Beberapa hari lalu, aku sudah berbelanja dua helai gaun setelah sebelumnya scroll lama di ponsel, mencari tahu tren dan style yang biasa digunakan di acara-acara seperti itu. Mbak Santi tak banyak membantu. Karena pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga tentulah tidak memerlukannya keluar masuk butik atau membeli gaun dan semacamnya. Namun, aku cukup senang sudah ditemani.Ingat zaman pendidikan, aku memang sedikit tertutup orangnya. Bisa bergaul dengan banyak orang, tapi sedikit yang menjadi teman dekat. Bahkan bisa dikatakan aku tak memiliki seorangpun untuk berbagi masalah pribadi.Aku membahas masalah sekolah, pertemanan, jalan-jalan, tapi tak pernah bercerita soal hidupku yang gersang. Di rumah pun aku tak memiliki teman dekat karena teman yang dekat denganku akan terintimidasi oleh Bibi Sartika. Hanya Ari yang tahu bagaimana hidupku sebenarnya.Ah. Ari lagi. Dan pesanku masih centang satu. Kali ini tanganku meletakkan kuas wajah dan
Jam setengah sepuluh malam. Aku pamit ke toilet sebentar. Kandung kemihku penuh, dan aku merasa pusing.Acara ini membuatku jetlag.Mulai dari alkohol yang sepertinya jadi minuman wajib, sampai pada para wanita yang berpakaian terlalu seksi. Mungkin mereka pengisi acara atau bagaimana. Aku jadi sangat risih karena di mejaku ada Papa Saddil dan Paman Munir. Sementara wanita-wanita itu santai saja berlalu lalang menikmati acara. Tak banyak, tapi mencolok. Ini mungkin biasa bagi mereka, tapi aku yang tak terbiasa diserang rasa sungkan setengah mati.Di toilet aku sampai muntah. Begitu kembali ke mejaku ternyata dua orang tua yang membuat segan itu telah pergi. Seketika kurasakan lega luar biasa."Kakak mau ke mana?" tanyaku saat Kak Sananta berdiri melihat kedatanganku."Aku ada pertemuan dulu sebentar, Sayang. Kamu mau ikut atau tunggu di sini saja?" jawab Kak Sananta sedikit ragu."Pertemuan?" Aku men
TDP 22Sepanjang pagi ini, aku tak bisa bangun. Kepalaku pusing dan mual yang tak berkesudahan. Tubuhku pun rasanya seperti habis kena pukul, sakit tak menentu."Pergilah, Kak," suruhku serak ketika Kak Sananta masih saja duduk di pinggir pembaringan sambil mengusap lenganku. Seharusnya dia sudah berangkat, tapi karena kondisiku ini sepertinya dia masih menundanya."Aku minta maaf sudah meninggalkanmu semalam." Suara Kak Sananta dipenuhi oleh rasa bersalah. "Harusnya aku paksa kamu ikut atau suruh seseorang menemanimu.""Ini bukan salah Kakak." Jujur kepalaku berdenyut ketika bicara, tapi kukuatkan tekad agar suamiku ini segera berangkat. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang pasti mungkin Papa Saddil sangat marah padaku. Aku tak bisa menjaga nama baik mereka di depan umum. Jangan sampai Kak Sananta kena getahnya juga."Aku yang kalap makan dan minum. Norak memang," gumamku nyaris tak terdengar. "Pergilah, Kak. Nanti Papa marah."
TDP 23Harapanku benar-benar terwujud. Kehidupan tenang selama tiga bulan belakangan, serta hubungan yang membaik dengan Bibi Sartika. Kami sepakat untuk melupakan semuanya. Pun ketidaknyamananku dengan sikap tak tertebak dari Papa Saddil tak lagi mengganggu. Mertuaku itu sangat sibuk belakangan ini, sering berpergian bahkan sampai seminggu. Pun ketika bertemu sesekali di meja makan, perbincangan bisnis dan pekerjaan yang mendominasi antara Papa Saddil dan Kak Sananta.Dari obrolan keduanya, setidaknya mereka berhasil mendapatkan dua proyek baru. Satu baru saja dimulai, satu lagi dalam target. Kak Sananta ditugaskan langsung untuk menangani calon proyek yang masih dalam pengurusan kepemilikan.Itu membuatnya semakin sibuk. Hingga bulan madu kami yang tertunda masih terus tertunda. Tak masalah bagiku. Toh setiap hari dan hanya sesekali saja dia meninggalkanku sendirian. Alih-alih bekerja, aku justru memilih masa-masa belajar menjadi
TDP 24.Setengah berlari, aku keluar dari gedung berlantai sepuluh itu. Tubuhku lemas dan pandanganku buram. Tapi aku harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang menyadari kedatanganku.Dalam taksi online, air mataku bercucuran sambil mencengkeram ponsel. Ingin bicara dengan seseorang, tapi tak tahu itu siapa. Aku tak punya siapapun, oh, dunia hening yang membuat nyaman kemarin ternyata menyimpan bahan peledak.Jika semua yang dikatakan oleh Papa Saddil itu, maka habislah aku.Bibi Sartika. Kebunku. Ayahku.Apa hubungan mereka semua?Apakah kebunku saat ini sedang digarap? Bagaimana bisa? Semua masalah telah selesai dan aku menyimpan semuanya di tempat yang benar-benar aman.Kenapa malah Papa Saddil mengatakan surat usang tak berharga dibandingkan surat kuasa?Apakah aku sudah melewatkan sesuatu yang sangat penting?Apa benar Papa Saddil akan membuat aku kehilangan semuanya? Suami? Anak? Bagaimana bis
"Bolehkah aku pulang kampung untuk beberapa hari, Kak?" Malam itu, kebetulan sekali semua orang sedang menikmati hidangan. Setelah beberapa hari ini cuma aku dan Kak Sananta yang mengisi meja makan.Dari ekor mata, bisa kulihat tangan Papa Saddil berhenti bergerak. Aku sengaja mengatakan ini untuk melihat reaksi mereka berdua.Seharian tadi, sampai mereka pulang, aku sudah berpikir apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu.Kak Sananta menatapku sejenak. "Kenapa mendadak? Jadwalku masih padat bulan ini.""Nggak mendadak, sih, aku sudah memikirkannya dari minggu kemarin. Cuma baru bilangnya hari ini," senyumku senatural mungkin. "Apakah di sini membuatmu bosan?" Papa Saddil melemparkan pertanyaan. Tangannya yang semula berhenti kembali menyuap makanan."Ah, tidak, Pa. Aku nyaman di sini. Tapi aku berpikir untuk mengolah kembali lahanku yang terbengkalai. Sayang jika harus dibiarkan semak belukar lagi. Aku ingin menanam
TDP 26Rasa penasaranku akan siapa Tuan Saddil telah membangkitkan sikap nekadku.Sejak terbangun pagi hari tadi aku bertekad tidak akan memanggilnya papa lagi. Dia sudah mengkhianatiku. Dia sudah menipuku. Kenyataan yang disampaikan Bu Sarmiah memiliki efek domino lebih besar setelah aku melewati satu malam lagi.Meski sudah mendengar, aku tetap ingin membuktikan sendiri. Jika bertanya adalah hal yang mustahil, sepertinya mencari tahu diam-diam harus kucoba. Setidaknya mencari informasi."Papa sudah berangkat, ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi. Meski ada tiga asisten lain di rumah ini, Mbak Santi adalah yang bertugas mengurus makanan dan melayani kebutuhan seisi rumah. Sehingga aku lebih dekat dengannya dibanding tiga asisten lain yang masing-masing mengurus pakaian dan kebersihan.Apalagi cuma Mbak Santi yang boleh masuk ke kamar tuan rumah. Sehingga menata pakaian bersih ke lemari dan kebersihan kamar otomatis jadi dihandle oleh Mbak