Joe mengerti dengan membungkamnya mulut Pevita pasti sudah terjadi sesuatu yang berat yang menimpanya. Hanya saja Joe tidak mau menerka-nerka itu apa. Dan juga tidak ingin mendesak Pevita agar menceritakan semua itu padanya. Sisi lain, Joe berharap pikiran negatif yang terlintas di benaknya itu semua salah. "Kamu masih punya kesempatan kalau ingin pergi dariku, Joe. Semua ini karena kebodahanku.""Tidak baik menyalahkan diri sendiri terus-menerus seperti itu. Tidak ada yang ingin pergi darimu.""Tentunya, setelah kamu menemukan putrimu kamu akan pergi bersama dia, bukan? Dan kamu akan melupakanku."Di sini Joe terdiam dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi pada gadis cantik ini. Dia sendiri juga belum bisa memutuskan apa-apa kemana dirinya setelah ini. Dan juga, rumah nyonya Kim sudah nampak di depan sana. Pevita tersenyum memandangi Joe sambil mengatakan, "paling tidak aku bisa membantumu sampai kamu menemukan putrimu." Sebelum akhirnya dia keluar dari mobil. Joe tersenyum ringa
Dua hari yang lalu, begitu si nyonya besar ini sampai di rumah dia harus dikejutkan dengan berita tidak mengenakan. Rose, baby sitter baru yang menggantikan Rania mengatakan kalau Naura mengalami demam tinggi dan harus dilarikan ke rumah sakit. Karena panik, nyonya Kim pun langsung meminta supir untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Saat itu hujan lagi turun deras-derasnya. Kondisi jalan pun menjadi licin. Supir sudah memperingati kalau kecepatan tidak bisa di atas 100km/jam. Namun nyonya Kim tidak peduli, dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dan begitu berada di tikungan, mobil mengalami slip ban dan oleng. Supir berusaha untuk mengendalikan tapi tidak bisa. Alhasil, mobil membentur pembatas jalan. Beruntung, nyonya Kim dan supir hanya pingsan dengan luka ringan. Begitu sadar, nyonya Kim langsung teringat akan putri kecilnya. Dan dia meminta dokter yang merawat untuk menghubungi rumah sakit yang merawat Naura. Sayangnya, kata dokter di sana kalau gadis kecil itu sudah tida
Joe menghela napas kasar sebelum dia menerangkan pada Pevita. "Coba kamu perhatikan, sewaktu kita memberikan kalung itu pada nyonya Kim, dia nampak biasa aja. Tidak kaget atau merasa sesuatu yang aneh karena menerima kalung itu dari kita. Apa selama ini dia tidak tau kalau Naura memiliki kalung itu? Dan Rose, asistennya yang menjaga Naura tiba-tiba saja mengundurkan diri setelah kejadian itu dan menjual kalung milik Naura di King's Mars Jewellery dengan memberikan alamat rumah nyonya Kim. Apa itu tidak aneh?" Di sini Pevita baru menyadari dan mengerti dengan apa yang dijelaskan Joe. "Benar juga." "Aku yakin kalau ada sesuatu yang terjadi pada Naura. Dan entah kenapa feelingku mengatakan kalau Naura masih hidup." "Jadi itu kenapa tadi kamu memastikan kalau Naura sudah meninggal sampai nyonya Kim menegaskan makamnya?" Joe mengangguk. "Karena aku merasa Naura masih hidup." "Tapi dokter tidak mungkin berbohong, Joe." "Itulah yang membuatku bingung." Joe pun berada di ujung. Pikirann
Siapa lelaki itu? Tiga putri keluarga Miller dan tentu saja Rosita sangat bergejolak rasa penasaran dengan sosok pemuda tampan yang sangat disanjung-sanjung di negeri Menara. Sayangnya tuan Pier tidak bisa membongkar lantaran misi yang belum tuntas. "Aku pasti akan mengenalkan pada kalian kalau nanti tugas dia sudah selesai. Mungkin, salah satu di antara kalian akan menjadi jodohnya. Aku dengar, saat ini dia masih sendiri," pungkas John Piere dengan sedikit memberikan harapan angin segara pada wanita-wanita cantik ini. "Mungkin dia jodoh Salika," sela Rosita Miller, yang secara suka rela menjual anaknya pada pria asing yang wajahnya saja dia belum tahu seperti apa. Sementara Salika pun tidak membantahnya. Justru dia kesenangan didukung mamanya seperti itu. Jadi di negeri kami ada pemuda tampan dan kaya dari negeri Menara? Kenapa aku tidak tau? Siapa dia? Apa mungkin dia menutupi dirinya? Aku rasa tidak. Mana ada orang tersohor seperti itu mau terus-terusan menutup diri. Umm, mung
Saat ini hujan sedang turun deras-derasnya. Sama persis saat kejadian nyonya Kim mengalami kecelakaan tepat diwaktu Naura menghembuskan napas terkahir. Joe meratapi sedih dengan jongkok setengah lutut di atas makam sambil memegang batu nisan dan membiarkan tubuhnya basah kuyup tanpa mau dipayungi. Sudah tidak bisa dibedakan lagi mana air mata dan air hujan, semuanya sudah menyatu membasahi wajah. Sementara Pevita masih setia menemani dengan mengenakan payung di samping Joe. Dia merasa iba melihat laki-laki terbaik ini merundung sedih. Belum pernah dia mendapatkan Joe seperti saat ini. Padahal, belum tentu juga gadis kecil yang ada di dalam tanah kubur ini adalah Kiara, putri kecilnya yang menghilang. Langit semakin gelap, seakan dia tahu kalau hari ini penuh dengan duka. Mungkinkah awan pun ikut merasakan perasaan luka dalam diri Joe? Nampak sekali kalau mereka sepertinya mengerti apa yang Joe rasakan. "Sebaiknya kita pulang, Joe. Naura sudah pasti lebih tenang di sana," ujar Pevit
Selalu saja ada suara-suara sumbang yang merendahkan orang lain hanya melihat dari penampilannya. Sepertinya negeri ini sudah rusak moral. Tidak bisakah mereka menghargai orang lain tanpa harus menilai dari covernya? Sayangnya, Joe tidak mempedulikan suara-suara nyinyir yang menghujat dirinya. Tidak penting juga. Joe hanya memikirkan Kiara. Dan masih mempertanyakan apakah Naura itu Kiara? "Hei pemuda gembel! Tidak bisa kah kau mandi dulu sebelum datang ke sini?" hardik pria yang berada di sebelahnya, sambil dia menutup hidung lantaran bau badan Joe yang tidak sedap. Jelas Joe tidak meladeni ocehan murahan dari laki-laki asing yang mulutnya seperti wanita. Dan rupanya itu membuat laki-laki tua yang mengumpatnya di awal tadi ikutan mengejek. "Mungkin dia kira ini rumah sakit subsidi pemerintah. Hei pemuda, sepertinya kau salah tempat. Apa kau tidak tau kalau di sini tidak bisa menerima asuransi, hah!" Semua orang pun tergelak. Ada yang malu-malu, namun tidak sedikit juga yang mene
"Dok, ada keributan di lobby," lapor suster yang sekaligus menjadi asisten pribadi dokter Hadi. Langsung saja dokter Hadi memutar tayangan dari CCTV secara langsung melalui ponselnya. Wajah Joe yang nampak begitu jelas pada saat pertama kali kedua mata dokter Hadi menyaksikan, sungguh membuat emosinya memuncak. "Pemuda sialan itu membuatku pusing!" umpat dokter Hadi dengan nada tinggi. "Perlu saya panggilan petugas keamanan untuk mengusirnya, dok?" Dokter Hadi bimbang. Sejatinya dia memikirkan Pevita yang bersama Joe. Tentu saja dokter Hadi memandang wanita yang merupakan anak kandung Jeriko si konglomerat terkenal itu. Kalau hanya Joe, mungkin sejak awal dirinya akan terang-terangan menolak untuk berbicara dengan pemuda rendahan seperti itu. "Jangan sembarangan! Kalau putri Jeriko tahu bisa bahaya reputasiku." "Tapi dia memaksa untuk bertemu dengan anda dok." "Kamu sudah mengatakan kalau aku sibuk?" "Sudah dok. Tapi dia tetap memaksa untuk menunggu." "Keras kepala sekali
Mereka adalah Mark dan Spencer, dua pejabat dalam negeri di pemerintahan ini. "Kenapa? Ada masalah?" Mark yang tidak sengaja melihat ada keramaian yang tidak wajar di lobby begitu penasaran ingin tahu. "Ah tidak. Hanya masalah kecil," jawab dokter Hadi santai. Namun wajah Spencer yang menatapnya dengan aura intimidasi, membuat dokter Hadi menjelaskan sedikit apa yang terjadi. "Barusan ada pasien miskin yang ingin meminta keringan biaya. Dia ingin bertemu denganku tapi aku menolaknya. Untuk apa, bukan? Buang-buang waktu saja. Dia tinggal minta surat keterangan miskin dari petugas setempat dan tinggal serahkan ke bagian administrasi. Semudah itu," terang dokter Hadi. Dan kemudian wajahnya berpaling pada Marita yang berada di sebelahnya. "Bukan begitu, Rita?" Marita sendiri tau apa yang akan dia katakan. "Benar sekali, dok." Barulah ekpresi Spencer berubah menjadi biasa lagi. "Jadi bukan masalah politik?" "Aku akan mengadukannya pada kalian kalau ternyata yang aku hadapi seper