Ada yang kurasakan hangat di kulitku. Mataku terbuka samar-samar. Kepalaku rasanya berdenyut-denyut sakit. Kutebar pandanganku ke sekeliling. Kusapu ruangan itu dengan tatapan kosong.
Beberapa detik kemudian,
Aku teringat kejadian sebelumnya. Dokter Careld dan temannya yang bernama Ray Dinata. Hatiku tiba-tiba tercekat, mengingat ucapan terakhir laki-laki itu. Bahwa aku adalah kekasih 6 tahunnya.
Oh ...,
Benarkah? Itu artinya laki-laki itu adalah orang paling berperan dalam hidupku! Pikiranku melayang ke mana-mana. Pada akhirnya pandanganku terbentur pada sosok tampan dengan satu tangannya menyangga dagunya.
Mata itu terpejam. Kuamati dalam-dalam wajah yang begitu mempesona itu. Dan ... aku terperanjat menyadari siapa laki-laki itu.
Spontan aku tarik tanganku yang ternyata ada dalam genggamannya. Tubuhku secara reflek juga terbangun dan beringsut mundur, mentok ke belakang. Dan sekali kusadari bahwa aku masih di rumah sakit, jadi pasie
Up lagi ya, jangan lp vote, like dan komentnya
Dengan tergesa, Ray berlari mengejar brankar dorong yang membawa Move. Di dalam pikirannya, di sana, jenazah Move terbaring. Air matanya tumpah ruah. Dunianya gelap. Dattan yang menyadari kondisi itu, segera mengejar sahabat kecilnya itu. Dengan nafas ter-engah, Ray menggapai brankar dorong itu. Dilihatnya Move sedang terlelap tak sadarkan diri akibat obat bius. Ray terduduk lemas, membiarkan brankar dorong itu dibawa perawat rumah sakit. Nafas yang tadi tersengal pelan-pelan mulai teratur. Ada kelegaan yang luar biasa di dadanya. Badannya seperti tak bertulang. Dilihatnya Careld tersenyum meledek. Secepat kilat Ray bangun. Seolah punya kekuatan dia mengejar sepupunya itu. Careld ...! Kamu keterlaluan!" teriaknya dengan nafas ngos-ngosan. Sedangkan Careld sudah berlari ke ruang prakteknya. "Ray, semua baik-baik saja. Operasi Move sukses. Tinggal menunggu dia sadar. Lebih baik kita ke ruangannya." Dattan membimbing tubuh Ray bangu
Wanita itu berdiri membelakangi bangku yang ada di taman. Postur tubuhnya yang aduhai,membuat mata setiap pria yang melihatnya, menyempatkan untuk menelan salivanya sendiri. Ada 30 menit, wanita itu menunggu kedatangan dokter Careld. Ada kegelisahan yang terpancar di wajahnya. Bahkan sikapnya yang mondar mandir, tidak bisa menutupi ada keresahan yang mutlak di hatinya. Sebentar-sebentar, dia menengok jam tangannya, menoleh ke arah lobi rumah sakit, dan sesekali mengusap mukanya dengan kasar. Ada ketidaksabaran jelas terpancar di wajahnya. "Hah!" Jelas, dengusan itu menggambarkan kondisinya yang kesal dan tidak sabar. Dari arah belakang seseorang yang ditunggunya datang. Dengan gaya khasnya, dokter Careld langsung berdiri di depan wanita itu. "Sudah lama tidak minta aku untuk menemuimu, apakah ada yang membuatmu ingin bertemu denganku?" Careld menatap wanita itu dengan senyum khasnya. Ke dua tangannya merangkup disakunya
"Kalau sudah lihat rekaman ini, terserah kamu mau bagaimana," ucap Careld sambil menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya. Ray dengan tergesa melihat ke cctv. Nafasnya terdengar mendengus. "Dia lagi!" geramnya. Giginya gemeletuk menahan marah. Careld hanya mengendikkan bahu ketika mata Ray beralih menatapnya. Dia itu terobsesi sama kamu, Ray. Kenyataanya, dia bisa melakukan apa saja untuk menyakiti orang yang kamu sayang,mungkin, menurut dia, lebih baik tidak ada yang memilki kamu." "Gila! Ray menggeram marah. "Sakit itu namanya!" tukasnya dengan wajah memerah. "Untung kamu nggak jadi nikah sama dia," lanjutnya. Careld hanya terkekeh. Terdengar suara pintu dibuka. Wajah Dattan nongol dari balik pintu. "Tindakan apa yang mau kamu ambil Ray?" tanyanya seraya menjatuhkan badannya ke sofa di sebelah Careld. "Kalau boleh aku saranin, nggak usahlah bawa-bawa polisi lagi, kita nunggu ingatan Move pulih, untuk membebaskan
Sudah setengah jam, Ray memperhatikan wartawan yang semakin banyak memenuhi halaman gedung kantornya. Sudah dikerahkan tim keamanan dan juga sempat menyewa beberapa bodyguard, agar para reporter itu tidak menyeruak masuk ke dalam gedung perkantoran. Line telfon berdering terus tiap detik, meminta klarifikasi atas mencuatnya ke media surat kabar gosip Ray Dinata, presdir dari perusahaan pengiriman barang, terlibat skandal dengan mantan karyawannya. Disitu tertera nama Move Herdianata. Entah, perbuatan siapa yang menyebarluaskan gambar dan berita ini di semua media sosial, tentang dirinya dan Move. Teringat akan Move, Ray dengan tergesa menyambar ponselnya, dia ingin memastikan Move tidak jadi perburuan empuk awak media. Tapi baru saja telpon di seberang berbunyi sekali, "Maaf, Pak Ray, para dewan direksi sudah menunggu untuk rapat mendadak." Clarisa, dari balik pintu mengingatkan jadwal rapat darurat hari ini. Ray kembali memencet warna merah dipanggil
Entah sudah berapa lama, aku tak sadarkan diri. Ketika, aku sadar yang kurasakan adalah gelap, dan bau ruangan yang sepertinya berdebu. Aku mengerjabkan mata, tetap aja gelap. Ruangan ini bukan seperti tempat semula. Apakah aku diculik? Aku gerakan seluruh anggota tubuhku, nggak, aku nggak diikat. Terus, kenapa gelap, apakah aku buta? Akh-hh, pikiranku ke mana-mana. Coba tunggu beberapa saat, mungkin ada yang bisa menjelaskan kondisi ini. Hari mulai bergeser, Ray dan Dattan sudah sampai di rumah sakit, sudah ketemu Careld juga. Namun, sosok Move tidak diketemukan. Perasaan cemas dan khawatir membuat Ray bergerak cepat. Ke dua sahabatnya ditinggal begitu saja di rumah sakit. Sekitar 15 menit, dia memasuki halaman rumah mewah yang sudah sering dulu ia kunjungi. Tak perlu memencet bel, karena si empunya rumah sudah memamerkan senyum mautnya. Feronika Afarest, Wanita itu seolah sudah tahu kalau Ray akan mencarinya. Dengan sen
Manik mataku mengerjab liar, mendengar apa yang diucapkan Dattan. Tapi pria itu acuk tak acuh melihat reaksiku. Dengan lincah keluar masuk kamar yang ada di apartemen ini. Ternyata ini apartemen dia. Dari, mengeluarkan koper sampai menata baju, dia lakukan dengan rapi. Kulihat baju-baju perempuan bermerk kelas atas, ia masukkan beserta semua perlatan dalam wanita. Ternyata, semua sudah diatur serapi mungkin. Skenario ini sudah direncanalan dengan baik, tanpa terendus oleh siapapun. Mungkin selama ini, jauh sebelum Ray benar-benar muncul di hadapanku, semua skenario ini sudah ditata serapi mungkin, sebaik mungkin, supaya semua berjalan sesuai rencana mereka. Yang jadi pertanyaan besar di otakku, kenapa harus aku yang jadi target mereka? Aku hanya memperhatikan, apa yang Dattan lakukan. "Tiket sudah aku beli. Pagi ini, kita akan meninggalkan kota ini," ucapnya tanpa melihat aku sama sekali. Masih sibuk dengan mengepak barang Kali ini, bagian bajun
Aku menahan nafas sesaat, untuk mendengarkan ucapan Dattan yang belum selesai. Sedangkan Ray, masih dengan kemarahan mutlak, mencengkram kerah baju Dattan. "Katakan, Dattan!" Suara pria yang teramat aku cintai itu menggema di tempat parkiran. Dattan berusaha melepaskan diri dari cengkraman Ray, ditariknya tangan Ray yang mencengkram kuat lehernya. "Katakan dulu Dattan!" Kembali suara itu menggema. "Aku akan katakan, tapi lepaskan dulu cengkramanmu, aku nggak bisa bernafas." Dengan tersengal, Dattan berkata. Setelah menarik nafas kuat-kuat, dan menghembuskan dalam-dalam, Ray melunak. Cengkramannya pada leher Dattan terlepas. Laki-laki itu mengatur nafasnya yang tersendat karena amarah. Sedangkan, aku hanya menjadi penonton. "Sekarang, katakan, apa alasan kamu mengkhianati aku?" suaranya melemah, ada kelehan yang begitu sangat di wajah tampannya. Dattan menarik nafas panjang, sebelum memulai pembicaraan. "Ap
Sekitar jam 7 malam, aku merapikan semua pekerjaanku. 5 menit yang lalu, Dattan dan dokter Careld bergantian telpon ke rumah Ray. Mereka menanyakan keadaanku. Di sini, di rumah Muhammad Farhan Raya Dinata, Aku menunggu kepulangannya. Kulirik jam dinding sudah bergeser dari angka 7 ke angka 8. Ada kegelisahan yang menguar di dalam dadaku. Seharusnya dia sudah pulang dari jam 5 tadi, sampai terlambat hampir 3 jam, tapi nggak memberi kabar. Semenit kemudian, terdengar langkah kaki dari luar pintu. Aku buru-buru membukanya. Kulihat sosok tampan itu menampakkan muka kusutnya, muka lelah yang teramat sangat. Kuraih tas kerjanya, bak layaknya seorang istri kepada suaminya. Ray hanya diam saja, mulutnya terkunci seribu bahasa. Aku bisa mengerti, mungkin tadi dia berselisih pendapat dengan orang tuanya. Dan ini berhubungan dengan aku. Kuikuti langkah kakinya dengan ke dua ekor mataku. Ku tarik nafas panjang, melihat sikapnya yang begitu dingin.