"Intan, kenalkan, ini ibu saya, nama beliau Rani Kusumadinata," ungkap Edwin.
Intan menyunggingkan bibirnya lebar-lebar, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, lalu berkata," Senang bertemu dengan Anda."
Rani, sang nyonya rumah itu melengos begitu saja sambil berkata," Papa kamu masih sakit, kedua adik kamu sore nanti mau pulang, mereka gak jadi ke Aussie, terus kamu malah bawa perempuan asing."
Edwin menghela nafas dalam-dalam.
"Kayaknya dia gak suka aku," ucap Intan.
"Ssssttt! Saya cuma mau kenalin kamu ke Papa Erik, sini ikut saya," ajak Edwin.
Pria itu membawanya ke lantai dua, menelusuri koridor ruangan yang megah hingga akhirnya tiba di sebuah balkon.
Ada dua orang pelayan wanita muda yang sedang menjaga seorang pria lumpuh, duduk di kursi roda dengan leher sedikit menengadah ke atas.
"Papa," sapa Edwin. "Saya mau mengenalkan seseorang buat Papa, ini dia."
Edwin meraih tangan Intan. Kemudian, mereka berdua bertekuk lutut di hadapan orang tua itu.
"Selamat siang," ucap Intan.
"Papa lumpuh, stroke dan alzheimer," ungkap Edwin. "Tapi, kami masih sangat menyayangi beliau."
Edwin menundukkan kepala di depan orang tuanya. Tiba-tiba saja berurai air mata, terisak-isak lalu menggenggam tangan sang ayah dan berkata," Papa, ini calon istriku, saya cuma mau minta restu. Mohon, restui kami berdua."
"Ternyata ayahmu lumpuh dan bisu, ya? Aku kira beliau orang yang dingin," gumam Intan.
Intan mengusap bahu Edwin ketika masih terisak-isak. Seraya berkata," Sudah, gak usah nangis, semua aku serahkan sama yang kuasa. Kita berjodoh atau enggak ya tergantung keputusan orang tua."
Tiba-tiba saja ayah kandung Edwin berkata," Pa-pa, res-tu-i--"
Perlahan-lahan tangan yang sudah keriput itu bergerak lalu menggenggam tangan Edwin.
Seketika tangis Edwin membuncah di hadapan pria yang telah menghadirkannya ke dunia ini.
Selama enam bulan Edwin dan Intan mengenal satu sama lain. Akhirnya, mereka melangsungkan pernikahan di sebuah hotel mewah. Wajah Edwin tampak sumringah dan tak henti-hentinya tertawa ketika para tamu memberikan ucapan selamat.
Tapi, tidak dengan Intan. Dia hanya menyunggingkan senyuman tipis-tipis di depan para tamu.
"Jujur saja, hatiku masih berat. Kalau bukan karena hutang dan cengkraman tante, mungkin aku tolak pernikahan ini," gumam Intan.
Setelah pernikahan itu terjadi, Edwin lantas memboyong Intan ke rumah mewahnya. Yang menyambut hanya para pelayan dan seorang lelaki muda.
"Yeaaaayyy, selamat datang, kakak ipar, kenalin aku Erwin, adiknya Mas Edwin," ucap dia.
Kemudian, muncul seorang gadis cantik berambut gelombang dan hitam. Dia berkata," Aku Elsa, si bungsu di rumah ini. Mudah-mudahan kamu betah ya hidup sama kakakku yang usil ini."
"Makasih buat sambutannya, ya. Mudah-mudahan kalian gak keberatan sama kehadiran aku di sini," ucap Intan. Seraya menggenggam tangan Edwin.
Kemudian, Edwin menepuk-nepuk tangan sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, dua orang pelayan wanita menyambangi sambil menundukkan kepala.
"Antar istri saya ke kamar, ganti semua sprei, perlengkapan mandi, rapikan semua baju di lemari dan jangan lupa semprotkan parfum aroma teh hijau," pinta Edwin.
"Tapi, masa aku sendirian ke kamar? Harusnya sama kamu, Mas," protes Intan.
"Iya, Sayang. Saya nyusul ya, biasa ada diskusi penting sama orang tua dan adik-adik yang usil ini," ucap Edwin, seraya mencium kening istrinya terlebih dahulu.
Lalu, dua pelayan itu menggandeng tangan Intan untuk bertandang ke kamar pengantin. Baru saja pintu kamar dibuka, tercium aroma segar teh hijau. Intan sampai terbelalak melihat kamar baru yang mewah.
"Ranjangnya gede banget," gumamnya. Dia menekan-nekan kasur hingga merebahkan badannya dan berkata. "Empuk banget."
"Permisi, saya mau gantikan sprei dulu," pinta pelayan itu.
"Pasti mahal ya? Spreinya mengkilat, kayaknya enak dipake tidur," ucap Intan. "Oh iya, aku mau buka lemari dulu."
Tanpa pikir panjang, Intan membuka lemari yang berukuran besar. Spontan, beberapa lembar pakaian menggeser dan menimpa badannya.
Bruk!
"Nyonya, hati-hati, biar kami saja yang rapikan bajunya, tugas nyonya tinggal menunggu atau bisa menjelajahi rumah ini," ucap salah satu pelayan. "Tapi, lingerie mana yang mau dipakai malam ini? Buat malam pertama sama Pak Edwin."
Terlihat, sebuah lingerie merah berbentuk gaun dan baju dalamnya hanya pakaian dalamnya saja.
"Yang merah saja," pinta Intan. "Tapi, ini kamar Pak Edwin, kan? Kenapa ada pakaian wanita di lemari dia?"
"Se--sebelum beliau menikahi nyonya, dia sudah menyiapkan semuanya," ungkap pelayan itu.
Hari sudah berubah menjadi gelap dan sepi, Intan berhias sedemikian rupa. Rambutnya tergerai, badannya sudah dibalut lingerie merah, menyemprotkan parfum dan duduk selonjoran di atas ranjang. Dia menunggu kedatangan suaminya dan siap menyambut.
Duk! Duk!
Suara ketukan pintu terdengar nyaring.
"Mas, itu kamu? Ini baru jam sembilan malam, masuk saja pintunya gak dikunci," ucap Intan.
Duk! Duk! Duk!
Intan naik pitam. Seraya membuka pintunya. Tapi, di luar kamar tidak ada siapapun.
"Siapa yang barusan ngetuk pintu? Masa ada hantu, gak mungkin," gumamnya.
Intan kembali menutup pintu. Dia lantas duduk di ranjangnya.
Duk! Duk!
"Siapa sih!"
Intan bergegas membuka pintunya lagi. Tapi, tapi tidak ada siapapun.
"Siapa sih yang ngetuk pintu!" Teriak Intan.
"Sayang," sahut Edwin di sebelah kanan.
"Aarrghhhh! Mas, kirain siapa. Dari tadi aku nunggu kamu. Aku kesepian di sini," keluh Intan. "Dari mana saja?"
Edwin memeluknya dengan erat. Ia masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.
"Kamu sudah makan?"
"Enggak, aku kekenyangan tadi siang, gak ada kamu aku gak nafsu makan, Mas."
Kemudian, Intan menggelar selimut, dia juga membuka area tubuhnya yang memancing hasrat agar suaminya semakin tergoda.
Ketika itu, Intan berinsiatif menggoda Edwin yang sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan smartphone miliknya.
"Mas, aku sudah siap jadi milik kamu seutuhnya," ucap Intan.
Edwin terbelalak melihat badan indah dan mulus istrinya. Seketika deru nafasnya meningkat, tapi dia membuang tatapannya dari Intan.
"Mas." Intan menyentuh tangan Edwin.
"Tunggu, Sayang. Begini, sebenarnya saya belum diskusi soal hal sensitif. Maaf, saya harus katakan ini," ucap Edwin.
Intan terdiam sejenak.
"Ini malam pertama kita," ucapnya.
Edwin membelakangi Intan. Sambil menundukkan kepala, ia berkata," Maaf, saya belum bisa melakukannya malam ini. Tapi, saya berharap bisa melakukannya nanti kalau--"
"Ya sudah kalau gak siap," potong Intan. "Aku mau tidur saja. Makasih sudah mau menikahi aku. Tapi, barusan di luar kamar ada yang ngetuk pintu, itu siapa ya?"
"Hah! Dia ada?" Edwin terkejut.
"Itu kamu ya, Mas? Atau adik kamu?"
"Sebenarnya, kalau ada yang ngetuk pintu jangan dulu dibuka ya, apalagi kalau tengah malam. Ya sudah, kamu tidur duluan ya, saya mau ke toilet dulu."
Intan menyelimuti badannya lebih dulu. Ada udara dingin menerpa tubuhnya hingga bulu remangnya merinding.
"Malam pertama kenapa bisa jadi begini? Aku ragu sama ketulusan dan cinta kamu, Mas Edwin. Apa tujuannya kamu nikahi aku?"
Intan beranjak lagi dari tidurnya, ia meraba-raba tenggorokan dan berkata," Mau tidur malah haus."Pintu toilet terbuka, tampaklah Edwin yang keluar dalam kondisi tanpa busana. Hanya pakaian dalam saja yang dia kenakan di badan kekarnya."Mas, mau ganti baju?""Iya, kamu belum tidur juga?""Aku haus, mau ke dapur dulu."Intan lanjut menyambangi dapur ke lantai utama. Baru saja kakinya menuruni tangga, ia melihat sang mertua sedang duduk di sofa yang ruang tamu."Mama, belum tidur?" Tanya Intan menghampirinya."Saya gak butuh tidur. Oh iya, kamu betah jadi istri Edwin? Kalau gak betah ya tinggal bilang," ucap Rani. "Tapi, hati-hati lo, kalau bisa jangan buka pintu tengah malam ya? Suka ada apa-apanya di sini.""Baru beberapa jam jadi istri Mas Edwin, belum kerasa indahnya," ucap Intan. Rani, sang mertua itu melengos dan duduk kembali di sofa.Sementara itu, Intan lanjut ke dapur. Dia lantas meneguk segelas air hangat dan membawa sisanya ke dalam gelas khusus.Bruk!Sebuah wadah terjat
Intan melarikan diri keluar rumah dan Edwin menyusulnya. "Intan, tunggu!" Teriak Edwin. Sekuat tenaga dia meraih tangan istrinya. "Jelaskan semuanya, Mas! Kalian punya tujuan apa? Aku mau terlibat apa!" Gerutu Intan. Edwin memeluk Intan dan berusaha membuatnya tenang. "Saya bisa jelaskan semuanya sama kamu. Tapi, saya benar-benar minta maaf, saya sayang sama kamu dan saya gak mau kamu jadi korban berikutnya. Ini soal tradisi keluarga, tapi saya sudah muak, benar-benar muak!""Tradisi apa? Jujur saja, kita sudah syah jadi suami istri, gak perlu ada yang ditutupi lagi," protes Intan. Karena Edwin tak mau banyak menjelaskan, Intan pun melengos tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Begitu masuk rumah, dia berpapasan dengan Rani, mertuanya."Nitip Papa Erik, ya? Mama mau pesta dulu sama teman arisan," pinta Rani. Intan tak sudi menyahut. Dia lantas ke kamarnya dan langsung membuka lemari. Mengobrak-abrik semua pakaian hingga berjatuhan."Pelayan udah kerja keras buat beresin lemari kamu,
Nala dan Amel terkejut sampai menghentikan perkejaannya. "Ada apa? Butuh bantuan?" Tanya Nala. "Nyonya pasti lelah ya, wajar sih kan pengantin baru.""Barusan ada dia, pelayan yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu, dia di sini," ucap Intan. "Kok, kaki aku lemes gemetar begini, ya? Apa saking paniknya ketemu dia?""Itu hantu," tukas Amel."Di sini gak ada hantu!" Tegas Nala. "Sssstttt! Jangan nakutin! Dan ART yang dikuncir itu sebenarnya gak ada. Itu cuma halusinasi Nyonya Intan saja."Kemudian, Edwin muncul. Matanya terbelalak mendapati masakan yang tengah diproses di atas wajan. Meskipun masih proses dimasak namun aroma dan tampilannya sungguh menggoda. "Istriku pandai masak juga," ucap Edwin.Tak berselang lama, muncul Erwin dan Elsa. Mereka menyambangi dapur dalam kondisi masih mengenakan pakaian tidur. "Pagi, tumben pengantin baru udah eksis di dapur?" Tanya Erwin. Lalu, matanya melirik Intan. "Eh, kok rambutnya gak basah? Harusnya basah tuh!""Apaan sih! Jail banget lo j
"Makhluk apa? Jadi penasaran," sahut Elsa. Nenek Diah duduk terlebih dahulu di kursi dekat pintu. Tatapan matanya memandang fokus ke arah Edwin. "Sebenarnya makhluk itu harus diusir, jangan sampai ada di rumah ini. Kalian mesti nyari orang pintar buat bantuin, nenek gak mau kalian jadi korban. Sudah lama nenek menyimpan rahasia ini dari kalian," terangnya."Rahasia?" Edwin mengerutkan keningnya lalu mendekati Nenek Diah. Tiba-tiba saja wanita tua itu membuang wajah dari tatapan Edwin. "Rahasia apa? Soal tumbal pengantin itu, ya?" Tanya Edwin."Bukan! Bukan! Enggak ada tumbal pengantin di keluarga ini! Kusumadinata itu nama kakek kalian, kami terhormat dan sama sekali gak pernah main licik!" Gerutunya. Edwin, Elsa, dan Erwin saling bertatapan. Kemudian, mereka memeluk neneknya sambil menyeka air mata di pipi yang sudah bergelambir itu. "Saya mau Intan selamat. Tapi, bilang sama saya, apa dulu Papa sempat menikah dengan wanita pertama? Maksud saya apa Papa punya istri pertama yang
"Aarrrghhhh!"Suara teriakan itu terdengar menggema sampai seisi rumah terbangun. Edwin beranjak lebih dulu. Tanpa pikir panjang dia berlari menuju kamar Nenek Diah. "Nenek, buka pintunya!" Teriak Edwin sambil menggedor pintu."Mas, barusan ada suara menjerit ya?" Tanya Elsa yang baru saja muncul."Mas, ada apa malam-malam begini, berisik tau!" Protes Erwin."Bantuin buka pintu ini, yang teriak barusan nenek kita," sahutnya. "Ayo, buka, bantuin!""Ada apa ini? Malam begini bikin keributan," protes Rani. "Mama, barusan nenek teriak, kita takut kenapa-kenapa," sahut Elsa. "Kita mau bongkar pintu kamarnya."Rani mengambil kunci serep dari kamarnya, dia berikan pada Edwin. Setelah berhasil membuka pintu, pemandangan mengerikan pun tampak. Sesepuh yang mereka hormati sudah terkapar mengenaskan, mulutnya mengeluarkan darah bercampur belatung dan matanya melotot, bagian hitamnya melirik ke atas."Nenek, kenapa begini?" Gumam Edwin. Perlahan-lahan dia mendekati neneknya yang sudah tak berg
Kemudian Elsa terisak-isak, menutup wajahnya sambil meringis hingga air matanya mengalir melakui celah-celah jarinya."Aku belum sanggup kehilangan nenek," ucapnya lirih. "Kenapa dia pergi secepat itu! Padahal waktu tiba di rumah dia baik-baik saja, kan? Dia sehat, Mas! Nenek kita itu sehat!"Intan memeluk adik iparnya untuk sekedar menenangkan hatinya. "Mas, punya firasat buruk mengenai keluarga ini? Kata dokter setelah nenek meninggal katanya mengeluarkan belatung kecil dari mulutnya? Kalau menurut mitos di Indonesia kan itu santet kiriman orang. Belum lagi kematian Rumi dulu, sekarang kamu udah nikah lagi, bisa juga Intan jadi korban berikutnya, atau gue dan Elsa," terang Erwin. "Sudah cukup! Kita lagi berkabung!" Gertak Edwin. "Gak usah bahas santet segala.""Apa gara-gara setan itu! Mestinya kita usir, kita nyari orang pintar buat usir dia," ucap Elsa. Erwin menatap adiknya dengan pandangan sayu, sambil mengerutkan keningnya ia berkata," Kamu udah pernah lihat dia, ya?""Kan k
Duk! Duk!Suara hentakan terdengar nyaring, bunyi dentumnya membuat mereka tercekat."Itu dari kamar nenek," ucap Edwin. Mereka bergegas menyambangi kamar bekas neneknya yang kini sudah kosong. Sengaja, Edwin membuka pintu lebar-lebar. Dan ternyata kondisi di dalam sudah berantakan. Benda hiasan berupa asbak kayu dan lantai sudah berlumur debu."Siapa pelakunya?" Tanya Intan. "Kamar ini kosong. Kayak udah diterjang badai.""Lihat itu!" Seru Elsa sambil menunjuk ke atap.Atap kamar sudah basah, membentuk lingkaran dan berwarna coklat tua. Tampak retak-retak dan hampir roboh."Bau apa ini, bau banget," keluh Intan sambil menutup hidungnya.Lambat laun noda di atap yang berbentuk lingkaran itu berubah semakin basah dan berwarna hitam. Lalu, Edwin bergegas mengambil sebuah sapu. Dia mendobrak atap itu melalui gagangnya sampai atap itu hancur.Tiba-tiba saja sesuatu yang menjijikkan terjatuh setelah atap itu bolong dan rusak."Ya ampun! Kenapa ada yang beginian!" Elsa terkejut.Sesuatu y
Bruk!Dentuman kembali terdengar nyaring sampai mengejutkan mereka. Dan bunyi tersebut terus menerus hingga hentakkan bunyinya semakin cepat."Dari kamar nenek," gumam Intan.Mereka berlari menyambangi kamar Nenek Diah. Begitu pintu terbuka, muncul puluhan ekor kumbang hitam bertebaran ke seluruh ruangan. "Mas, ada bau lagi," ucap Elsa.Edwin bergegas masuk kamar lagi, ternyata atap langit-langit kamar itu sudah roboh sampai kabel listrik menjuntai dan memercikkan api. Mereka terbelalak karena menyaksikan gumpalan seperti darah beku yang dikerumuni belatung."Apa lagi itu?" Tanya Erwin. "Sialan, siapa yang nyimpen bangke di rumah gue!""Iya, siapa dalangnya dan siapa wayangnya? Siapa yang nyimpen benda itu di sini? Pastinya salah satu orang di rumah ini," gumam Edwin. "Hati-hati buat kalian."Kemudian, Erwin mengambil pemantik api. Dia membakar benda berupa tanah yang dikerumuni belatung, dan berkata," Sekalian atapnya kita bakar aja!""Serius dong, Er! Rumah kita bisa kebakaran!" S