Kami sampai di sebuah tepi pantai yang rame sekali pengunjung. Kebanyakan pengunjung duduk santai di sebuah cafe kecil dengan desain khas anak muda. Lampu berkelap-kelip, menjalar di dinding kaca kafe juga lampu laser yang temaram. Menambah kesan anak muda sekali.
Tamu-tamu di kafe ini kebanyakan para anak muda yang keluar di waktu malam, menikmati suasana pantai sambil mengobrol ringan di kafe. Bangunan dinding kafe yang terbuat dari kaca transparan, membuat para pengunjung bisa menikmati pemandangan air laut yang ditimpa cahaya rembulan. Mereka bisa langsung melihat menikmati pemandangan itu dikarenakan dinding kafe yang terbuat dari dinding kaca transparan."Ayo, Tania. Itu bosku."Reva langsung menarik tanganku menuju ke pria bertampang klimis. Diperkirakan umurnya sekitar 35 tahun."Bos, ini orang yang saya maksud. Pasti Bos bakalan suka, deh, sama suaranya," ucap Reva yang membuatku mengernyitkan alis. Namun, aku belum berani untuk membuAku mundur beberapa langkah, melihat mata Mamah yang tiba-tiba terbuka. Dia melirik ke arahku serta terbit seringai di bibirnya. Wajah Mamah terlihat sangat pucat, bahkan hampir kehijau-hijauan dengan urat di sekitar rahang. "Ma-mah ...." Napasku tercekat di tenggorokan. Aku menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa membantu. Mamah cekikikan nyaring, sedangkan tubuhnya perlahan melayang. Segera aku menghampirinya, melawan rasa takut dan menahan tubuhnya agar tidak terlalu tinggi melayang. "Hihihihihi ...!" Suara Mamah makin melengking. "Keluar dari tubuh mamahku, Alina! Keluar! Jangan janggu dia!" teriakku memohon. "Kalau kamu ingin menyiksa, targetkan saja aku. Jangan Mamah!" ucapku kesulitan menahan tubuh Mamah yang terus melayang ke udara. Bahkan, aku harus berjinjit sekarang sambil terus menahan tubuh Mamah. Dalam kekalutan, aku melepas tubuh Mamah dan memilih memencet tombol nurse call yang ada di dekat ranjang
Aku merasakan seseorang datang mendekat dengan diri ini. Memepet tubuhku dari belakang. Aku membeku ketika dia mendengkus kasar tepat di tengkukku. "Tania ... ke mana saja kamu beberapa hari ini? Aku merindukan dirimu," ucapnya berat tepat di telinga. Sontak saja sekujur tubuhku meremang. "Menjauh!" Aku berbalik dan mengibaskan tangan ke arahnya. Dia menjauh beberapa langkah dengan kekehan yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, aku berusaha cepat menyalakan senter ponsel. Lantas, menyoroti sosok ber-hoodie hitam itu. Kupluk hitam besar masih menutupi wajah si pelaku. Namun, mataku melebar sempurna kala melihat kalung giok berwarna biru menyembul keluar dari hoodie hitam itu. Lututku gemetar, napas ini sesak, air mataku luruh begitu saja mendapati kenyataan di depan mata. "Fa-Fadli?" ucapku terbata. "Ya ... ini aku, Sayang." Sosok ber-hoodie hitam itu mendekat seraya membuka kupluk hitam yang menutupi ke
Baik aku maupun Polisi Joshi sama-sama terhenyak ketika mendengar suara dari arah jam tiga. Polisi Joshi melepas dekapannya padaku dan menoleh ke sumber suara, begitu pun juga denganku. Berdiri seseorang di ambang pintu kamar sana dengan tatapan tajam juga jijik terhadap kami. Di belakang orang tersebut, terdapat beberapa warga lainnya. Mereka sontak menghakimi kami sedang berbuat hal yang tidak-tidak. "Ternyata apa yang orang-orang bilang tentang kamu itu benar, yah, Tania!" ucap Pak Kasim marah. "Nah, 'kan, apa yang saya bilang kalau Tania itu bukan cewek baik-baik. Dia itu kegatelan, tampangnya aja yang sok polos, sok suci, tapi kelakukan murahan!" timpal Bu Astuti yang menerobos masuk. Menatap kami dengan jijik. Entah kenapa mereka tiba-tiba masuk ke dalam rumah? Ke mana mereka di saat aku berteriak meminta tolong tadi? Kenapa mereka menerobos masuk setelah Fadli keluar dan meninggalkanku dengan Polisi Joshi dalam ketakutan. "Ibumu lagi berjuang di antara hidup dan mati di rum
Mobil jeep Polisi Joshi melaju kencang menuju ke perumahannya dekat pantai. Baik aku maupun dirinya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun pasca akad tadi. Walaupun kami sudah dinikahkan, tetapi para warga masih mengusik dan tidak mau membiarkan diri ini tinggal di rumahku lagi. Di samping itu, aku juga punya trauma sendiri dengan rumah itu sekarang. Takut hantu Alina atau sosok ber-hoodie Fadli tiba-tiba datang mengincar nyawaku. Apa yang terjadi pada malam ini, benar-benar mengguncang jiwaku. Aku masih tetap dengan tatapan kosong. Air mata belum berhenti meluncur satu per satu, juga sesenggukan lirih masih aku keluarkan. Sekeras apa pun aku mencoba menghentikan tangis, namun air mata ini tetap menerobos keluar. Berharap bisa membasuh luka, membasuh fitnah, membasuh memori ketakutan. "Ayo, turun! Mau sampai kapan kamu duduk di sana terus?"Suara Polisi Joshi membuyarkan lamunanku. Pandangan ini menoleh ke arahnya. Kami sudah sampai di de
Baik aku maupun Polisi Joshi, sontak sama-sama membalikan badan. Jantungku langsung berdegup kencang, sedangkan pipi ini menghangat. Bukan, bukan hanya saja menghangat, tetapi panas. Dadaku juga terasa panas. "Kurang ajar! Apa kau tidak malu masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu?!" ucapku kesal sambil melirik sekilas ke belakang. Terlihat Polisi Joshi hendak menoleh juga ke arahku. "Jangan mengintip!" bentakku tegas memperingati. "Harusnya kamu bilang terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar seseorang!" Aku mulai mengoceh kesal. "Maaf, maaf, saya belum terbiasa. Lupa kalau kamar ini sekarang ditempati sama kamu." Polisi Joshi menjelaskan secara cepat. "Saya kemari hanya ingin mengambil file---""Keluar! Harusnya kamu malu masuk sembarangan ke kamar seorang cewek!" lontarku mengusir polisi itu. "Heh!" Polisi Joshi terdengar membentak. Aku menoleh sekilas, terlihat Polisi Joshi sedang membalika
Aku berdiri mematung di ruang tengah ketika mendengar suara seorang pria menjawab salam yang kuucapkan tadi. Bayangan sosok ber-hoodie hitam langsung melintas di pikiran, membuat aku seketika menahan napas di tenggorokan, ketakutan. Detik berikutnya, lampu di ruang tengah dinyalakan oleh seseorang. Membuat aku bisa sedikit bernapas lega, mengetahui Polisi Joshi yang menjawab salamku, bukannya sosok ber-hoodie hitam, Fadli. Polisi Joshi bersandar di samping saklar lampu sambil memandang ke arahku dengan raut dingin. Perlahan, dia mengayunkan kaki mendekat sambil menenggelamkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai kepala. Lantas, mengeliling diri ini masih dengan rautnya yang datar. Entah apa yang polisi itu cari. Membuat aku salah tingkah diselidiki seolah-olah seorang pencuri. "Dari mana?" tanya Polisi Joshi sambil mengempaskan bokongnya ke sofa. Namun, tatapan elang dia hujamkam kepadaku. "K
Mataku membulat sempurna, jantung ini berdegup kencang menerima serangan mendadak dari Polisi Joshi, belum lagi tatapan tajamnya yang memerah menghujam diri ini. Sang polisi yang menyadari di bawahnya adalah aku, lantas mengurangi tekanan lengannya pada leherku. Akan tetapi, dia belum juga beranjak dari atasku. Mata kami terus beradu dengan deru napas sang polisi yang begitu cepat. Perlahan, Polisi Joshi malah mendekatkan bibirnya. Aku sontak menutup mata erat sembari membuang muka dengan debaran jantung yang menggila. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan lima detik sudah terlewati. Akan tetapi, aku tidak merasakan ada pergerakan lagi dari Polisi Joshi. Bibirnya pun tak sampai-sampai pada diri ini. Eh, apa, sih, yang aku pikirkan?Dengan perlahan, aku membuka mata. Terlihat Polisi Joshi masih di atasku sambil menatap wajah ini dengan saksama. "Menjauh!" Sontak aku mendorong tubuhnya secara kasar, lalu bangkit untuk duduk.
"Pak Bagas, kok, mau ketemu sama Pak Arto pake minta diantarin segala?" Aku bertanya sambil menikmati embusan angin yang membelai wajah. Rasanya wajahku begitu lembut dan terasa kenyal setelah melakukan perawatan di salon tadi. Kuku-kukuku juga terlihat tampak cantik dengan olesan cat kuning keemasan dan bertabur sedikit glitter. Rambut yang tertutupi oleh jilbab toska ini juga terasa ringan dan sangat wangi setelah melakukan perawatan tadi. Reva benar-benar sahabat yang baik. Dia memaksaku untuk melakukan semua perawatan yang seperti dia lakukan. Katanya, yang namanya wanita wajib memanjakan diri mereka sendiri dengan perawatan ke salon. Aku memang tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa melakukan hal tersebut hari ini. "Ya wajarlah, 'kan, dia nggak tau arah." Reva menjawab setelah menyeruput es bobanya. "Aku juga lupa-lupa ingat rumahnya ada di mana. Jadi, daripada ngambil resiko salah jalan, mending aku ajak kamu j