Share

BAB 6

[Maaf kalau aku baru kasih kabar sekarang, Na. Acaranya lumayan ramai, makanya aku telat kasih kabar kalau mama pengin nginep di sini. Mama bilang mumpung banyak kerabat yang datang, sekalian temu kangen. Kamu nggak apa-apa di rumah sendiri kan?]

Kuhela napas panjang setelah membaca pesan dari Mas Azka barusan. Ternyata kekhawatiranku sebelumnya menjadi kenyataan. Mereka menginap lagi dan lagi. Beberapa kali hajatan tanpa mengajakku, tiap itu pula mereka seolah sengaja membuatku tak berarti. Pulang dan pergi sesuka hati tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaanku selama ditinggal sendiri.

Rupanya Mas Azka dan keluarganya memang tak memiliki hati. Mereka tak mau peduli dengan perasaan orang lain, yang penting diri sendiri sudah happy. Sakit sih, tapi mau bagaimana lagi jika memang merekalah keluarga baru yang dikirimkan Allah padaku.

Meski begitu aku cukup bersyukur karena mereka membantu keluargaku membungkam mulut debt collector kala itu. Meski kini hanya dijadikan pembantu, setidaknya mereka sudah pernah menjadi malaikat penyelamatku dari amukan penagih hutang itu.

[Nggak apa-apa, Mas. Lagipula sudah biasa kan? Menginaplah kalian. Dengan begitu aku bisa lebih banyak istirahat karena selama ini aku jarang tidur nyenyak]

Pesan yang kukirimkan sudah terbaca. Dari seberang, sepertinya Mas Azka mulai mengetik balasan. Cukup lama menunggu akhirnya jawaban laki-laki itu benar-benar muncul di layar handphone.

[Jarang tidur nyenyak, Na? Bukannya selama ini kamu pulas tidur sampai kadang nggak bangun saat kubangunkan? Ah sudahlah. Sekarang kamu tidur saja. Jangan tidur kemalaman apalagi sengaja begadang. Aku juga mau tidur. Badan rasanya capek banget. Rasanya kangen pijit dari kamu, Sayang]

Biasanya aku selalu luluh tiap kali mendengar panggilan sayang darinya, meski mungkin hanya sekadar di bibir saja baginya. Namun, tetap saja membuatku merasa lebih dihargai, tapi entah mengapa kali ini terasa berbeda dan tak seperti biasanya.

Aku juga tak tahu kenapa rasanya hambar. Foto dan video yang dikirimkan Fina padaku membuat perasaan ini campur aduk. Ingin rasanya mengingkari, tapi di sisi lain aku tahu jika sepertinya mereka memang belum sepenuhnya saling melupakan.

Mungkin pernikahan ini memang salah dan tak seharusnya dilakukan. Mas Azka belum move on dari masa lalunya. Bisa jadi dia memang menikahiku secara terpaksa hanya untuk menyenangkan hati mama. Mamanya yang memiliki rencana tersendiri saat menjadikanku menantu barunya.

Ah! Mungkin memang begitu. Hanya saja aku yang terus berpikir positif padanya. Padahal mungkin dia memang tak benar-benar mengakui pernikahan ini. Semua seolah hanya sebuah formalitas belaka.

Ingin rasanya mengasihani diri sendiri, tapi buat apa? Semua sudah terjadi dan tak mungkin bisa diulang kembali. Saat ini aku hanya bisa bertahan, jika kurasa tak sanggup lagi, aku pasti akan pergi.

[Aku tidur dulu, Mas. Makasih sudah kasih kabar]

Hanya itu balasan terakhir yang kukirimkan padanya. Rasanya benar-benar malas untuk sekadar berbasa basi. Rasanya cukup lelah terus berusaha menjaga perasaan orang lain, sementara mereka tak peduli dengan perasaanku selama ini.

Haruskah aku terus mengalah dan pura-pura baik-baik saja, sementara rasa sakit yang mereka tikamkan padaku teramat menyiksa? Mungkin mulai sekarang aku harus bisa menghargai diriku sendiri agar tak selalu dijajah oleh mereka semua. Sedikit memberontak agar tak selalu dijadikan budak.

Malam semakin larut. Sebenarnya mata ini belum bisa terpejam sempurna karena bayang-bayang Mas Azka dengan mantannya masih terus terngiang di pelupuk mata.

Hanya saja, aku cukup lelah. Aku harus bisa memaksakan diri untuk beristirahat karena besok pasti akan jauh lebih lelah setelah mereka semua kembali ke rumah ini. Deretan pekerjaan akan siap menanti. Seolah membuatku tak memiliki waktu untuk sekadar menyelonjorkan kaki.

***

Adzan subuh yang begitu merdu terdengar membangunkanku dari tidur semalam. Aku menggeliatkan badan sebentar lalu duduk di atas ranjang sembari melipat lutut. Hening. Hanya terdengar suara denting jarum jam setelah adzan tak lagi terdengar di telinga.

Kupandangi sekeliling kamar. Rasanya begitu sunyi, seolah aku hidup sendiri. Ingin sekali kembali ke rumah sederhana ibu, tapi di saat itu terjadi aku teringat bagaimana debt collector itu menarik paksa tangannya yang mengeriput. Makian terdengar begitu menyakitkan, sementara mereka hanya menonton tanpa memberikan pertolongan.

Lima puluh juta yang diberikan mama pada ibu memang cukup membantu keadaanku. Sejahat apapun dia, setidaknya aku dan ibu bisa terlepas dari jerat debt collector itu. Mungkin aku akan kembali ke rumah setelah melunasi hutangku. Iya, anggap saja semua itu bagian dari hutang yang harus kubayar daripada terus direndahkan hanya karena uang lima puluh juta.

Jika aku sudah mengembalikannya, tentu mereka tak akan lagi merendahkanku seperti ini. Mungkin mereka sedikit lebih sadar jika aku tak sebo doh yang mereka bayangkan. Aku yang akan menerima apapun dan bagaimanapun perlakuan mereka tanpa pernah melakukan perlawanan.

[Kamu nggak tanya pada suamimu, semalam dia tidur dengan siapa? Kamu nggak penasaran apa yang dilakukannya semalaman?]

Sebuah pesan muncul di layar. Pesan dari nomor baru entah siapa lagi. Semalam aku sudah memblokir nomor nggak jelas itu dan kini kembali mendapatkan pesan menyebalkan dari nomor lain. Aku yakin pengirimnya adalah orang yang sama.

Lagi-lagi aku malas memikirkan hal-hal yang membuat moodku berantakan. Lebih baik segera melakukan aktivitas seperti biasanya daripada terus kepikiran dengan pesan-pesan yang muncul di layar. Aku beranjak dari ranjang untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban dua rakaat.

Kuserahkan semua takdirku padaNya. Aku yakin DIA jauh lebih mengerti apa yang terbaik untukku saat ini. Jika memang Mas Azka bukan jodohku yang sebenarnya, tentu DIA akan mengirimkan pengganti yang lebih baik. Namun, jika memang dia jodohku, tentu DIA akan memantapkan hatiku untuk bertahan dan bersabar untuk mengubah hatinya.

Setelah selesai melakukan kewajiban, aku kembali melipat mukena dan meletakkannya di tempat semula. Saat ingin melangkah keluar kamar, handphone yang kuletakkan di atas meja rias itu kembali bergetar. Meski enggan, nyatanya aku juga penasaran dengan pesan yang terkirim di sana.

Perlahan kubuka notifikasi di layar. Mendadak tercekat saat membaca pesan kedua yang muncul di sana. Ingin kembali mengabaikan, tapi entah mengapa justru semakin kepikiran. Sejauh itukah hubungan mereka? Atau semua ini hanya untuk membuatku semakin sakit saja? Siapa sebenarnya yang mengirimkan pesan-pesan konyol ini padaku? Apa mungkin Mas Azka setega itu?

[Lihatlah wajah suamimu pasca bangun tidur. Terlihat sangat lelah bukan? Entah apa yang dilakukannya semalam. Sekarang dia sudah mandi, keramas dan wangi. Kamu tahu apa yang dilakukan Viona pagi ini? Dia sengaja membuatkan sarapan untuk suamimu. Romantis bukan?]

Apa yang sebenarnya terjadi? Jika memang Mas Azka masih mencintai mantan istrinya, buat apa memeprtahankan pernikahan ini? Apa aku memang hanya dinikahi untuk dijadikan pembantu saja?

Apa ada rencana terselubung lain yang disimpan mama dan Mas Azka? Apa mereka sengaja mempertahanku demi memuluskan rencana terselubungnya itu?

Berbagai dugaan kembali lalu lalang di benak. Aku benar-benar tak paham apa yang sebenarnya direncanakan mama atas pernikahanku dengan anak lelakinya.

Jika memang hanya ingin dijadikan pembantu, kenapa mama tak meminta anaknya untuk menceraikanku saja lantas memaksaku tetap tinggal di sini sampai hutangku lunas? Kenapa aku harus terus menjadi istri Mas Azka sementara hadirku seakan tak pernah dianggap ada?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status