Share

BAB 7

Urusan memasak sudah beres. Aku melanjutkan pekerjaan lain yang belum usai. Menyapu halaman, menjemur baju dan membersihkan kamar mandi. Rencananya setelah semua kelar aku akan fokus promosi dagangan Mbak Santi. Semoga saja hari ini ada barang yang terjual, jadi bisa menabung sedikit demi sedikit untuk melunasi hutang.

Tak banyak hal yang kuinginkan saat ini. Aku hanya berharap ibu baik-baik saja di sana dan aku bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Jika mereka memiliki rencana lain untuk menjebakku di sini, aku juga memiliki rencana berbeda dan tak sepolos sebelumnya.

Jarum jam menunjuk angka sembilan saat semu urusan pekerjaan kelar. Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, aku beranjak ke ranjang. Sedikit menyelonjorkan kaki lalu merebahkan badan. Rasanya cukup lelah, tapi mendadak semangat itu hadir saat kulihat sebuah pesan masuk di layar. Bukan pesan dari nomor nggak dikenal itu lagi, tapi dari nomor baru yang menanyakan daganganku.

[Mbak, hijab model ini warna hitam masih ada? Kalau masih mau pesan tiga ya]

Rasanya terharu saat membaca orderan pertama dari jualanku itu. Tak terasa kedua mataku berkaca-kaca karenanya. Aku yakin jika ditelateni akan menghasilkan juga suatu saat nanti. Lima puluh juta memang bukan uang yang sedikit, tapi dengan kerja keras aku yakin akan mendapatkannya.

Mungkin jika aku memilih berpisah dan bekerja akan lebih cepat menghasilkan uang. Hanya saja aku tak ingin membebani ibuku lagi. Ibu pasti akan semakin kepikiran jika aku pergi dari Mas Azka di usia pernikahanku yang baru seumur jagung. Sungguh, aku hanya ingin melihat ibuku lebih tenang di usia senjanya.

[Mbak Santi, hijab model ini yang hitam stoknya masih ada atau nggak ya? Ada yang tanya soalnya, kalau masih ada dia minta tiga. Nanti alamatnya aku kirim ke Mbak Santi ya, sekalian dipaketkan.]

Kukirimkan pesan panjang itu pada Mbak Santi. Seperti perjanjian di awal, dia yang akan mengurus pengiriman karena tugasku hanya promosi saja. Jika nanti terjual tiga potong, itu artinya aku mendapatkan komisi lima belas ribu rupiah. Lumayan untuk awal jualan dan aku akan mensyukuri berapapun rezeki yang dilimpahkanNya untukku.

[Masih ada lima, Mbak. Oke, ditunggu alamatnya ya. Semoga deal. Nomor rekeningnya sudah aku kirim kemarin ya, Mbak. Semangat selalu Mbak Ratna!]

Aku tersenyum tipis membaca pesan dari Mbak Santi. Lega saat melihat stok di tokonya yang masih cukup. Gegas kukirimkan pesan pada calon pembeli sesuai balasan dari Mbak Santi barusan.

Tak selang lama, calon pembeli itu mengiyakan. Dia mengirimkan alamat rumahnya dan minta totalan. Lagi-lagi aku tersenyum dan terharu karena pesanan perdana ini bukan dari pembeli yang terlalu banyak drama.

[Sudah aku kirim ya, Mbak. Silakan dicek dulu, ini bukti transfernya. Kalau mau kirim paketnya kabari aku ya, Mbak. Sekalian minta bukti kirimnya juga biar bisa dilacak. Makasih Mbak Ratna]

Obrolan usai dengan bukti transfer yang terkirim di layar. Lega rasanya mendapatkan pesanan pertama ini. Pesanan yang membuatku semakin bersemangat untuk menjual lebih banyak lagi. Aku yakin tak akan ada yang sia-sia dari sebuah perjuangan dan doa.

[Alhamdulillah, akhirnya pesanan perdana datang ya, Mbak. Sudah aku cek transferannya, Mbak. Aku catat penjualan Mbak Ratna ya. Awal bulan nanti aku kirim ke Mbak Ratna komisinya. Hari ini lima belas ribu. Makasih, Mbak Ratna. Semakin semangat ya!]

Aku tersenyum membaca pesan dari Mbak Santi. Dia memang selalu menyemangatiku untuk mempromosikan dagangannya. Semangat darinya itu membuatku semakin yakin akan ada hasil jika benar-benar mau berusaha.

Nyatanya dia juga berhasil mengirimkan puluhan paket setiap harinya, padahal awal jualan dulu nyaris tak ada yang laku. Berkat kegigihan dan doanya setiap hari, kini dia mulai memetik hasilnya.

***

Suara salam terdengar cukup keras dari luar pagar. Aku buru-buru beranjak dari kursi makan lalu melangkah tergesa ke teras rumah. Seorang laki-laki berdiri di depan pagar dengan membawa sebuah paket dan buket bunga.

Sepertinya dia kurir yang mungkin ingin mengirimkan paket untuk mama atau saudara iparku karena aku sendiri tak pernah belanja apapun. Kenapa ada buket bunga segala? Ah, entah. Mungkin juga buat Nina dari kekasihnya.

"Maaf, apa benar ini rumahnya Mbak Nina?" tanya laki-laki itu ramah. Mungkin kurir baru karena aku belum pernah melihat dia sebelumnya.

"Benar, Mas. Saya kakak iparnya. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku kemudian. Laki-laki itu memperlihatkan paket dan buket bunga yang dibawanya.

"Ini ada kiriman untuk Mbak Nina. Saya foto sebagai bukti terima ya, Mbak," ucapnya ramah.

Aku pun mengiyakan lalu mempersilakannya untuk memotretku sembari membawa paket kecil dan buket yang baru saja kuterima.

Setelah kepergian kurir itu, aku kembali masuk ke rumah dan mengunci pintu seperti biasanya. Kusimpan paket Nina di dalam lemari, sementara buket bunganya kuletakkan di atas meja rias. Akan kuberikan padanya kalau sudah pulang dari hajatan.

Seperti biasa, aku mulai menyetrika baju-baju yang menumpuk. Biasanya ini tugas Mbak Meli, hanya saja dia cuti selama seminggu. Jadi, mama memintaku untuk menggantikannya. Sejak beberapa hari lalu, aku memang menyetrika semua baju yang ada, tak hanya milik suamiku melainkan milik mama dan saudara-saudaranya juga.

Namun, kali ini aku tak akan melakukan hal yang sama. Aku pilih baju dan celana milikku, punya mama dan Mas Azka saja. Baju lainnya hanya aku lipat dan kutata di tempat semula. Jika memang mau distetrika, biar saja Nina dan Mbak Rani yang melakukannya sendiri. Mereka juga punya kedua tangan yang bisa dipakai untuk mengurus kebutuhannya sendiri.

Tugasku di sini hanya berbakti pada Mas Azka dan mama, untuk urusan lain aku tak akan peduli lagi. Aku tahu bagaimana sikap mama dan Mas Azka padaku, tapi seperti apapun perlakuan mereka, selama statusku masih menjadi istri aku akan tetap berusaha untuk menghormatinya. Kecuali jika aku sudah tak kuat dan menyerah, aku akan pergi dan tak akan pernah kembali.

Suara mobil Mas Azka terdengar di luar. Aku buru-buru mencuci tangan lalu melangkah sedikit tergesa ke luar rumah. Suara celoteh Arga, anaknya Mbak Rani mulai terdengar. Dia membawa mobil-mobilan cukup besar lalu berlari ke dalam rumah.

Melihat mama dan Mbak Rani sedikit kerepotan, aku buru-buru melangkah ke garasi untuk membantu mereka membawakan beberapa barang yang entah apa isinya.

Saat aku mendekat, kedua wanita itu melengos lalu mendorongku kasar.

Aku tak tahu mengapa sikap mereka semakin terasa berbeda. Aku rasa mereka kesambet saat perjalanan pulang. Tak ada angin tak ada hujan kenapa keduanya semakin terlihat menyeramkan.

"Aku bantu, Ma," ulangku sembari berusaha membawakan tas mama. Namun, lagi-lagi dia menangkis tanganku.

"Nggak usah bantu apa-apa. Mama bisa bawa sendiri," ketusnya.

"Mama kenapa sih? Baru pulang sudah marah-marah?" tanyaku kemudian.

Biasanya aku tak seberani itu untuk bertanya sesuatu padanya. Hanya saja, kali ini aku tak tahan lagi. Aku berusaha memberanikan diri. Iya, mulai saat ini aku memang ingin lebih berani agar tak selalu dianggap remeh dan dimanfaatkan oleh mereka. Mungkin dengan begitu mereka bisa sedikit menjaga sikap. Lagipula, aku punya hak untuk menghargai diriku sendiri bukan?

"Urus saja lelaki itu. Baru ditinggal dua hari, sudah bermain api!" sentak mama membuatku bertanya-tanya apa maksudnya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yani
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status