“Kalian telah kalah. Menyerahlah dan berlututlah menerima Kaisar Wen Xing sebagai Kepala Negara kalian yang baru.”
Sang Jenderal menatap tajam Kaisar Chang. Kaisar tua yang nampak semakin tua karena rasa frustasi yang amat sangat itu menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa pedih luar biasa yang sebetulnya bisa membuatnya jatuh pingsan saat itu juga. Bagaimanapun, ia harus menunjukkan sikap tenang. Jangan sampai keluarganya, yang tengah merepet ketakutan di belakangnya, bertambah khawatir dan kacau. Di sinilah ia harus menunjukkan wibawa seorang Putera Langit, walau pula sebagai seorang Putera Langit yang telah kalah.
Kaisar Chang lantas menjatuhkan dirinya ke lantai, berujar parau. Seluruh keluarga kekaisaran mengikutinya. “Kami mengakui Kaisar Wen Xing sebagai Kepala negeri kami”
Tiba-tiba Puteri Kedua menjerit, “Apa yang hendak kalian lakukan?!?”
Semua orang segera menoleh ke arah sang puteri, yang kini tengah berjuang keras melepaskan dirinya dari tarikan paksa seorang prajurit. Tidak rela melihat puteri kesayangannya diperlakukan semena-mena oleh prajurit penakluk negerinya, Kaisar Chang serta merta berseru, “Kami sudah rela menyerah pada kalian, mengapa kalian masih tega berlaku semena-mena?!”
“Yang Mulia, tidak tahukah Anda bahwa seorang dari negeri yang kalah harus mengikuti wewenang penguasa barunya dan tidak berhak melawan?” Jenderal Wei bertanya dingin. “Perdana Menteri Kang menyukai Puteri Anda. Seharusnya Anda berbahagia karenanya.”
Permaisuri langsung terisak, yang lainnya menunduk lesu. Mereka sudah tahu, Perdana Menteri Kang yang dimaksud sudah sangat tua namun masih amat gemar daun muda, terutama yang seperti Puteri Ketujuh mereka yang masih berusia tujuh belas tahun.
“Kau juga ikut!” Prajurit lain menarik tangan Puteri Keenam. Sang puteri dengan ketus menukas, “Tapi aku sudah menikah!”
“Kau bisa bercerai! Lagipula suamimu hanya berstatus pegawai istana, tidak sebanding dengan Pangeran Paman Ketiga Kaisar yang berminat mempersuntingmu!”
Puteri Keenam otomatis mengernyit jijik, tetapi saat melihat tatapan Jenderal Wei yang dingin serta tampak siap menyiksa, ia hanya bisa menundukkan kepala, menggigit bibir menahan air matanya yang nyaris keluar.
“Ambil semua harta benda Negeri Chang dan angkut semuanya ke negeri kita!” Jenderal Wei mengerling tajam ke arah keluarga kekaisaran yang tersisa, “Kalian, ikut aku! Kalian harus pindah ke tempat lain.”
Keluarga Kekaisaran Negeri Chang pun digiring menaiki kereta tawanan.
Saat kereta diarak keluar istana, Kaisar Chang kini tiba-tiba jatuh pingsan. Permaisuri panik setengah mati. Diguncang-guncangkannya tubuh suaminya. “Yang Mulia, bangun!... Oh Yang Mulia, bangunlah jangan Anda buat saya khawatir.”
Kaisar Chang tidak tahan melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Ia terlalu mencintai negeri dan rakyatnya, termasuk prajuritnya. Dan sekarang, ia melihat mayat-mayat para prajurit negerinya bergelimpangan tragis, bahkan banyak yang sudah kehilangan sebagian besar tubuhnya, ada yang hangus terbakar, yang lainnya terbalut oleh lautan darah. Dan yang terparah, tidak ada dari mereka yang tersisa dalam keadaan hidup.
***
“Mereka semua tak berguna dan tak berkompeten. Membiarkan mereka hidup hanya menambah beban kita saja,” Jenderal Wei mengelak membela diri. Tidak terima ia disebut penjagal tak berperikemanusiaan oleh sekretaris negara yang dianggapnya sok tahu itu.
Sekretaris Li masih berusaha memprotes, “Mereka mungkin tidak berguna hanya di mata Anda, tetapi bagi pihak lain, mereka berguna bahkan jauh melebihi orang-orang lainnya…” Ia berpaling menghadap Kaisar Wen Xing, “Yang Mulia, bagaimana pendapat Anda?”
“Aku sependapat dengan Jenderal Wei,” jawab sang Kaisar muda tak acuh.
Sekretaris Li menundukkan kepala, dalam hati ia merutuk. Seharusnya ia sudah tahu jawaban beginilah yang bakal diterimanya. Ia semestinya menyadari, Kaisar junjungannya ini tidak akan punya hati nurani sebaik itu. Ia tidak akan menjunjung tinggi nyawa manusia lain kalau ia tidak membutuhkan sesuatu dari mereka. Ia sendiripun masih dibiarkan menyampaikan pendapat dengan bebas karena Kaisar menghargai kepandaiannya, kalau tidak, ia tidak yakin ia tetap dibiarkan hidup di dunia ini.
“Ohya Sekretaris Li, bagaimana perkembangan Panglima Chun?”
“Panglima melaporkan, berkat politik pecah belah Negara Ming telah masuk dalam jebakan kita. Hanya tinggal menunggu waktu negeri itu dapat kita kuasai.”
“Bagus sekali,” Kaisar Wen Xing, Han Ming Shi, tersenyum penuh kepuasan. “Berarti hanya tinggal Yeong-Shan, Qi dan Khanate saja yang belum berhasil kita taklukkan untuk saat ini. Hanya tinggal menunggu sebentar lagi sampai mereka semua jatuh ke tanganku, dan membuat Kekaisaran ini menguasai seluruh dunia.”
Negara Han boleh berbangga menyatakan bahwa negeri mereka dipenuhi oleh cerdik cendekia yang brilliant. Selain pandai, mereka juga sangat rajin, tekun, pula optimis serta berpikiran maju. Tak heran apabila Negara Han menjadi negara paling maju dan paling makmur di seluruh dunia. Negeri-negeri lain amat salut serta mengagumi Negara Han. Para pimpinan dunia sangat menghormati Kaisar penguasa Negeri Han, Kaisar Jing Xing. Sang Kaisar selain memiliki kearifan tertinggi di seluruh negeri, pula memiliki kebijaksanaan yang sempurna dalam mengatur negerinya dan menjalin hubungan dengaran negeri lain. Dan, yang paling disegani masyarakat dari Kaisar Jing Xing adalah, ia tidak mengambil selir, hanya mengambil satu wanita sebagai istrinya. Permaisuri Mei. Dari pernikahannya, Kaisar Jing Xing dikaruniai dua orang putera dan tiga orang puteri. Putera Mahkota Han Hao Shi, Puteri Pertama Han Mei Shi, Puteri Kedua Han Hua Shi, Pangeran Kedua Han Ming
Keesokan harinya, seluruh pembesar istana duduk menanti dengan tegang. Mereka menatap bergairah kedua pangeran di pusat ruangan yang kini tengah duduk anggun sembari menanti waktu pertandingan dimulai. Setelah segalanya siap, Kaisar Jing Xing berdiri, serta-merta berseru. “Pertandingan kita mulai.” Hao Shi dan Ming Shi segera mengangkat pena masing-masing dan menuliskan kata demi kata di helaian kertas yang telah tersaji di depan mereka. Dengan sepenuh hati mereka menulis, berusaha mengeluarkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Kaisar Jing Xing mengamati kedua puteranya yang begitu tekun melaksanakan amanatnya, hatinya tersenyum penuh kepuasan, sekaligus kegundahan. Waktu berlalu seakan sekejap, dan tibalah waktunya mengumpulkan. Kedua pangeran meletakkan pena masing-masing dengan tenang seraya menyerahkan kertas jawaban esai kepada seorang kasim, yang meletakkannya di atas ba
“Sayang, aku sangat bangga padamu. Kaisar Han Wen Xing, terpandai sekaligus paling menawan dari seluruh kaisar generasi negeri kita.” Ming Shi tidak menoleh sama sekali kepada si pemberi pujian. Dari dulu ia memang tidak suka wanita itu memanggilnya “Sayang” dan mencumbuinya. Harga dirinya amat ternodai karena ia harus bercinta dengan orang terlarang, padahal dia sendiri masih belum menikah. Itu semua ia lakukan demi ambisi terbesarnya, karena wanita yang tergila-gila padanya itu adalah isteri Putera Mahkota Han Hao Shi, kakaknya sekaligus rival terbesarnya. Mei Qing, wanita yang dimaksud, adalah seorang wanita yang amat haus kasih sayang. Ia amat kecewa dengan perlakuan suaminya yang sama sekali tidak mempedulikannya dan lebih sering menghabiskan waktu dengan melamun dan menulis syair. Lalu, ia mendapatkan Ming Shi, nampak berkharisma, menawan, pula rupawan. Dan saat ia mencoba-coba merayu Ming Shi, pemuda
Tetapi ironisnya, rakyat Ming tidak menyadari negeri mereka telah berada di ambang kehancuran. Mereka masih tertawa bahagia, para anak muda bahkan menenggelamkan diri ke dalam pesta-pesta yang memabukkan. Di Paviliun Miao Yuan, pesta diadakan siang dan malam. Siang untuk anak-anak muda yang belum bekerja ataupun pengangguran, malam untuk para tua-tua keladi yang masih haus akan hiburan. Salah satu pelanggan setia Paviliun Miao Yuan adalah seorang pemuda awal dua puluhan bernama Sun He Xian. Ia datang boleh dibilang setiap hari. Sun He Xian adalah seorang pemuda yang periang, bebas dan selalu seenaknya sendiri. Ia pandai menikmati waktunya untuk bersenang-senang. Biasanya yang ia kerjakan di Miao Yuan adalah bernyanyi, menari, bersyair, pula membicarakan banyak tema yang suka diangkat orang dalam obrolan. Banyak orang salut akan wawasan dan cara berpikirnya yang dianggap dalam namun menginspirasi. Yang terakhir ini sangat aneh
He Xian memang teramat sering melewati dan memandang Istana Chang Le, namun sama sekali tidak pernah terbayang olehnya ia akan mendapat kesempatan memasukinya. Ia memang selalu penasaran dengan bagian dalamnya. Betapa tercegangnya ia saat menyaksikan kemegahan istana bagian dalam masih melebihi luarnya. Dan sebentar lagi, ia akan menemui sang pemilik istana megah ini. Sang Kaisar Negara Ming. Seorang kasim datang menghampiri. "Tuan-tuan, silakan. Hamba akan mengantar ke Aula Utama." Perdana Menteri menepuk pundak He Xian. "Tenang sajalah, jangan gugup begitu." "Aku tidak gugup kok!" He Xian cepat-cepat menukas. Padahal hatinya berkata sebaliknya. Mereka mengikuti si kasim penunjuk jalan membawa ke aula di mana para pembesar lainnya telah berada. Tiba di sana, He Xian lebih keder lagi. Bukan karena ia mendapatkan para pembesar kerajaan - yang padahal selama ini
Mereka telah sampai ke taman Istana Belakang yang sangat luas. Jenderal Wei membacakan titah Kaisar Han yang menentukan akan dibawa ke mana mereka, dan nasib apa yang akan menimpa mereka selanjutnya. Begitu dekrit dibacakan sampai Puteri Yan Xu, Ibu Suri kontan menjerit. "Puteri Ming Yan Xu, akan diangkat menjadi selir Perdana Menteri Kang." "TIDAK!!!" Ibu Suri meraung histeris, ia kini sibuk menyembah-nyembah. "Ampunilah Puteriku, dia baru lima belas tahun! Kalian boleh membunuhku, tapi jangan ambil puteriku!..." Jenderal Wei tidak mempedulikannya, "Mengenai Perdana Menteri Zhan..." Ibu Suri kini merangkak sampai tepat di bawah lutut Jenderal Wei, "Tuan Kami mohon kemurahan hati kalian, kami mohon..." "Diam kau, nenek tua! Bukan kau yang berkuasa lagi di sini!" Jenderal Wei menendang Ibu Suri, menyebabkan ia
"Apa katamu?! Bisa-bisanya kalian malah membunuhnya!" Ming Shi tampak amat murka, Jenderal Wei yang ketakutan cepat-cepat berlutut meminta pengampunan, "Beribu maaf saya haturkan atas kesalahan saya, Yang Mulia, namun ini bukanlah hal yang kami sengajai. Semua ini terjadi karena kekacauan yang ditimbulkan seorang pemuda..." "Lantas, apa hanya karena seorang pemuda kalian jadi boleh melanggar perintahku seenaknya?! Kau tahu, bagitu inginnya aku bertemu dengan Perdana Menteri Zhan. Ia adalah Perdana Menteri legendaris, dengan adanya dia di sini akan sangat membantu kemajuan negeri kita!" "Saya sangat menyesal..." "Menyesal saja tidak cukup untuk menebus kesalahanmu. Satu-satunya yang bisa menebusnya hanyalah dengan nyawamu!" "Saya..." Tapi belum sempat Jenderal Wei melanjutkan kalimatnya, Sekretaris Li tiba-tiba maju dan berlut
"Yang Mulia, kami telah membawa Sun He Xian kemari." He Xian kini telah sampai ke ruang pribadi di mana Kaisar Han berada. Dengan pandang penuh kebencian ia mengarahkan tatapannya ke sang Kaisar. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan sang Kaisar sangat bertolak belakang dengan bayangannya tentang kaisar kejam dan mengerikan yang sangar; pemuda ini sangat tampan rupawan, mimik wajahnya pula amat ramah, dan saat ia membuka mulut berbicara, suaranya terdengar sangat lembut. "Selamat datang di istana kami, Tuan Sun, dan mohon maafkan kami bila Anda diperlakukan sangat buruk. Terjadi kesalahpahaman karena Anda dulunya adalah pejabat negeri Ming. Namun Anda boleh yakin kami tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." He Xian menangkap sekilas kilatan aneh dalam bola mata sang Kaisar. "Kaisar Han, saya adalah pejabat musuh. Membiarkan saya hidup hanya akan me