Beban dipundaknya seolah tiada artinya
Pov Heru Dari sore hujan mengguyur bumi. Kalau sudah hujan begini, tak heran sebagian tempat tergenang air yang mengakibatkan macet di mana-mana. Langit mencurahkan hujan dengan derasnya, disertai petir menggelegar. Beberapa karyawan tampak meneduh dipinggir jalan. Begitu juga yang ku alami, aku baru saja pulang dari pabrik tempat aku bekerja. Badanku hampir basah semua, karena aku paksakan jalan menerobos hujan. Aku tau Sari sangat takut dengan petir, apa lagi ia seorang diri di rumah. Aku jadi tidak tenang dibuatnya. Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai juga di rumah. Aku segera meraih handuk dan mengganti pakaian. Setelahnya aku masuk ke kamar. Benar saja, saat sampai di dalam kulihat Sari meringkuk dibalik selimut. Untungnya aku selalu membawa kunci cadangan, jika tidak, mungkin aku akan terkunci di luar. Aku segera
Selamat membaca Masih pov Heru Apakah sejak aku tidak berpenghasilan, sehingga sikapnya pun mulai berubah. Atau karena aku jarang meringankan beban yang berada di pundaknya. Bukan kemauanku untuk tidak memiliki penghasilan, aku adalah pekerja keras. Setelah di PHK saja, aku tidak memiliki penghasilan. Lalu tepatkah alasan pengangguran, aku diperlakukan sebagai laki-laki yang kurang bertanggung jawab. Heru sungguh menyesalkan sikap Sari padanya. Ku akui, aku memang tidak suka mengerjakan pekerjaan wanita, pekerjaan itu seakan-akan merendahkan martabat dan harga diriku. Yang terpenting aku mencukupi segala kebutuhannya. Jadi kerjaan rumah adalah bagian dari kewajibannya. Bukannya suami dan istri memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. Aku sebagai suami bertugas mencari nafkah, sementara ia sebagai istri bertugas mengurus rumah tangga. Jadi jelask
Heru segera melangkah ke kamar, melihat kondisi Sari. Sesampainya di kamar terlihat Sari dalam keadaan baik. Tidak menangis seperti sebelumnya. Alhamdulillah dia mulai kuat dan tegar. Heru cukup tenang melihat Sari dalam keadaan tenang. “Maafkan atas sikap Mama, Bun!” ucap Heru mendekati Sari yang sedang rebahan di tempat tidur. “Mama salah telah memaksamu. Tak seharusnya mama memaksakan keinginannya,” ucap Heru sedih. Heru memandang Sari, sekilas tak sengaja ia melihat jejak air mata di wajah Sari. “Bunda habis nangis, ya,” tanya Heru gusar. Sari menggeleng, “Ini tadi mata bunda kelilipan.” Jawab Sari berbohong. Heru memandang iba pada Sari, ia tahu Sari telah membohonginya. Terlalu berat beban yang ditanggungnya. Ia tidak boleh diam terus, yang ada m
Terima kasih telah berkenan mampir, jika tidak keberatan mohon kasih vote dan favorit ya, biar makin semangat melanjutkan cerita ini. “Dela! boleh mama masuk!” tanya Sri di depan pintu kamar anak gadis yang sangat disayanginya. “Masuk aja, Ma. Pintu tidak dikunci! Kok.” Sahut Dela dari dalam. “Kamu lagi apa!" “Ini! Ma, lagi ngerjain tugas. “Mama ganggu ga.” “Udah mau selesai ini. Gak ganggu kok, Emang ada apa, Ma” Dela menatap bingung sang mama sambil menunggu penjelasan darinya. “Mama sakit hati pada mbakmu itu, gara-gara dia mama dapat bullyan dari tetangga, sampai sekarang masih membekas dalam hati. Setiap kali mama ketemu mereka, selalu sindiran yang mama dengar. Sungguh keterlalu
Subscribe dan bintang 5nya dong. Malam sudah semakin larut, Dela tidur dengan gelisah. Sebentar miring ke kanan, sebentar miring ke kiri, terkadang telentang. Kembali air matanya terjun bebas dari pipinya yang mulus. Besok adalah hari bersejarah dalam hidupnya. Sebelum papa meninggal 4 bulan yang lalu, setiap ulang tahunnya pasti di rayakan. Tahun ini hanya tinggal impian. Hidupnya telah berakhir, hanya tinggal penderitaan dan kesengsaraan. “Andai papa masih hidup, tentu hidupnya tidak serumit ini. Mama bisa ikut arisan, aku bisa beli apa yang aku inginkan. Aku bisa nikmatin hidupku dengan nyaman. Aku tidak perlu cuci baju sendiri, bebas menikmati makan yang aku suka, sekarang seringkali kelaparan. Semua berubah setelah kepergian papa” Dela melamun menatap langit-langit kamar. Matanya enggan terpejam. Tiba-tiba ia ingat rencana kemaren, kali ia ini tidak mau gagal
Subscribe dan bintang 5 dong sebelum baca ya..ya.. Setengah jam perjalanan, akhirnya Heru dan Sari sampai di rumah. Heru membawa Sari ke kamar untuk istirahat. Jam menunjukkan pukul 11.30 “Ayo, Bun. Istirahat di kamar saja. Ayah siapkan makan siang dulu ya, sekalian biar nanti bisa minum obat.” Sari mengangguk lemah, ngilu dan perih di tangannya masih terasa. Sari segera membaringkan badannya di ranjang. Sari menatap luka di tangannya. Kejadian pagi tadi masih terekam kuat dalam memorinya. Hampir 4 tahun ia tinggal di rumah ini belum pernah sekalipun ia jatuh tergelincir. Tapi naasnya pagi tadi diluar nalarnya. Kenapa kejadian itu menimpanya. Padahal ia bukanlah orang yang ceroboh, setiap pekerjaan selalu dilakukan dengan tuntas. Saat membersihkan lantai dapur pun, ia selalu pel berulang kali agar minyak yang berteb
Terima kasih telah berkenan mampir, jangan lupa kasih vote dan favorite ya, biar makin semangat melanjutkan ceritanya. Dela dan bu Sri tengah asyik membungkus snack untuk dijual. Walaupun terpaksa, mereka lakukan demi perut. Kalau tidak begitu, mereka bisa puasa sehari penuh. Mana bisa mereka menahan lapar. Saat bulan ramadhan pun mereka lebih memilih tidak puasa. Sementara Heru keluarga satu-satunya yang bertanggung jawab penuh pada mereka belum juga mendapat pekerjaan. Apa yang bisa mereka lakukan, kecuali pasrah dan terpaksa menerima keadaan. Meskipun harus melakukan pekerjaan yang sangat mereka hindari. “Sebeeel...! Sebeeel...!” Teriak Dela memberengut. Hampir saja kakinya menendang kantong besar snack itu. Untung Dela masih menjaga kewarasan, jika tidak snack itu sudah hancur lebur kena tendangan mautnya. “Cape
Subscribe dan bintang 5 dong sebelum baca, biar aku makin semangat nulisnya. Usai sholat isya berjamah, Sari dan Heru tengah bersantai di ruang keluarga. Sakit pada telapak tangan Sari sudah mulai berkurang. Meskipun begitu, Sari belum bisa membungkus snack. Untungnya ada Heru yang siap membantu. Sekarang hubungannya dengan Heru semakin membaik. Walaupun Heru tidak bekerja, ia sudah mulai bertanggung jawab kembali. Paling tidak beban yang ada di pundak Sari sudah mulai berkurang. Urusan beberes pekerjaan rumah tangga pun Heru sudah mulai turun tangan. Tidak lagi membiarkan Sari mengerjakan sendiri. “Yah, bunda rasa kita sudah terlalu kejam pada mama dan Dela. Tak seharusnya ayah mengusir mereka dari rumah,” ucap Sari terbata-bata. Sari tidak bisa bayangkan, bagaimana perempuan yang lanjut usia tinggal berkeliaran di luar rumah. Tinggal di kontrakan pun rasanya tak mungkin, karena mama mertua tidak memiliki