Agustus menghentikan mobil di depan rumah Bu Halimah. Laki-laki itu menoleh pada Nur yang bersiap untuk turun. Agus mengulurkan tangan pada sang istri lalu mencium kening wanita itu."Jangan kecapekan ya, Sayang. Pulang dari kantor desa aku jemput," ucap laki-laki itu lirih.Nuraini mengangguk, lalu mencium punggung tangan sang suami. "Mas, hati-hati. Aku turun dulu. Mereka sudah pada ngumpul," ucapnya. Laki-laki tampan itu mengangguk. Dia mengikuti arah pandangan Nur ke halaman rumah Bu Halimah yang luas. Di sana telah ramai anak kecil. Termasuk Bianca, anaknya Alisha yang menuntun si kecil Alfa. Kedua bocah berusia hampir sepantaran itu berjalan tertatih dan sesekali terjatuh. Di belakang mereka, Farrel mengikuti anak dan keponakannya. Sesekali laki-laki jangkung itu membungkuk, membantu Alfa dan Bianca bangkit."Ya Allah, lucunya mereka, Mas. Bianca cantik banget. Alfa ganteng banget. Mereka terlahir dari bibit-bibit unggul," puji Nuraini sambil mengusap perutnya.Agustus terkeke
Belok? Tidak. Tidak semua orang yang bersikap dingin dan tidak mau menjalani hubungan dengan lawan jenis dalam waktu lama itu belok atau tidak normal. Termasuk Agus. Nur sangatlah yakin, suaminya itu laki-laki normal.Hanya saja, Agustus type laki-laki yang tidak mudah jatuh cinta dan selektif. Sepanjang acara ulang tahun Alfa, Nuraini lebih banyak diam. Setiap kali mendengar kata "gay, tidak normal, dan belok" Nur menjadi lebih sensitif. Dari dulu, dia terus menyakinkan diri jika Agus tidak seperti yang mereka katakan."Eh, Nur. Tuh, dijemput Pak Su!" Alisha menepuk pelan bahu Nuraini.Bukan hanya Nur yang mengikuti arah telunjuk Alisha, akan tetapi beberapa tamu undangan. Mereka senyum-senyum menggoda Nur yang langsung berwajah merona."Ciee, romantisnya Pak Lurah. Pak Agus memang bikin iri!" celetuk ibu-ibu sambil menyuapi cucunya.Agus terkekeh. Dia mendekati Alfa yang tengah duduk di antara Bianca dan Sofia. Agus lantas duduk di belakang ketiga anak itu. Dia menunduk, merangkul
"Iya, cepat, Mas! Jelasin, ada apa sebenarnya?" ulang Nur lagi dengan suara meninggi.Agustus memejamkan mata. Laki-laki itu menunduk dalam diam. Merasa tidak ada jawaban, Nur memegang kedua lengan Agus dan menggoyangkannya."Kenapa Mas diam? Buka lemari itu!" tunjuknya pada lemari berwarna putih gading itu. "Dulu Mas melarangku membukanya. Ada apa sebenarnya?" cecar Nur lagi. Wanita hamil itu menatap Agus dengan pandangan kabur karena tangis. Agus mengambil kunci lemari yang dia letakkan di dalam vas bunga. Dengan gerakan lemah dia mengulurkan kunci tersebut pada Nur.Nuraini tidak sabar untuk mengetahui isi lemari tersebut. Di situ, kembali matanya disuguhi pemandangan tidak biasa. Beberapa pakaian Sigit tergantung dan terlipat rapi di lemari rahasia itu. Dan juga...Foto Sigit dan Agus tergeletak di bawah gantungan baju. Keduanya terlihat mesra. Nur mengambil foto itu dan mengarahkan pada Agus."Apa ini, Mas? Apa ini?" tanyanya masih dengan nada tinggi. Kedua mata Nur menangkap
Bahu Agus meluruh mendengar permintaan cerai dari Nur. Dia berharap istrinya itu hanya emosi sesaat dan belum siap menerima kenyataan."Aku mohon, Nuraini, jangan minta cerai. Kamu boleh minta apa saja, asal jangan minta cerai, Sayang." Agus menekan suaranya supaya tidak didengar oleh orang lain.Nuraini memalingkan wajah. Rasanya muak sekali melihat laki-laki munafik di dekatnya itu. Nur menatap ke arah kantong infus yang menggantung di sebelah kirinya. Dia bersyukur ketika seorang perawat mendekat hendak mencopot selang infus.Dengan hati-hati, Agus menuntun Nuraini memasuki mobil. Dia tidak peduli dengan sikap tak acuh wanita itu. Agus menoleh sebentar sebelum melajukan mobilnya."Kita pulang ke rumah dulu, ya, Sayang," pinta Agus di tengah perjalanan."Terserahlah!" jawabnya tak acuh. "Mas Agus kan orang berkuasa makanya seenaknya sendiri!" lanjutnya masih dengan nada ketus.Agus berusaha bersabar. Laki-laki itu menarik napas pelan, kemudian mengangguk lemah. Dia memilih diam dari
"Kenapa ... kenapa, Ibuk juga berbohong? Kenapa Ibuk juga nggak bilang sama Nur kalau Mas Agus..." Nur kembali menangis.Wanita muda itu merasa Bu Mirna dan Agus bersekongkol menjebaknya. Ternyata Bu Mirna juga tahu jika Agus pernah terjebak dalam dunia salah pergaulan. Selain akrab dengan dunia malam pasca bercerai dengan Susan, ternyata Bu Mirna juga mengetahui jika anak lelakinya itu seorang gay.Napas Nur tersengal menahan sesak. Suami dan mertua yang pernah diagungkan sebagai manusia yang begitu baik ternyata berkhianat. Mereka sama-sama munafik. Lantas siapa lagi harus dia percayai? Nuraini mengusap perut buncitnya. Memikirkan nasib si Kembar kelak. Ternyata hidupnya yang begitu miris tidaklah cukup. Anak kembarnya juga harus merasakan hal yang sama.Bu Mirna mengusap bahu menantunya. Wanita paruh baya itu juga ikut menangis. "Maafkan Ibuk, Nduk. Ibuk juga baru tahu ketika Gino bertemu Ibuk di Malang. Ibuk nggak ingin kasih tahu kamu karena Ibuk nggak tega, Nur," akunya jujur.
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika