Suara Jill Anne benar-benar menggoda mereka. Dia pun terus terkekeh. Saat melihat perubahan di raut wajah Beatrix dan Laurice.
"Me-memangnya siapa istri yang lain?"
"Sofia Malvin!"
"Apaaaa?!!!!" teriak mereka berdua, seperti mengguncang seluruh kastil.
Jill Anne tersenyum lebar dengan terkekeh. Dia merasa senang telah membuat mereka berdua kebakaran jenggot. Walaupun mereka tak berjenggot.
Laurice langsung meninggalkan Jill Anne. Dia menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Melihat hal itu, Beatrix berusaha mengejar.
"Laurice! Tunggu dulu Lau!"
Dia terus berteriak. Mencoba menghalangi niat Laurice, yang sudah terbakar api cemburu dan emosi. Laurice pun berhenti.
"Kenapa kamu melarang aku?"
"William sangat tak menyukai kalau ada yang mengganggu dia."
"Aku tak peduli. Ini kesalahan yang telah dia lakukan!"
"Ta-tapi, Lau--"
Wanita cantik berambut merah itu, pergi berlalu. Beatrix hany
"Siapa dia?""Dialah akuntan yang aku ceritakan dulu. Dia seorang yang handal. Kau tak perlu ragukan pilihanku, William.""Aku tahu itu Jill," sahut William tanpa berkedip. William terus menatap lekat. Lalu Jill Anne berjalan mendekatinya dan berbisik,"Kau jangan membuat temanku takut oleh ulahmu!""Dia tak akan takut. Yang ada malah tertarik denganku.""Awas, kalau kau menggodanya."Kalimat Jill Anne penuh ancaman."Oke, Sherley. William yang akan menjelaskan semuanya. Aku tinggal keluar. Nanti setelah selesai, biar Ester mengantar kamu ke kamarku.""Baik, Jill.""Oh, ya Sherley. Aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Bersebelahan dengan kamarku, bagaimana? Dari pada kau harus tinggal di kota.""Hemmm, boleh juga Jill tawaran kamu. Terima kasih sebelumnya."Jill Anne pun pergi berlalu meninggalkan mereka berdua."Sudah berapa lama anda berkecimpung dalam pekerjaan ini Nona Sherley?""Cukup lama
"Bagaimana dengan harta kekayaan Sofia? Apakah masuk menjadi milik William juga?""Tidak. Karena aku yang memegangnya.""Lalu apa rencana kamu selanjutnya, Jill? Dan, buat apalagi kau memasukkan wanita itu?"Jill Anne tersenyum tipis, seraya menyeringai."Suatu saat nanti. Kau pasti akan tau manfaat Sherley ada di sini!"Tiba-tiba, Beatrix sudah berada di ujung lantai tiga. Dia menapaki beberapa anak tangga. Menghampiri mereka."Sepertinya ada gosip hangat?""Apa kau tidak tahu, Floy? Kalau 'suami' kita telah tertarik pada seorang wanita baru. Apa kau akan membiarkannya?" Sengaja Laurice membuat Beatrix agar cemburu."Yang bisa menghentikan William, adalah dirinya sendiri!""Kau benar, Floy," sahut Jill Anne, seraya masuk kamar.Sedangkan di taman bunga lily. Yang mengelilingi kastil. William dan Sherley masih asyik berbincang dan saling bertukar pikiran."Bagaimana kalau para wanita kamu bersel
"Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku sangat tidak menyukai kalau ada lelaki lain yang melihat para wanitaku!" bisik William."Ta-tapi, aku bukan wanitamu, William!""Tak ada seorang wanita yang menolakku! Termasuk kamu, Sherley."Wanita itu hanya memandang tajam ke arah William. Tampaknya George mengerti ke mana rah perbincangan William. Dia pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan."Saya sangat senang bisa mengenalmu Nyonya," bisik George. Dan telah membuat Sherley terpesona."Aku tak menyukai lelaki itu!""Karena dia tampan? Kaya dan dari kalangan bangsawan juga?""Sepertinya dari tadi, kau terus menghakimi aku."Sherley tersenyum lebar. Lalu, menarik pergelangan tangan William yang terlihat kesal."Jika kau geram, apalagi marah. Garis gurat di wajahmu akan bertambah satu.""Dari mana kau tahu itu?""Hemmm, dari orang-orang tua kita dulu. Apa kamu tak pernah dengar?""Tidak!"Sherle
Desir lembut meraba hati dan jantungnya. Seakan membuat Sherley mabuk sesaat dan tak sadar. Bahwa yang sedang dia hadapi seorang William. Yang mampu menaklukkan wanita mana pun. Dengan segala rayuan dan sikapnya yang membuat wanita luluh saat bersama dirinya."Apa kau masih butuh janji yang lain Sherley sayang?""Janji?""Iya. Aku ingin kau menjadi wanitaku," bisik William."Kita pulang William. Aku kedinginan.""Biar aku peluk kamu, Sherley."Keduanya terdiam dengan pandangan mata memandang ke arah laut lepas."Kita pulang, William. Angin pantai bikin aku serasa mual.""Baiklah!"Tampak William membantu Sherley naik ke atas kuda."Berpeganglah sama aku, Sher! Aku tak ingin kamu jatuh," bisik William.Sherley hanya mengulum senyuman.'Pantas semua wanita itu tak berdaya bila dihadapan William. Apa aku juga?'Hanya dalam sekian menit. Kuda mereka sudah memasuki halaman kast
"Siapa dia?" tanya William menyelidik."Saudara sepupuku, seorang wanita yang cantik dan sangat menarik. Aku yakin kau pasti suka berbincang dengannya. Karena dia sangat ahli soal hubungan di ranjang!""Apa maksud kamu bicara seperti itu, Floy?!" tegur Jill Anne. "Seharusnya kau hargai dirimu sendiri. Dengan tak bicara hal yang tak pantas seperti tadi. Sangat tak pantas kau lakukan tadi, Floy!""Apa kau cemburu, Jill?"Pertanyaan Beatrix seolah sedang menantang dirinya. Jill terus memperhatikan ulah Beatrix yang sedang merayu William."Nanti malam waktunya kaun berkunjung ke kamarku, William. Jangan lupakan itu!" tandas Beatrix manja.William tak menjawab. Dia melirik pada Sherley yang hanya mengulum senyum. Seakan sedang mengejek William, yang baru saja berucap janji padanya.Beatrix yang merasa tak ditanggapi. Ikut mengarahkan pandangan pada Sherley. Rasa geram dan kesal merambat dalam hati."Ehhh! Kenapa kamu senyum-se
Pagi yang cerah. Tampak Beatrix menunggu kedatangan saudara sepupunya. Tak berhenti tatap matanya menerawang lepas ke arah jalan perbukitan yang terlihat."Kamu menunggu saudara kamu?""Iya, Laurice.""Apa ... dia cantik?"Beatrix tersenyum tpis. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Laurice."Kamu takut dia akan merebut hati William?""Menurutmu?"Terdengar tawa lirih Beatrix."William milik kita bersama Lau. Kamu tak bisa mengusainya sendiri. Karena kamu pun tahu. Dia tak bisa mengikat cintanya hanya pada satu orang saja.""Haahhh! Aku telah salah mencintai seorang lelaki. Dan aku pun telah salah menyerahkan semua hartaku padanya.""Dan kau pun tak mampu melawan pesonanya, Laurice. Seperti tadi malam. Dia begitu garang dan beringas di ranjang. Iya 'kan?"Tanpa memberi tanggapan. Laurice pergi meninggalkan Beatrix yang sedari tadi tersenyum puas."Andai kau tahu siapa Ivy Grace, laurice. Kamu akan
"Kamu masih terlalu muda untukku," bisik Sherley. Sembari dia beranjak dari kursi. Saat hendak melangkah pergi. George menarik lengan Sherly dengan kuat. Hingga wanita itu terjatuh dalam pangkuan George."Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan kamu. Biar pun harus bersaing dengan William.""Biarkan aku pulang, George!""Silakan! Tapi, kamu perlu ingat yang baru saja aku katakan tadi, Sherley Kendall."Sherley menatapnya cukup lama."Aku serius dengan yang aku katakan barusan, Sherley.""Sebaiknya aku pulang, George. Aku tak ingin sampai Jill banyak pertanyaan padaku.""Jill atau kah William?"Sherley tak menjawab pertanyaan George. Dia mengambil tas dan segera pergi meninggalkan lelaki muda dan tampan itu."Kita pasti akan bertemu lagi, Sherley."Wanita itu hanya mengangkat sebelah tangannya. Langkah kakinya terburu-buru menuju kereta yang telah emnunggu."Kita jalan Brandy!""Baik, Nyonya!"
Malam ini, Sherley terlihat gelisah. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Masih terbayang setiap kata yang terlontar dari George."Apakah benar yang dikatakan George? Apa William seperti itu? Baru saja dia mengucap kata indah buatku. Dan, aku terpesona olehnya. Aku bingung harus mempercayai siapa?"Tampak Sherley gelisah. Dia berjalan mondar mandir di dalam kamarnya."Aku harus menemui William. Aku tak bisa gelisah seperti ini terus!"Bergegas Sherley keluar kamar. Berjalan menyusuri lorong di lantai dua, yang sangat sepi dan hening. Saat melewati kamar Jill Anne. Sebuah panggilan tertuju padanya."Sherley! Mau ke mana kamu?"Tiba-tiba Jill Anne sudah berada di depan pintu."Jill, kamu belum tidur?""Belum. Memang kamu mau ke mana?""A-aku ... ehhhh."Sangat terlihat jelas Sherley resah dan tak bisa bicara lugas pada Jill Anne. Yang tersenyum padanya. Dia berjalan menghampiri Sherley."Sepertinya kamu telah t