"Coba saja Jill. Yang ada dirimu akan makin tersiksa. Aku akan semakin membuat dirimu menderita!"
Terdengar tawa William yang berlalu meninggalkan kamar Jill Anne. Deru napas Jill, semakin memburu. Dia segera turun dari ranjang. Dan pergi ke kamar mandi. Membersihkan noda yang telah ditinggalkan suaminya itu.
"Siapa yang saat ini berada di pihakku? Apa yang dikatakan William memang benar! Mereka begitu terpikat dan mencintai William. Siapa yang bisa aku ajak kerja sama selain Sofia dan Sherley?" gumam Jill Anne.
Tampak Jill sedang berpikir keras. Entah rencana apa yang akan dia susun untuk sang suami. Yang telah membuat dirinya tak berkutik.
_Kamar Beatrix_
Wanita cantik dengan hidung agak pesek. Terdengar merintih lirih. Dia masih terlihat kesakitan di bagian perut dan kewanitaannya.
Raut wajahnya pucat dengan bibir yang mengering menahan sakit.
"Kamu sudah oke Floy?" tanya Ivy yang duduk di sebalahnya. Betarix hanya menggeleng
Jill Anne langsung mendorong Ivy dan menerjang dengan kuat. Sampai membuat Ivy mundur beberapa langkah. Hingga tubuhnya terdorong sampai membentur dinding kamar."Aaaahhh! Sakit, Jill!" Tampak Ivy terduduk di lantai.Langkah Jill berjalan mendekatinya. Dia menarik kerah leher baju tidur Ivy. Hingga dia terangkat berdiri."Bila kau berada di kubu William, kau akan celaka dan menyesal!" sentak Jill."Sepertinya kau mengancam aku, Jill?" serang Ivy nyalang. Lalu kedua tangannya bergerak mendorong ke arah Jill.Bugghh!Membuat cengkeraman tangan Jill pada kerah baju Ivy terlepas. Dan langkahnya terhuyung ke belakang."Hentikan! Keluarlah kalian kalau ingin bertengkar. Jangan di kamarku!" Suara Beatrix yang masih lemah dan parau sangat memaksa dirinya untuk melarang mereka. Tangannya bergerak ke atas mengarah pada pintu kamar."Keluarlah kalian semua!"Jill Anne langsung berjalan keluar. Tidak dengan Ivy. Yang masih berdiri t
Beatrix berusaha untuk bangkit dan duduk. Dia menanyakan apa yang dijelaskan olehnya."Kenapa bisa ladang gandum aku menjadi milik kamu?""Kenapa?""Kau ternyata berbakat jadi maling. Pencuri rendahan kau William. Aku tak akan pernah menerima hal ini. Ladang itu sampai kapan pun akan tetap jadi milik aku!"William hanya menyeringai penuh kejam. Lalu begitu saja meninggalkan Beatrix dalam luka."William, Tunggu! Williaaaam!"Namun teriakan Beatrix diacuhkannya. Lelaki itu terus melenggang pergi. Membuat hati wanita meradang, hancur dan terluka.Sekitar lima menit berlalu. Jill Anne sudah berdiri di samping tempat tidur. Lalu duduk di samping Beatrix."Bukannya dulu kamu pernah aku ajak kerjasama Floy?""Aku lupa!""Serius, kamu lupa? Apa kamu akan membviarkan William merebut semuanya dari kamu? Aston mati karena hubungan kalian. Dan kamu akan tetap diam?""Lalu, apa yang harus aku lakukan, Jill?"
_Tiga hari berlalu_ Terdengar derap langkah yang berjalan cepat menuruni anak tangga. Ester tersenyum sembari menunduk padanya. "Nyonya Floy, anda sudah terlihat sangat segar dan cantik," sapa Ester dengan mengiringi langkahnya. "Terima kasih Ester. Aku tak mungkin mau larut dalam kesedihan yang bisa membuat aku mati terpuruk. William tak akan menduga hal ini." "Lantas sekarang Nyonya hendak ke mana?" "Temani saya ke dapur. Atau di mana biasanya Brianna dan Chloe meracik obat mereka?" tanya Beatrix dengan menghentikan langkahnya. "Sekarang ada ruangan khusus Nyonya." "Hemmm, bisa kamu tunjukkan?" "Mari ikut saya!" Ester mendahului berjalan di depan Beatrix. Tepat di sebelah dapur ada se sebuah ruangan yang cukup luas dengan pintu yang tertutup rapat. "Ini ruangannya Nyonya." "Apa mereka ada di dalam?" "Kalau kunci pengaitnya terbuka berarti mereka berdua ada di dalam Nyonya."
Tak berpikir panjang lagi. Beatrix Floy langsung menerjang ke arah depan. Dalam dua loncatan yang lebar. Dia sudah berdiri di hadapan Brianna. Dalam kecepatan yang sangat tinggi. Tangan Beatrix bergerak mengarah pada wajah Brianna.Cruuushhh!"Aaaarghhhh! Setan kau Floy. Apa-apaan ini?!"Saat melihat wajahnya terluka penuh darah. Seketika Brianna semakin histeris berteriak."Aaaarghhh! Wajahku ... wajahkuuuu!"Ujung pisau menggores kulit wajah Brianna. Dari bawah mata hingga batas hidung. Mmebuat wanita itu terduduk dengan bersimbah darah.Melihat keadaan yang menegangkan. Ester dan Chloe berusaha melerai dan menahan tubuh Beatrix yang tangannya masih menghunus belati."Lepaskan aku, Ester! Bila perlu aku akan membunuhnya!""Tahan, Floy!" bentak Chloe. Namun Beatrix terus berteriak dan meronta.Plaaakkk!Hingga sebuah gamparan keras dilayangkan oleh Chloe. Yang berniat untuk menyadarkan Beatrix."K-kau mena
"Tindakan kamu selalu gegabah, Floy.""Aku sudah tak bisa menahan kemarahanku lagi, Jill. Brianna mmebunuh anakku dan Aston tiba-tiba saja terbunuh. Tanpa ada luka atau serangan. Coba kamu pikirkan hal ini!""Iya, aku tau kematian Aston. Pihak pengadilan menentukan dia terkena serangan jantung. Tidak ada praduga lainnya Floy."Beatrix menarik lengan Jill Anne, yang membuat mereka berhenti. Manik matanya menatap tajam pada Jill Anne yang juga memandang ke arahnya."Aston seorang yang sangat sehat Jill. Dia tak mempunyai riwayat jantung. Bisa kamu mengerti apa yang ada dalam piiran aku sekarang?""Dia ... dibunuh!""Ya, dan aku yakin kamu pun tahu hal ini. Kamu pun tahu siapa yang melakukannya."Kali ini Jill Anne terdiam."Apa Brianna turut ikut di dalamnya?" Suara Jill sedikit pelan. Dan Beatrix menjawab dengan anggukan. "Menurut kamu dia meracuni Aston atas perintah William?""Benar dan tepat sekali Jill. Karena B
"Tembok kastil ini mempunyai telinga. Begitu mudah menyebar apa pun yang menjadi rahasia.""Selama di kastil ini. Kamu tak akan bisa mempunyai rahasia Sherley!"Hela napas panjang terembus dari Sherley."Aku ingin keluar dari kastil ini, Jill. Bantu aku!""Aku bisa membantumu, Sherley. Tapi, dengan satu syarat.""Apa itu?"Pandangan Sherley mengarah pada Jill Anne yang terlihat santai menanggapinya. Berbeda dengan dirinya yang tegang."Kau masih berjanji satu hal sama aku.""Soal keuangan dan aset kamu 'kan?""Iya. Kau belum mendapatkan kepercayaan sama seklai dari William. Benar 'kan?"Terdengar Sherley yang menghela napas panjang."Aku sudah berusaha mendekati William, Jill. Tapi, terllau banyak kejadian akhir-akhir ini.""Kamu harus berusaha untuk itu, Sherley. Dan aku menunggu secepatnya.""Haaahhh! Kau tak membuat pilihan lain, Jill. Sepertinya aku terjebak di kastil kamu."Seketik
"Kenapa kamu diam Sherley?" tanya Darriel yang sudah berdiri di samping wanita cantik ini. Dia sedikit membungkuk dan berbisik, hingga bibirnya menyentuh telinga Sherley."Datanglah bersamaku, Cantik!""A-aku ... tak bisa menjawabnya, Darriel. Sulit buat aku.""Kenapa Sherley?"Darriel menarik pinggang ramping Sherley, dan memeluknya erat. Perlahan kedua manik mata mereka saling beradu. Tanpa sepatah kata yang terucap."Boleh aku menciummu?""Haaahhh?"Belum habis keterkejutan Sherley. Bibir Darriel telah melumat bibirnya, dengan lembut. Sengaja Sherley membiarkan dan mengikuti gelora hasrat kerinduan Darriel padanya."Aku mencintaimu, Sherley."Tak ada tanggapan dari Sherley. Dia tak tahu harus mengatakan apa pada lelaki tampan yang tengah memeluk dirinya."Bagaimana dengan undangan aku tadi?""Beri aku waktu.""Sudah enggak ada waktu lagi, Sayang. Kamu harus katakan sekarang juga.""A-aku bi
Pukul dua siang kurang lima belas menit. Sherley terlihat cantik dengan gaun berwarna pastel. Rok bagian bawah cukup lebar dengan penuh renda dan bordir. Dengan rambut yang diikat ke atas dan diberi sentuhan bunga myrtle, serta kain transparan sebagai hiasan kepala. Riasan tipis di wajah Sherley semakin menambah kecantikannya.Setelah mengenakan sarung tangan berenda dengan kain transparan. Sherley pun bersiap untuk menemui Darriel. Tangannya menyambar pouch bag berwarna senada dengan tali yang sedikit panjang. Dia gantungkan pada pergelangan."Aku datang Darriel," gumam Sherley seraya tersenyum senang.Belum sampai langkahnya menuju pintu kamar. Dia mendengar derit pintu yang terbuka. Betapa terkejutnya Sherley saat melihat William menerobos masuk."Ka-kamu ... William?!""Kenapa terkejut gitu? Seperti syok?""Aaaa ... a-aku cuman kaget, lihat kamu yang tiba-tiba nongol kayak gini.""Mau ke mana kamu Cantik?"