Ternyata yang mengetuk pintu kamar, yaitu Ewan. "Kak Heranya ada, kakak ipar?" sinisnya, ia mulai tidak suka dengan sikap King yang menurutnya, suka mempermainkan kakaknya. Hera yang mendengar suara Ewan segera menuju pintu, "ada apa Wan?"tanyanya. "Jadi nggak kak?" seru Ewan, mengingatkan Hera karena mereka janjian untuk membuat kolak pisang kesukaan Sang Ayah. "Jadi Wan, sebentar ya?" ia lalu merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan akibat ulah suaminya. Hera keluar dari kamar tanpa sepatah katapun, bahkan menoleh ke arah King pun ia sangat enggan. Kekesalannya semakin bertambah saat King dengan seenaknya menyentuh dirinya. King hanya melongo melihat kepergian istrinya yang keluar dari kamar. Sementara torpedonya sudah tegak berdiri. Mau tidak mau, ia harus menuntaskan hasratnya dengan berolahraga lima jari.
Hera melongo saat King mengecup keningnya, ia pikir suaminya itu masih marah kepadanya. Ia bingung sendiri dengan perubahan mood Sang Suami. Saat ini, ia berbaring di ranjang dengan menatap punggung Sang Suami yang tidur membelakanginya. Ia mendengar bunyi dengkuran King yang menandakan ia tertidur dengan nyenyak. Perlahan Hera pun ikut mengantuk, besok ia harus bangun cepat karena akan bertemu dengan para sahabatnya. Pagi harinya, ia terbangun lebih pagi, ia melihat Sang Suami yang masih tertidur dengan posisi meringkuk. "Oh ya ampun, aku lupa memberinya selimut tadi malam," ia lalu menyelimuti suaminya. Lalu beranjak menuju dapur. Ia mulai memasak untuk sarapan pagi ini, kebetulan Ewan sudah bangun, "Wan, apa kamu sibuk pagi ini?" tanyanya. "Nggak juga sih kak, tapi aku ada kegiata
"Eh.., itu aku pikir mas sibuk," serunya sekenanya. "Bagaimana mungkin aku mengenalkannya sebagai suamiku, sedangkan pernikahan kami akan berakhir beberapa bulan lagi," gumamnya sedihdalam hati. Itulah alasan kuat mengapa Hera tidak mengajak King ikut dalam acara reuni itu. "Asal iya saja kamu ngomongnya, mana mungkin aku sibuk, kan ini hari Sabtu. Oh yananti setelah acaramu ini, kita mampir ke apartemen baru kita, aku sudah memasukkan sebagian furniture pilihanmu, jadi kamu bisa lihat lagi mana saja yang masih kurang." "Ta..tapi mas, kita kan mau belanja ke pasar untuk keperluan bahan makanan besok," Hera mencoba menghindar. "Duh, bagaimana ini? jika pindah di apartemen baru, pasti kami tidur satu ranjang lagi," kesalnya dalam hati. Ia yang sudah berkomitmen untuk melupakan perasaannya kepada King, tiba-tiba merasa terhimpit karena suaminya yang ingin mereka
Semua mata tertuju kepada pasangan suami istri itu. King segera naik ke podium, atas permintaan ketua panitia untuk menyampaikan sambutan singkatnya. Hera melihat suaminya dengan berjuta pertanyaan di hatinya, "ternyata banyak yang tidak ku ketahui tentangnya selain ia pintar dan licik ia juga sangat jago membuat orang-orang terkagum-kagum dengannya," tanpa sadar Hera mengagumi King dalam hatinya. Setelah tau, jika suami Hera memilikiperusahaan besar, banyak teman-temannya yang mulai mendekatinya, namun diantara semuanya hanya ada satu orang yang benar-benar Hera anggap sebagai sahabatnya. "Lihat tuh Her, mereka baru mau mendekatimu setelah tau suamimu orang penting," ujar Sang Sahabat bernama Tari. "Biarkan saja Tar, ntar juga mereka bosan sendri." ujarnya.King turun dari podium dan langsung menghampiri Sang Istri.
King keluar dari UGD, ia langsung terduduk dilantai. Ia merasa sangat bersalah dengan apa yang telah ia lakukan kepada istrinya. Ia tidak tau bagaimana menjelaskannya kepada ayah mertuanya dan kedua orang tuanya terlebih Ewan pasti sudah sangat membencinya saat ini. "Bodoh! bodoh, bodoh!" umpatnya. Ia merasa menyesal telah memaksakan kehendaknya kepada Sang Istri, niat awalnya hanya untuk menakut-nakuti Hera, tetapi dia menjadi kalap. King terlihat seperti orang dungu bersandar di lantai rumah sakit sambil menekuk kepalanya di kedua lututnya. Tiba-tiba dokter Jansen datang, yang sengaja di panggil oleh Juyan yang juga bertugas di rumah sakit yang sama dimana Hera sedang di rawat. Ia segera menghampiri King lalu berkata, "tuan muda, apa yang terjadi?,l" tanyanya. King segera menengadahkan kepalanya ke atas, "dokter.., aku sudah melakukan kesalahan, aku sudah menyaki
Dokter Jansen keluar dari kamar rawatan Hera, dan memanggil Ewan dan King untuk mengikutinya masuk di sebuah ruangan. Sementara para perawat mulai melepas infus di tangan Hera. Dokter Jansen mempersilakan mereka duduk, sedangkan dokter itu duduk di hadapan keduanya. "Bagaimana keadaan istri saya dok?" dengan wajah menyesal King menanyakan keadaan Hera saat ini. Sang Dokter menghela napasnya, lalu berkata, "menurut hasil diagnosa saya, nona Hera saat ini mengalamitrauma akibat sesuatu hal yang dipaksakan untuk ia lakukan padahal hatinya tidak menerima hal itu, saat iniia merasa sangat ketakutan terutama jika mendengar nama tuan muda, dan nona Hera tadi mengakatan jika ia tidak ingin melihat wajah tuan muda lagi," King menundukkan wajahnya mendengar penjelasan dokter Jansen. Ewan masih terus menyimak perkataan Sang Dokter. "Jadi, saya masih belum tau, jika trauma ini hanya sementara atau
Seminggu telah berlalu, Hera masih tinggal di rumah ayahnya. Setiap dua hari sekali, agar tidak curiga,King menelpon ayah mertuanya dan mengabari jika ia masih berada di luar kota. Setelah itu ia tidak lupamengirim pesan kepada Hera untuk mengabarinya juga. Namun King tidak tau apakah Hera membaca pesannya atau tidak, karena istrinya itu mematikan semua notifikasi di ponselnya. Sudah seminggu juga, Hera tidak pernah masuk kantor, teman-teman kantornya juga tidak ada yang berani mengusiknya. Ternyata semua sudah dikondisikan oleh King, agar Hera dapat beristirahat di rumah dengan mengajukan cuti untuk istrinya itu. King selalu menghubungi Ewan untuk menanyakan kabar istrinya, takjarang Ewan juga mengirimkan beberapa foto Hera yang ia ambil secara diam-diam lalu ia kirimkan kepada kakak iparnya yang sedang dilanda rindu berat kepada istrinya.
"Ma..maksud mami apa?" Hera pura-pura bingung. Nyonya Yesi mengetahui kebimbangan Hera, ia segera meraih tangan Sang Menantu, memberi kekuatan kepadanya. "Mami sudah tau semua, anak mami yang keras kepala itu sudah menceritakan semuanya kepada papi dan mami," ujarnya lemah lembut. "Ma..maafkan aku mi.., aku.., aku..," Hera seketika tidak dapat berkata-kata, ia mulai menitikkan air matanya. Nyonya Yesi segeramenarik menantunya itu dalam pelukannya. "Mami tidak menyalahkanmu sayang.., yang kamu lakukan itu benar, kita tidak boleh memaksakan kehendak sesuka hati kita kepada orang lain," Hera semakin terisak dipelukan Sang Ibu Mertua. Setelah sekian lama, ia baru merasakan kehangatan seorang ibu. "Mami sangat berharap suatu saat kamu mau memaafkan kesalahan anak mami yang keras kepala itu..," Hera memilih diam dan tidak menanggapi perkataan ibu mer