Share

Talak Dan Fitnah.

"Rara," panggil Rani lemah. 

Air matanya mengalir deras saat menyaksikan buah hatinya meregang nyawa. Bahkan, darah kental sang putri masih membasahi tangan Rani yang memegang kepala anaknya.

Hendra yang tadi sempat terpaku langsung merebut tubuh kecil itu. 

Begitu kesadarannya pulih, Rani ikut keluar saat Hendra berlari membawa Rara menuju ke rumah sakit.

"Sial, semua ini tak akan terjadi kalau kau tak keras kepala, Ran. Ingat, kalau terjadi sesuatu pada Rara kau akan menyesal," ujar Hendra sedangkan Rani hanya diam sembari memeluk sang buah hati.

Jantungnya berdetak semakin kencang, ketika merasa mobil seakan berjalan lambat. 

Di depan kemudi Hendra terus mengomel panjang, menyalahkan Rani tanpa berpikir kalau itu karena ulah ibunya. Di mata Hendra, hanya dia yang bersalah sedangkan ibunya tetap tak bersalah.

"Tolong Mas lebih cepat kasihan Rara," pinta Rani memelas melihat keadaan putrinya semakin parah. 

"Diam dan tutup mulutmu itu, Rani. Kau tak berhak bicara pada Hendra seperti itu," ucap ibu mertua Rani menyela. Tampak jelas, ia kesal sekali melihat menantunya itu.

"Ish, rasanya ingin sekali aku membunuhmu, Rani. Hidup kok nyusahin," ucap Hendra sembari memasukkan mobilnya menuju parkiran rumah sakit, lalu kembali berlari mengambil Rara dari pelukan Rani.

"Menyingkir kau bodoh!" ucap Hendra lagi sembari mendorong tubuh Rani, sebelum memeluk tubuh kecil Rara. 

Rani tak bisa berbuat apa-apa selain menahan sakit kepala akibat terbentur kaca mobil kemudian mengikuti Hendra menuju ke dalam rumah sakit.

"Dokter, tolong anak saya!" teriak Hendra yang berlari menuju IGD diikuti Rani. 

Wanita itu menangis tanpa suara, dia tetap diam meski Hendra terus memarahinya.

"Sudah lihat kan akibat keras kepalamu itu, kan? Rara yang jadi korbannya," ucap mertua Rani. Wanita itu benar-benar tak punya hati, dia yang salah tapi melemparkan kesalahan itu pada menantunya yang justru terlihat hancur.

"Aku tak tau lagi harus bicara apa, Ran. Demi harta kau korbankan anak kita, semua ini tak akan terjadi kalau saja kau tak melawan," ucap Hendra lagi. Sedangkan Rani menatap pintu ruang IGD dengan pandangan kosong.

"Apa yang harus kita lakukan jika terjadi sesuatu pada anakmu, Hen? Ah ...Rani memang pembawa sial, karena dia kita menghadapi masalah rumit ini." Ibu Hendra mengomel sembari menatap Rani penuh dengan kebencian. 

Rani tetap diam meski mendengar apa yang dibicarakan Hendra dan ibunya. Wanita itu hanya berharap anaknya akan baik-baik saja, dia tak tau bagaimana melanjutkan hidup jika tanpa penyemangatnya yaitu ...Rara.

"Ibu tenang dulu, semua pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga tak terjadi apa-apa pada Rara," ucap Hendra lagi dia bicara lembut pada sang ibu, tapi tak perduli pada Rani.

"Jika terjadi sesuatu pada Rara, kau habisi saja si Rani. Dasar pembawa sial," ucap ibu Hendra lagi.

"Tentu saja Bu, aku tak akan tinggal diam kalau terjadi sesuatu pada Rara. Rani harus bertanggungjawab." Hendra berkata sembari melirik Rani yang masih menatap ke arah pintu IGD seolah mampu melihat ke dalam.

"Apa kau tak merasa sedikit saja merasa bersalah, Mas?" tanya Rani pelan, "Rara darah dagingmu," ucapnya lagi.

Mendengar pertanyaan Rani, pria itu sontak menjadi murka. 

Dia tak mau ada yang mendengar ocehan istrinya, tak ada yang boleh tau kejadian yang sebenarnya, kalau tidak dia dan ibunya akan berada dalam masalah besar.

Plak!

Hendra mendekati istrinya dan menampar wanita malang itu.

"Kau benar-benar biadab, Ran. Kau yang mencelakai satu-satunya anak kita. Jika terjadi sesuatu pada Rara, aku akan membuatmu menyesal."

Hendra mendorong tubuh ringkih Rani setelah menamparnya. 

Pria itu tak peduli meski melihat darah menetes dari sudut bibir sang istri. Di sisi lain, ibunya justru tersenyum melihat penderitaan sang menantu.

"Dasar bodoh, kau pikir bisa melawanku, Ran. Kau hanya akan membuat Hendra semakin muak padamu, setelah ini aku pastikan kau akan semakin menderita, tunggu saja kehancuranmu," ucap mertua Rani dalam hatinya. Wanita itu benar-benar tidak merasa kasihan sama sekali pada menantunya yang terlihat hancur.

“Permisi…”

Suara pria berjas putih mengagetkan ketiganya. Seketika, perdebatan mereka pun berhenti.

"Dokter, bagaimana keadaan anak kami?"

Rani dan Hendra langsung mendekati Dokter yang baru keluar dari IGD itu.

Namun, sang Dokter justru menarik napas panjang, menatap wajah Rani yang terlihat merah seperti bekas tamparan, lalu menggelengkan kepalanya.

"Benturan terlalu keras mengenai kepalanya. Kami tak bisa menyelamatkan pasien.”

“Jam sepuluh lewat 15 pagi, pasien Rara dinyatakan meninggal.”

Deg!

Rani merasa dunianya berputar. 

Satu-satunya sumber kekuatan miliknya pergi. 

Mendengar anaknya meninggal, Hendra yang biasanya juga tak peduli pada sang putri, kembali emosi.

Diserangnya Rani mendadak. Tak lupa, bibirnya mengeluarkan sumpah serapah pada sang istri. Melihat tindak kekerasan itu sang Dokter mencoba menenangkan Hendra.

"Kau memang pembawa sial, Rani! Mulai hari ini, kujatuhkan talak satu padamu,” teriaknya menggelegar, “Hubungan kita terputus bersama kematian Rara karena kecerobohanmu itu." 

Rani hanya diam.

Saat ini, hatinya benar-benar hancur. 

Tak hanya kehilangan anak, dia juga dijatuhi talak. Meski dia ingin berpisah dengan Hendra, tapi bukan dengan cara seperti ini.

Apa kesalahannya, hingga hidupnya terasa penuh hukuman, seperti ini?

Di saat kedua orang tua dari Rara itu merasa hancur, Siti tak ikut berbicara. Namun, diam-diam dia tersenyum sambil membatin, 'Bagus rencanaku berhasil dengan cemerlang.' 

****

Untuk mengejar waktu sebelum Maghrib, putri Rani segera dimakamkan meski sedang hujan deras. Sebagai anak tunggal dan yatim piatu, tidak ada satupun keluarga perempuan itu yang datang, termasuk paman dan bibinya yang menguasai rumah warisan miliknya. Hanya ada tetangga, keluarga, serta kerabat Hendra di sana yang perlahan pulang-menyisakan Rani, Hendra dan adik ipar Rani. 

Tiba-tiba, Hendra menatap tajam Rani. "Buat apa kau masih di sini, pembunuh? Menyesal aku dulu menikahi wanita bodoh dan miskin sepertimu, tau begini aku biarkan kau menikah dengan pria tua pilihan pamanmu itu.”

Rani mengepalkan tangannya, rasa sakit atas kematian anaknya, harus ditambah penghinaan dari mulut Hendra. Ingin rasanya dia menghajar pria itu tapi tubuhnya terasa lemas tak berdaya, saat melihat gundukan tanah di depannya. Hanya airmata yang terus mengalir bersama tetes air hujan yang membasahi wajahnya, membuatnya diam dan menerima rasa sakit dari ucapan Hendra.

Melihat keterpurukan Rani, adik ipar yang selama ini membencinya mendorong, hingga wajahnya jatuh ke tanah. Ia pun ditertawakan dan dihina.

"Ini balasan karena kau pelit, Rani. Tuhan pun mengambil Rara darimu. Dia mati di tangan ibu sepertimu. Dulu kedua orang tuamu sekarang anak kandungmu menjadi korban dasar pembawa sial."

Beberapa orang yang lewat, bahkan sampai bergidik ngeri melihat tindakan mereka. Meski demikian, tidak ada yang berani menegur karena takut ikut campur.

Tiba-tiba, ibu mertua Rani datang sambil berpura-pura menangis dengan dua orang Bhabinkamtibmas. Ia menghina Rani dan menyebutnya sebagai pembunuh.

"Pembunuh, aku tak rela Rara mati begitu saja. Kau harus menerima hukuman atas perbuatan bodohmu itu, Rani. Bawa dia Pak, kami akan menuntutnya atas pembunuhan cucuku."

Rani yang sedari tadi diam sambil menatap nisan sang putri, tiba-tiba merasa marah pada sang mertua. Ia pun bangkit dan menatap tajam sang mertua dan mencoba menjelaskan yang sebenarnya penyebab kematian sang putri. Namun, belum sempat ia berbicara, salah seorang Bhabinkamtibmas yang sebenarnya merupakan kenalan keluarga Hendra menatap Rani dengan sinis.

"Saudari Rani Putri Prameswari, Anda kami tangkap atas laporan tuan Hendra yang mengatakan bahwa anda lalai menjaga anak kalian, hingga menyebabkan meninggal dunia.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status