"Kenapa kamu diam Sherley?" tanya Darriel yang sudah berdiri di samping wanita cantik ini. Dia sedikit membungkuk dan berbisik, hingga bibirnya menyentuh telinga Sherley.
"Datanglah bersamaku, Cantik!"
"A-aku ... tak bisa menjawabnya, Darriel. Sulit buat aku."
"Kenapa Sherley?"
Darriel menarik pinggang ramping Sherley, dan memeluknya erat. Perlahan kedua manik mata mereka saling beradu. Tanpa sepatah kata yang terucap.
"Boleh aku menciummu?"
"Haaahhh?"
Belum habis keterkejutan Sherley. Bibir Darriel telah melumat bibirnya, dengan lembut. Sengaja Sherley membiarkan dan mengikuti gelora hasrat kerinduan Darriel padanya.
"Aku mencintaimu, Sherley."
Tak ada tanggapan dari Sherley. Dia tak tahu harus mengatakan apa pada lelaki tampan yang tengah memeluk dirinya.
"Bagaimana dengan undangan aku tadi?"
"Beri aku waktu."
"Sudah enggak ada waktu lagi, Sayang. Kamu harus katakan sekarang juga."
"A-aku bi
Pukul dua siang kurang lima belas menit. Sherley terlihat cantik dengan gaun berwarna pastel. Rok bagian bawah cukup lebar dengan penuh renda dan bordir. Dengan rambut yang diikat ke atas dan diberi sentuhan bunga myrtle, serta kain transparan sebagai hiasan kepala. Riasan tipis di wajah Sherley semakin menambah kecantikannya.Setelah mengenakan sarung tangan berenda dengan kain transparan. Sherley pun bersiap untuk menemui Darriel. Tangannya menyambar pouch bag berwarna senada dengan tali yang sedikit panjang. Dia gantungkan pada pergelangan."Aku datang Darriel," gumam Sherley seraya tersenyum senang.Belum sampai langkahnya menuju pintu kamar. Dia mendengar derit pintu yang terbuka. Betapa terkejutnya Sherley saat melihat William menerobos masuk."Ka-kamu ... William?!""Kenapa terkejut gitu? Seperti syok?""Aaaa ... a-aku cuman kaget, lihat kamu yang tiba-tiba nongol kayak gini.""Mau ke mana kamu Cantik?"
Dua jam berlalu ....Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Belum sempat Sherley menjawab. Seseorang sudah menerobos masuk."Williaaaaam ... William!" teriak Laurice berang.Penampilan yang tak kalah cantik. Laurice sudah berdiri di pinggiran ranjang. Dia menarik selimut tebal pada tubuh lelaki tampan itu."William!" seru Laurice. Tak bisa dia sembunyikan lagi kemarahan dan kecemburuannya. "Ini sudah jam empat. Kamu masih saja di kamar Sherley. Bukannya tadi kamu sudah bercinta denganku?"William hanya menggeliat pelan. Dia membuka sebelah mata. Melihat Laurice yang sudah berdiri tak jauh. Sherley yang melihat Laurice hanya terdiam. Walau sebenarnya memendam amarah, dia ingin Laurice melihat. Kalau dirinya tengah berbahagia. Sherleypun tak peduli dengan kedatangan madunya itu.Tampak Sherley mempermainkan kukunya. Sesekali dia melihat pada Laurice yang tengah memandang dirinya. Lalu tersenyum masam."K
"Aku tak jadi mengajak kamu ke pesta itu. Cuman tak mau kamu terlibat masalah dengan William.""Lalu, kamu mau ajak aku ke mana?""Rumah peristirahatan yang kami milki. Tak jauh dari sini. Mau?""Mau, Darriel. Apa kita berjalan?""Kudaku ada di balik pepohonan itu!""Baiklah!"Mereka berdua menyusuri jalan menuju tepian hutan yang berada di perbukitan. Yang letaknya tepat di belakang kastil."Jauh sekali kamu meletakkan kuda?""Aku tak ingin saja ada yang melihat.""Hemmm ... apa mata-mata William sampai sejauh itu, Darriel?""Yang jelas dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh kamu.""Dan juga dirimu?"Darriel hanya mengangguk pelan."Bukankah keluarga kamu juga punya pengaruh di kota?""Keluarga kami tak ada apa-apanya, Sherley. Keuangan kami jauh dibawah William. Apalagi para wanita disisinya, sebagai penyumbang kekayaan bagi William saat ini.""Kamu benar.""Sepe
"Kamu dengar petir di luar sana?""Iya, seperti mau hujan.""Ya, pilihan terbaik kita memang harus menginap di sini. Iya 'kan?""Iya, sih. Cuman aku tadi tak ijin sama sekali Darriel. Pasti Jill akan cari aku. Apalagi si William.""Percayalah sama aku."Saat Darriel sibuk menenangkan Sherley.Krekkk!Seperti suara ranting yang diinjak. Membuat Darriel dan Sherley berbalik. Lalu buru-buru melangkah keluar rumah."Sepertinya ada orang Darriel?""Iya, tapi enggak kelihatan siapa-siapa.""Aku jadinya takut."Segera Darriel memeluk erat Sherley."Masuklah ke kamar!"Dia menggeleng. Menolak perintah Darriel yang bersuara penuh penekanan padanya."Masuklah, Sherley!" sentak Darriel.Saat langkah kaki Sherley hendak berbalik.Dorrrr!Sontak dia berbalik dan tersentak. Sekilas Sherley melihat seseorang memakai topi merah berbentuk newsboy. Berlari kencan
Kuda mulai menapaki jalanan yang cukup licin."Kita tak berani berjalan cepat, Nona," ucap Frank."Iya, Tuan. Saya sangat mengerti."Wajah Sherley memucat dengan sebentuk ketegangan yang tergambar darinya. Berulang kali dia harus mengembuskan napas berat. Hanya sekedar untuk melepaskan beban yang kian melesak. Mendera jiwa.Terbayang seraut wajah William yang tengah menyeringai sadis padanya. Senyum dingin dan kaku yang seolah tengan mentertawakan dia saat ini.'Apa yang kamu cari dari semua ini William? Pengakuan agar semua orang tunduk dan takut padamu? Ataukah ... sebuah bentuk ego yang ingin kamu tunjukkan pada Jill Anne atas kuasamu?' Berjuta tanya tengah menghujam hatinya saat ini."Nona, anda ini siapanya Tuan Holmes?"Pertanyaan dari Nyonya Frank seakan menyadarkan Sherley. Dia yang gelagapan menengok arah sang wanita."Sa-saya teman baik Darriel Holmes. Cucu dari Tuan Holmes, Nyonya.""Sangat jarang mer
"Berapa lama kita sampai di rumah sakit Tuan?" Sherley menengahi pembicaraan mereka. Elois mulai memeriksa denyut nadi Darriel yang lemah."Banyaklah berdoa. Semoga Tuhan menolongnya. Kondisi dia sangat lemah, karena mungkin banyak pendarahan dari dadanya.""Terima kasih, Tuan Frank. Anda dan Nyonya sangat baik sekali."Sherley menundukkan kepala. Dia memejamkan mata sembari mengucap kalimat doa untuk Darriel. Dia mulai merasa perjalanan begitu panjang.Hampir empat jam mereka melewati perbukitan dan menyusuri pantai. Hingga tepat pukul delapan malam. Kereta sampai di sebuah rumah sakit khusus para bangsawan dan orang kaya. Masyarakat umum atau miskin tak bisa memasuki rumah sakit ini.Bergegas mereka menurunkan Darriel. Dari arah dalam seorang perawat menghampiri mereka."Kenapa dia?""Dia tertembak dan kehabisan banyak darah," tegas Sherley.Dari jarak beberapa meter. Terdengar derap langkah yang berlari ke arah mereka.
Heidi yang kesal atas penolakan William. Berjalan mendekat. Kini keduanya saling berpandangan. Tangan Heidi bergerak pelan meraih tangan lelaki tampan ini. Lalu menempelkan pada dada."Apa masih kurang besar?"Tak bisa dipungkiri, Heidi memang sangat berani. Membuat William ingin berbincang lebih lama dengannya."Masih belum tertarik denganku, Tuan William?"Langkah Heidi kian mendekat. Hingga mereka saling berhadapan. Dengan berani wanita berambut blonde ini, meletakkan tangan pada dada bidang William. Lelaki tampan hanya tersenyum dingin. Tanpa berucap sepatah kata."Nona Heidi yang rupawan. Mengapa dirimu sangat tertarik dengan diriku?" William menyeringai angkuh.Heidi semakin merapatkan tubuhnya. Hingga mereka berdua, saling merasakan hangatnya embusan napas William dan Heidi."Bisakah ada waktu untuk diriku, Tuan William?" bisik Heidi manja. Belum sampai William menjawab. Tiba-tiba dari arah belakang. Seseorang langsung me
"Terserah kamu Laurice. Karena aku akan pergi dengan Heidi. Apa kamu mau ikut juga?"Dadanya bergemuruh serasa ingin meledak. Dengan langkah santai William melenggang meninggalkan Laurice yang masih berdiri terpaku. Tak terima atas pelakuannya. Dia mengikuti langkah William, dan menarik lengannya."Aku akan ikut kamu!""Apa kamu juga akan ikut saat kami berdua berpesta?" William menoleh sesaat, lalu pergi meninggalkan Laurice yang tercengang."Apa maksud kamu berpesta William?" Laurice terus mengejarnya langkah lebar William, yang terus meninggalkan dirinya. "William! Tunggu aku!" Namun lelaki tampan penuh keangkuhan itu, hanya mengangkat sebelah tangan ke atas. Seraya melambaikan tangan pada seorang wanita, yang tak lain Heidi.Deru napas Laurice memuru dengan penuh amarah."Keterlaluan kamu William! Tega sekali kamu meninggalkan aku begitu saja, dan pergi dengan wanita konyol itu? Yang benar saja William!" gerutu Laurice tak henti.