Share

Jendela kamar

"Jadi kamu beneran mau resign?"

Tiara merasa ia akan kehilangan teman yang baru saja ia dapat beberapa minggu terakhir ini. Bukan apa- apa, tapi menjadi pegawai termuda di cafe ini bukan hal yang mudah, dan semenjak Violet datang Tiara setidaknya punya teman yang seumuran.

"Aku bakalan sering mampir kok, aku janji"

Ini adalah shift terakhirnya di cafe ini, ia harus membereskannya sebelum ketahuan Papanya bahwa ia pernah bekerja di Cafe tanpa sepengetahuannya. Ia juga telah bilang pada pemilik kosan bahwa dirinya tidak akan melanjutkan sewa untuk bulan depan.

Sebenarnya, Violet ingin bertahan lama dengan keputusannya dengan bekerja di cafe ini dan menetap di kosan. Tapi, ia tidak bisa menghadapi Papanya. Jadi ia memutuskan untuk menyerah untuk melakukan perlawanan.

"Violet, meja 25 memesan tiga latte. Bisa tolong antarkan?"

Violet dan Tiara bubar dari sesi pendek mengobrol nya dan segera kembali bekerja.

Hari ini cafe begitu ramai dan sesak oleh pelanggan. Violet dan Tiara sebagai waitress lumayan kewalahan karena pesanan yang berseliweran.

"Ya ampun, s- saya minta maaf Pak, s- saya tidak sengaja" karena terlalu lelah dan kehilangan fokus, Violet tak sengaja menumpahkan cangkir latte yang ia bawa ke baju pelanggan.

"Ohh astaga, ceroboh sekali pelayan ini. Kamu gak punya mata?" Pelanggan yang memakai setelan jas itu memaki Violet dengan kasar. Ia hampir memukul Violet dengan tangannya sebelum tangan lain menangkis pukulan itu hingga pria itu terpental ke belakang kursinya.

"Apa- apaan ini? Dia memang pantas mendapatkannya, pelayan ini--"

"DIA PUTRIKU!!" Violet berbalik ke samping melihat Papanya berdiri menjulang di atas pria yang hampir memukul dirinya.

"Papa--"

Semuanya kacau, Violet tidak tahu kenapa bisa Papanya berada di tempat kerjanya. Papanya sempat melihat sekilas ke wajah putrinya dan kemudian kembali berbalik ke pria yang memegang pergelangan tangannya yang terkilir, tak lepas dengan tontonan pelanggan lain.

"Pak Arka,." Pria itu lebih terkejut karena ia hampir di pukuli oleh rekan bisnisnya karena waitress ini yang ternyata adalah putrinya? Pria itu tampak bingung.

"Dengar baik- baik, aku menarik semua kata- kataku tentang kontrak kita. Dan jangan pernah berani menampakan muka mu lagi ke perusahaan ku." Telak Arka dan langsung menyeret tangan putrinya ke luar dari Cafe tersebut.

Semuanya riuh dan berisik, beberapa staff Cafe juga menghentikan Violet dan Papanya karena itu masih hitungan jam kerja Violet.

"Tunggu Pak, dia pegawai kami. Apa yang bapak lakukan menyalahi aturan. Dia sedang bekerja." tegur manager.

"Aku Papanya!! Kamu tidak dengar? Aku tidak mengizinkan dia bekerja"

Kemarahan Arka memuncak. Violet hanya membuka mulutnya tanpa bisa bersuara melihat Papanya memarahi semua orang yang ada di sana. Ia malu dan takut.

"Masuk" titah Arka pada putrinya.

Violet menggigil selama perjalanan, bukan karena ibu kota yang dingin tapi tentang wajah gelap Papanya yang selalu membuat bulu kuduknya berdiri.

Sejak kecil, Papanya selalu menyayanginya namun tetap tegas dalam segala hal. Dan toleransinya terhadap kesalahan sangat kecil, hingga Violet sering sekali di marahi jika dia nakal.

"Duduk"

Mereka sampai di ruang tamu, seperti sedang sidang pleno dirinya di hadapkan dengan wajah muram sang Papa yang minta penjelasan.

"Sejak kapan kamu kerja di Cafe itu?"

Mendengar kegaduhan di lantai bawah, Liona ke luar dan mendapati putrinya yang sedang berhadapan dengan suaminya.

"Vio, sayang ada apa?"

Ia turun dan memeluk putrinya yang terus menunduk di sofa ruang tamu dengan mata berair.

"Biarkan dia bicara" geram Arka.

Namun setelah hampir lima menit Violet tidak mengatakan apapun.

"Jawab Papa Violet, kenapa kamu kerja di Cafe itu? Apa uang yang Papa kasih tidak cukup?!" Violet tersentak di pelukan Mamanya dan menangis.

"Cukup Arka, jangan marahi dia. Aku tahu semuanya dari awal."

Kali ini Mamanya bersuara, walau ada sedikit nada keraguan di kerongkongan Mamanya saat berusaha menjelaskannya.

"Kamu tahu? Lalu beri tahu aku apa yang kamu tahu. Apa putriku yang penurut kini jadi remaja yang nakal dan pembangkang?"

Mamanya tidak setuju dengan kalimat yang di layangkan sang Papa, jadi dia mulai berani membela anaknya.

"Jangan terlalu keras pada putrimu Arka, Violet pergi bahkan hampir dua minggu saat kamu memarahinya terakhir kali. Dia bahkan tidak memberi tahu aku kemana dia pergi, kamu tidak tahu bagaimana khawatirnya aku saat aku tahu dia tidak membawa apapun dan pergi dari rumah. Dan aku takut kamu tahu hal ini dan kamu akan lebih marah padanya."

Semuanya ia muntahkan di sana, Arka terlihat dua kali lebih marah setelah mengetahui semuanya. Putrinya marah padanya dan berniat membangkangnya, tidur di luar rumah dan bahkan bekerja. Itu membuatnya kesal menjadi orang yang tidak tahu apa- apa.

"Apa itu benar Violet?"

Remaja itu tak berani menatap mata sang Papa, ia tahu ia tidak akan sanggup menanganinya.

"Masuk ke kamarmu sekarang dan tinggalkan HP kamu!!"

Arka mengarahkan telunjuknya ke sebelah utara di mana pintu kamar bertuliskan nama Violet tergantung di depannya.

"Sayang, jangan terlalu keras. Vio-" Mamanya tak bisa melanjutkan kalimat apapun karena Papanya segera menyela nya.

"Masuk, Violet" kali ini dengan suara yang lebih tegas dan dalam.

Violet mengusap kasar air matanya dan berlari ke arah kamar, ia juga menaruh ponselnya dengan terpaksa sesuai permintaan Papanya. Ia menenggelamkan dirinya di kasur empuknya sambil menarik selimut meliputi kepalanya dan menangis di sana.

Suara klik di pintu membuat Liona terlonjak dan mengangkat wajahnya yang tenggelam di bantal. Ia melangkah ke handle pintu yang tak bisa terbuka, seseorang menguncinya dari luar.

"Pa, buka pintunya. Kenapa Papa kurung Vio."

Tangan kecilnya masih berusaha memutar handle tapi tetap tak terbuka, ia menyerah dan tubuhnya meluncur ke lantai yang dingin.

"Papa udah gak sayang lagi sama Vio, Papa jahat"

Lelaki paruh baya mendengar semua yang di katakan putrinya di balik pintu, ia mengusap air matanya sekilas saat istrinya mendekat padanya.

"Arka, kenapa kamu mengunci kamar Vio. Ini keterlaluan"

Gerakan Liona yang hendak membuka kembali pintu itu di hadang Arka dengan kuat.

"Dia harus di beri pelajaran agar dia mengerti kesalahannya. Awas kalau kamu berani membukanya."

Liona tak bisa berbuat apapun dengan sikap tegas Arka yang menurutnya terlalu kelewatan kali ini. Ia kembali ke kamarnya dalam diam sambil berpikir bagaimana keadaan putrinya di dalam sana.

Violet berguling dari sisi kanan ke sisi kirinya. Ranjangnya yang besar membuatnya dapat bergerak bebas sambil menanggung kegelisahannya. Dia sudah berhenti menangis dan mulai bosan tanpa ponselnya.

Tok.. tok..

Bulu kuduknya merinding saat suara ketukan di jendela terdengar nyaring di telinganya. Ia menelan ludah dan mulai waspada. Mungkin itu maling atau lebih buruk lagi hantu.

"Buka, ini aku"

Suara bisikan di luar membuat ia penasaran dan mencoba membuka tirai jendelanya dan mulutnya bergerak membentuk hurup O besar yang kemudian ia segara tutupi dengan tangannya sendiri.

"K-kenapa kamu di sini? Kamu--"

Namun seseorang di luar kembali memberi isyarat untuk ia membuka jendelanya agar ia bisa masuk.

"Huffff, ya ampun. Akhirnya aku bisa sampai"

Elgard melangkah masuk lewat jendela memasuki kamar Violet yang masih tak percaya.

"Kamu manjat rumah aku? Dengan serius El, itu tinggi." Violet berdiri di samping Elgard yang sekarang tengah menjamah kasurnya dan berbaring di sana.

"Sayang, tunggu aku bernafas dulu. Ini lumayan melelahkan" bibir Elgard terbuka, berusaha menstabilkan nafasnya.

Violet duduk di sebelahnya dengan sabar sambil ketakutan, bagaimana kalau Papa dan Mamanya tahu.

"Kamu lebih baik gak di sini El, Mama sama Pa--"

"Aku tahu semuanya." sanggah Elgard

"Aku tahu Papa kamu marah kan? pegawai Cafe itu memberitahu aku semuanya"

Elgard pelan- pelan bangkit dan ikut duduk di samping pacarnya.

Ada jejak air mata yang tertangkap di penglihatan Elgard.

"Kenapa mata kamu sembab? Kamu pasti banyak menangis"

Violet memalingkan wajah ke arah lain, takut Elgard melihat wajahnya yang jelek setelah menangis terlalu lama.

"Jadi ini alasan kamu melarang ku datang ke rumah? Karena Papa kamu?"

Violet diam dan mengiyakan kalimat itu dalam hatinya. Ia terus menunduk sampai hidung Elgard telah menyentuh hidungnya dan membuatnya menatap ke mata elang di depannya.

"Lain kali tolong lebih terbuka hmm? Aku pacar kamu, aku harus tahu kamu lebih banyak."

Manik itu bersinar menghipnotis, saat bibirnya bergerak itu bahkan lebih menggoda. Berada sedekat ini dengan pacarnya membuat Elgard ingin lebih banyak mengeksplorasi sentuhannya. Ia menarik tubuh Liona yang kaku hingga menempel ke dadanya, dan tenggelam ke lehernya yang berbau melon yang segar dari sabun mandi.

Violet kewalahan, sarafnya tiba- tiba melemah setiap ia menerima sentuhan Elgard. Ciuman di bibirnya terasa begitu pas dan terasa nyaman.

"Akkhh..hmm sayang, julurin lidah kamu"

Seperti dalam pengaruh sihir, Violet menjulurkan lidahnya yang segera di ambil Elgard dalam mulutnya.

Elgard melepas pagutannya hanya untuk mencicipi leher pacarnya yang mulus terawat, memberi hisapan dan meninggalkan warna yang pekat.

"El-- j-jangan di sana."

Elgard tak mendengarkan protesnya dan terus turun ke tulang selangka Violet menyeret lidahnya dalam setiap sentuhannya.

"Hnghh.. Mama dan Papa.. hmmpp.."

Elgard membungkam mulut Violet dengan bibirnya lagi, sampai suara klik di pintu terdengar dan handle perlahan di putar dari arah luar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status