Terpaksa aku harus memperkenalkan diri dengan nama yang awalnya sangat tidak aku sukai. Aku lebih suka dipanggil Meta, yang terdengar lebih anggun dan berkelas. Namun, sekarang aku harus melepaskan nama yang sedari kecil sudah melekat, dan menggantinya dengan nama yang biasa saja.
"Baiklah, aku menerima kamu bekerja di sini. Tapi, hanya untuk mengurus makanku dan kamarku saja. Aku, tidak mau kita saling berkontak fisik."
Aku pun menyanggupi syarat darinya. Kemudian mulai bekerja sesuai apa yang dia perintahkan.
Hari pertama, sangat sulit bagiku. Aku harus membiasakan bangun subuh, dan menyiapkan semua keperluan Arfan. Semakin lama aku semakin menikmati dan kami pun semakin akrab.
Aku memposisikan diri sebagai teman yang mendengarkan segala keluh kesah dia. Termasuk, saat dia menceritakan awal kehancuran hidupnya. Harus kehilangan anak serta istri karena kejahilan tangan seseorang ya
"Ck' ck' ck' .... Sungguh sandiwara yang luar biasa. Serapi itu kamu menipu kami, Tari."Aku menunduk seraya memainkan jari-jariku saat papa melihat dan berucap padaku.Baru saja, kedua orang tua Mas Arfan melihat gambar-gambar diriku yang sebenarnya dari Alvin. Ya, saat ini kami tengah berada di kamar Alvin.Entah kapan dan dari mana Alvin mendapatkan foto-foto diriku dengan segala kemewahan yang selama ini melekat pada diri seorang Meta."Maaf, Pa. Tari terpaksa melakukan ini. Tari hanya ingin menebus kesalahan Tari, Pa.""Dengan cara membohongi kami?""Maaf," ucapku seraya menunduk."Arfan harus tahu yang sebenarnya," ujar Mama seraya berdiri bersiap untuk keluar dari kamar Alvin.Buru-bur
Setelah menerima telepon dari Mama, aku tidak langsung menceritakan hal tersebut kepada Mas Arfan. Aku menemani dia menghabiskan sarapannya terlebih dahulu, sebelum aku meminta izin untuk pergi ke rumah Mama.Entah apa yang terjadi di sana, hingga aku harus datang seorang diri ke sana.Mungkinkah ini ada kaitannya denganku dan Mas Arfan? Tapi apa? Aku benar-benar tidak bisa menebak yang terjadi."Sudah kenyang?" tanyaku setelah melihat kopi yang tidak tersisa di dalam gelas."Sudah.""Mas, aku boleh izin pergi?" Kembali aku bertanya."Ke mana?""Ke rumah ibu dan ayah. Boleh?""Aku ikut."Aku mengembuskan napas kasar seraya menekuk wajah saat Mas Arfan
"Bibi, jangan berpikiran buruk tentang kami. Tadi, Alvin bukan sedang mencumbuku, melainkan dia sedang menyakitiku dengan memelintir tanganku. Lihat, tanganku merah karena ulahnya," jelasku seraya memperlihatkan pergelangan tangan yang memerah kepada Bu Siti.Wanita yang kisaran usianya sebaya dengan Mama, ia mengangguk seraya mengambil kembali keranjang belanja yang tadi terlepas dari tangannya.Kemudian dia masuk ke dalam rumah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.Detik berikutnya, satu hantaman keras aku hadiahkan pada Alvin yang berdiri tidak jauh dariku.Dia meringis. Oh, bukan, dia seperti terkekeh mentertawakanku."Kenapa? Kurang? Mau kuhajar lagi?" kataku seraya mengepalkan tangan siap untuk aku layangkan padan
'Bukannya tadi Mas Arfan bilang masih di kantor? Kok, Isna bilang melihat Mas Arfan di rumah sakit. Ah, mungkin Isna salah lihat.'[Kamu salah lihat, kali, Is.] Aku membalas pesan dari Isna.[Masa, sih? Emang sekarang Kakak, sedang bersama Mas Arfan?]Aku mengembuskan napas berat, lalu kembali mengirimkan pesan kepada adikku itu.[Enggak, sih. Kakak sedang di rumah Mama. Sedangkan Mas Arfan, ia sedang di kantor bersama Mama mertuaku. Dia sedang bertemu investor di kantornya,] jelasku. Kemudian langsung centang biru.[Hati-hati, deh, Kak. Kali aja dia sedang bohongin kamu.]Aku tertegun membaca pesan dari Isna. Otakku bekerja keras untuk memikirkan kata-kata dari Isna.Tidak mungkin Mas Arfan berbohong. Namun, jika benar Mas Arfan
"Suster, apa pasien ruangan ini sudah melakukan operasi?" tanyaku pada seorang wanita yang memakai seragam biru langit."Iya sudah. Pasien baru saja selesai melakukan transplantasi kornea mata. Apa Ibu, keluarganya?"Aku menggelengkan kepala. Bukan tidak ingin mengakui Mas Arfan sebagai suami, tapi aku tidak mau suster itu mengatakan keberadaanku di sini.Setelah melihat kenyataan yang membuat dadaku sesak, aku memilih pergi meninggalkan ruangan di mana Mas Arfan dirawat.Aku belum siap untuk bertemu Mas Arfan. Aku juga belum punya kata-kata untuk menjawab semua pertanyaan Mas Arfan nantinya.Langkahku terasa lambat, kakiku terasa lemah untuk melangkah cepat. Air mata semakin deras membasahi pipi. Waktuku sudah habis untuk tetap menjadi istri dari Arfan
"Mas, kamu—""Ya, ini aku."Mas Arfan membalikan tubuhku agar menghadap ke arahnya. Kutatap lekat wajah itu, kuulurkan tangan untuk menyentuh kedua mata yang masih berbalut perban."Ini kejutannya?" tanyaku lagi."Iya, Sayang. Ini kejutan untukmu. Aku, sudah melakukan transplantasi kornea mata. Aku akan segera melihat. Sebentar lagi, aku akan bisa menatap wajah cantikmu, Mentari."Senyumku mengembang. Namun, bukan karena kata-kata manis Mas Arfan barusan. Lebih tepatnya, aku bahagia karena Mas Arfan belum bisa melihatku karena matanya yang masih tertutup perban.Aku masih punya kesempatan untuk tinggal dan merasakan kasih sayang suamiku. Aku masih bisa menikmati waktu indah berdua b
"Maksud aku, minggu depan aku mau pergi keluar dari rumah ini."Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat. Ia menyingkirkan kepalaku yang berada di dadanya. Kemudian beringsut duduk. Dan aku masih memperhatikan apa yang akan dia lakukan."Kenapa mau pergi dari sini?" tanyanya dengan punggung yang bersandar pada sandaran ranjang."Mau ninggalin aku?" lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertamanya.Melihat wajahnya yang tiba-tiba menjadi murung, seketika aku tertawa terbahak membuat dia semakin mengeratkan kening.Entah tawa apa ini. Namun, air mataku ikut keluar seiring dengan tawa yang menggema. Bibirku bahagia, tapi hatiku terluka."Ditanya malah ketawa. Jawab dulu," Mas Arfan hendak menarik tubuhku, tapi
"Betul, Mbak Raya. Bibi tidak bohong!" ujar Bibi lagi membuatku sedikit menegakkan tubuh.Pembahasan kita kali ini sangatlah serius. Bukan mengenai masalah dapur seperti biasanya. Tapi, masalah pribadi yang aku sendiri tidak mengerti."Kapan, Bibi melihatnya?" tanyaku."Waktu ... aduh, Bibi lupa hari apa, tapi pokoknya sebelum melihat Mbak Tari sama Mas Alvin di depan itu."Aku merenung. Mencari alasan apa yang membuat Alvin menyimpan fotoku. Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban atas kecurigaan Bi Siti."Oh, mungkin karena dia waktu itu mencari-cari jati diri saya, Bi. Makanya dia sengaja menyimpan foto saya," ujarku mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.Aku sangat yakin jika itu alasan Alvin menyim