"Ren, kamu yang sopan, ya! Jangan menguji batas kesabaran Mbak! Kalau sudah gak nyaman dan gak bisa ikut aturan, silakan pergi dari rumah ini!” Teriakku di depan kamarnya.
Tidak ada sahutan yang terdengar. Rupanya dia masih takut juga jika kuusir. Aku segera berlalu menuju teras. Tehku sudah menghangat rupanya. Baru satu biskuit yang kuhabiskan tiba-tiba Bu Marni pedagang pakaian keliling datang. “Assalamu’alaikum, Mbak Rumi!” ucapnya dengan senyuman merekah. “Wa’alaikumsalam! Jualan, Bu Mar?” sapaku ramah sambil menarik satu kursi untuknya. “Iya ... saya di sini aja duduknya, Mbak Rum,” ucapnya sambil memilih duduk di lantai dan menggelarkan dagangannya. “Ayo, dipilih pakaiannya ada model terbaru nih, yang ini daster yang lagi musim lho, terus kalau yang ini pakaian tidur kekinian, biar suami betah, Mbak!&rdqu"Nih kamu nyapu dulu, bersihkan semua rumah, nanti Mbak kasih kamu uang!”Kujatuhkan sapu itu didepannya. Kemudian kubanting pintu dengan keras.“Mbak Rumiii!” teriaknya kesal. Tidak lagi kuhiraukan. Pintu kukunci dari dalam agar dia tidak menggangu istirahatku kali ini.Entah apa yang terjadi selanjutnya. Tidak kudengar lagi suara dari depan kamar. Semoga saja anak itu benar-benar membersihkan rumah.Baru sebulan menumpang saja sikapnya sudah melunjak. Entah apa yang membuat Ali tertarik untuk memperistrinya. Andai saja kutahu lebih awal tentang perangainya yang menyebalkan sudah kupastikan, Ali tidak akan berjodoh dengannya.Aku sebetulnya lebih menyukai Tiara yang katanya saudara tirinya. Namun sepertinya Reni lebih agresif mendekati Ali.Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Tidak baik jika aku menyuruh mereka berce
Aku mempercepat jalanku agar segera tiba di kediaman Bonbon. Berharap segera pulang kembali dan mencari tahu siapa wanita itu?“ Assalamu’alaikum,” ucapku.“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam.“Bar! Nana ada di dalam?” tanyaku pada Ambar---Ibunya Bonita.“Ada Rum, ayo masuk aja!” ujarnya sambil memberikan jalan padaku untuk masuk mengikutinya.“Eh, masih belum kelar belajarnya?” tanyaku ketika melihat Nana dan Bonbon beserta buku mereka yang berantakan.“Belum, Mah!” jawab Nana dan Bonbon.Aku duduk di sofa milik Ambar. Tipe rumahnya sama dengan milikku, cuma punya mereka sudah di renovasi dan dibikin dua lantai.
"Reni! Kenapa semua bahan stock bulanan tidak ada di tempatnya, gula, kopi, teh, susu, bahkan bahan makanan yang mau di masak juga tidak ada?” Aku berkacak pinggang.“Nanti akhir bulan kuganti, Mbak! Tadi aku kasih mamahku ... masa pulang gak bawa oleh-oleh!” ucapnya."Ya ampuuun Reni! Modal dong kalau mau ngasih oleh-oleh buat orang tua tuh ... terus tadi bahan masakan yang Mbak udah siapkan kemana? Kho gak ada?”“Aku kasihin Mamahku sekalian tadi, Mbak! Soalnya buat makan malam sekarang dia bawain aku KFC, makanan favoritku. Jadinya daripada masak mending langsung makan deh, gak pake ribet!” jawabnya enteng dengan wajah tanpa merasa bersalah.“Oh ya udah kalau gitu, mulai besok tidak ada lagi stock makanan bersama. Silakan kamu atur sendiri urusan bul
Mas Harso yang baru saja mengambil handuk dan baru membuka pintu kamar menatapku heran.“Rum, kamu buat apa beli lemari lagi? Di simpan di kamar pula?”“Di dapur sekarang banyak tikus, Mas! Aku mau simpen stock makanan bulanan kita di dalam kamar!” jawabku.Tidak mungkin aku menjelaskan secara gamblang. Bagaimanapun, Mas Harso selalu memintaku untuk memngayomi kedua orang tersebut. Tapi adik seperti apa dulu yang harus kuayomi? Seenak jidatnya saja.Mas Harso mandi duluan sebelum Ali. Kulihat Reni ada di dapur dan tengah menatap magic com nasi yang kosong.“Mbak, nasi kho gak ada, ya?’ tanyanya padaku.“Habis,” jawabku singkat sambil mengambil satu cangkir keramik besar. Aku akan membuatkan Mas Harso
Sejak awal, aku memang sudah merasa jika Mbak Rumi itu tidak menyukaiku. Bagaimanapun aku bisa merasakan perbedaan tatapannya ketika pertama kali kami bertemu. Aku melihat dia seperti lebih menyukai Tiara daripada aku.Perlahan semua itu terbukti. Semenjak aku tinggal di rumahnya, perlakuannya makin hari makin semena-mena terhadapku.Memang aku menumpang di sini karena Mas Ali pun masih status karyawan percobaan. Kami sedang berencana mengambil rumah secepatnya. Namun sikap perhitungannya yang kebangetan semakin membuatku muak. Karenanya setiap hari aku lebih memilih berdiam di kamar daripada harus bersitatap dengannya.Terlebih akhir-akhir ini, dia sudah berani menyuruh-nyuruhku untuk membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, memangnya aku ini pembantunya?Dia pikir dia siapa? Baru memili
Aku langsung menuju kamar. Sengaja aku tak mau mendengar obrolan mereka. Sudah bisa kupastikan Mas Harso akan menegur Mbak Rumi terkait perkara belanja bulanan itu. Mas Ali terlihat tengah duduk dan memainkan ponselnya. Dia menoleh ke arahku yang menyebabkan pintu terbuka. "Ren, laper nih! Makan yuck!" Mas Ali sepertinya sudah merasa lapar dari tadi. "Bentar, Mas! Aku lihat dulu nasinya mateng atau belum?" Kubergegas ke dapur untuk memeriksa nasi yang kumasak tadi. Aku segera menuju kamar lagi. "Mas, ayo! Nasinya udah mateng!" Ajakku. Mas Ali bangkit dari duduknya dan melenggang menuju pintu. Aku mengambil dua potong KFC dari plastik yang tergeletak di atas nakas. "
Mbak Rumi memang keterlaluan. Semenjak kejadian kemarin, dia benar-benar menyimpan semua stock makanan di dalam kamarnya.Yang paling menyebalkan, ternyata dia sudah menyuruh Mas Ali untuk membayar utang sembako Ibuku. Uang segitu pun dijadikannya itungan.Baru pertama kali aku menemukan orang seperti dia. Sudah perhitungan, cerewet, pelit tidak mau ngalah lagi.Sepertinya rencanaku harus dipercepat. Aku harus segera mendatangkan Mbak Hilma. Tetapi harus kupastikan ketika Mas Harso ada di rumah.Sepertinya weekend sekarang merupakan hari yang paling tepat. Kemarin kudengar percakapan Mbak Rumi dengan Mbak Ambar kalau mereka akan kumpul di rumah Mba Ambar untuk mengocok arisan.Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Segera kumenghubungi Mbak Hilma. Namun aku pastikan suamiku
Aku bergegas pulang dari rumah Ambar untuk mengambil souvenir arisan yang ketinggalan. Namun alangkah kagetnya ketika kulihat dari ambang pintu. Mas Harso suamiku sedang berduaan dengan seorang wanita seksi."Mas, kalian sedang apa?"Mas Harso terkaget dan menoleh ke arahku.Aku menatap Mas Harso dan wanita itu bergantian. Dari pakaiannya yang seksi dan kurang bahan, wanita itu sudah terlihat seperti wanita penggoda. Aku menatapnya tajam, ingin menimbang sejauh apa keberaniannya."Rum, udah pulang? Ini Hilma temennya, Reni!" Mas Harso mencarikan keadaan. Wajahnya sedikit terkejut melihat kemunculanku yang mendadak."Hai, Mbak!" Dia tersenyum padaku. Namun entah kenapa, aku melihatnya sebagai senyuman penuh tantangan."Hai," balasku dengan senyum singkat."Kamu kenapa udah pulang, bukannya biasnya arisannya lama 'kan ya?" tanya Mas Harso lagi seperti