Share

Talak Di Hari Kematian Putriku.
Talak Di Hari Kematian Putriku.
Penulis: Winarsih_wina

Kejamnya Suamiku.

"Apa yang kau lakukan, Mas?!"

Rani berteriak kala melihat kamarnya berantakan.

Seluruh isi lemari berserak di lantai. Entah apa yang dicari Hendra, Rani tak tahu, sedang di sudut lain, mertuanya tengah membekap mulut Rara–anaknya.

“I–ibu….” lirih anaknya itu, hingga hati Rani sakit melihat wajah ketakutan putrinya.

Oleh karena itu, Rani mengabaikan amarahnya dan gegas berlari menuju ke arah sang anak untuk menolongnya.

"Lepaskan Rara Bu, dia bisa mati kehabisan napas."

BUK!

Namun, tangan Rani justru ditarik keras oleh sang suami, hingga perempuan itu terhuyung–membentur lemari.

"Serahkan sertifikat rumah warisan orang tuamu kalau kau tidak mau kehilangan Rara,” ancam Hendra dengan nada tinggi.

“Cepat!!"

“Aw!” rintih Rani kesakitan. Punggungnya terasa remuk karena dorongan Hendra begitu keras. Dia tak habis pikir dengan pola pikir suaminya ini. Meski Hendra menyelingkuhi dirinya, tapi bisa-bisanya pria itu mengorbankan anaknya hanya demi selembar kertas?

“Sertifikat?” lirihnya.

"Aku tak punya sertifikat itu, Mas. Dulu, aku gunakan untuk membayar biaya rumah sakit, saat bapak sama ibu kecelakaan," jelas Rani.

Sayangnya, Hendra tidak percaya dengan ucapan Rani. Pria itu justru menatapnya curiga. Seketika Rani merasa resah begitu melihat, anaknya mulai lemas. Dilihatnya sang Ibu mertua yang tampak tak peduli dengan keadaan cucunya. Dengan semangat, wanita paruh baya itu malah semakin membekap mulut Rara.

"Lepaskan Rara, Bu. Dia kesulitan bernapas!" teriak Rani panik, hingga wanita itu terkejut dan melonggarkan bekapan di wajah cucunya.

Hanya saja, Hendra tak memperhatikan itu. Dia malah menunjuk muka Rani dengan arogan. "Jangan berteriak pada ibuku, Ran! Kalau kau mau urusan kita cepat selesai, maka cepat serahkan sertifikat itu.

“Jangan mencoba melawan!” ancam suaminya lagi. Rani pun frustasi sendiri mendengar permintaan Hendra. "Sudah aku katakan padamu, Mas. Sertifikat itu tak ada lagi padaku. Jadi, percuma juga kau

mengancamku," jelasnya pada Hendra.

Ia berharap suaminya itu dapat mengerti.

Sayang, pria itu sepertinya terlalu bodoh untuk berpikir. Hendra justru malah menatap bengis Rani dan tertawa mengejek. "Kau pikir, aku bodoh, hingga percaya dengan omong kosong itu? Orang tuamu sudah lama meninggal dan selama itu juga, paman dan bibimu tinggal dengan tenang di rumah yang seharusnya menjadi milikku."

“Kalau bukan di kamu? Di siapa lagi? Aku sudah ke rumah pamanmu itu, Rani,” ucap Hendra, “dan dia, mengaku bahwa kamulah yang memegangnya.”

Rani pun mengacak rambutnya geram setelah mendengar ucapan Hendra. Sejak kapan rumah warisan miliknya menjadi milik Hendra?

Dan, meski memang tak masuk akal, tapi itulah yang terjadi pada sertifikatnya. Rani juga tak tau kenapa orang yang membawanya itu, tak pernah datang.

Namun, melihat putrinya yang tak berdaya di dekat sang mertua, Rani berusaha tenang.

Menahan tangis, ia pun berbicara, "Aku tak berbohong, Mas. Memang itu yang terjadi. Sertifikat itu, aku gunakan untuk jaminan agar bisa membayar rumah sakit waktu bapak dan ibu kecelakaan."

Rani berharap kedua orang tak punya hati itu percaya dan mau melepaskan anaknya yang terlihat semakin ketakutan. Sayang, kedua orang itu malah menatapnya kesal.

"Kau memang tak tau diri, Ran. Aku sudah kehabisan kesabarannya menghadapimu," ucap pria itu.

Tampak sekali, emosinya meningkat karena mengira Rani masih keras kepala menyembunyikan kertas-kertas itu. Bahkan, rahang pria itu tampak mengetat–seolah siap memukul Rani kapan saja.

"Aku sudah memberimu kesempatan, tapi kau masih keras kepala. Jadi jangan salahkan aku Rani," ucap Hendra dengan nada tinggi.

"Apa yang mau kau lakukan, Mas?" tanya Rani ketakutan begitu melihat Hendra memberi tanda pada ibunya.

Wanita tua itu tersenyum sinis ke arahnya. 

Napas Rani seketika terasa sesak melihat anaknya meronta karena mertuanya membekap mulut anaknya semakin keras.

"Hentikan, Bu!" jerit Rani panik.

Entah kekuatan dari mana, ibu satu anak itu bahkan melompat lalu mendorong sang mertua, hingga tersungkur ke lantai. 

Rani pun buru-buru memeluk Rara yang ketakutan.

Namun, tindakan Rani membuat murka Hendra berkali-kali lipat. Pria itu pun mendekati Rani hendak memberi pelajaran, tapi Rani tampak tak takut.

Perempuan itu justru menatap dengan ganas ke arah Hendra. "Sudah cukup, Mas! Kau keterlaluan,” ucap Rani tegas, “kau tak menafkahi aku dan Rara, aku terima. Aku bahkan hanya sesekali memprotes ketika kau lebih memanjakan ibu serta kekasih gelapmu itu.” 

“Tapi, kenapa kau malah berani menyakiti anakmu?"

Rani meluapkan emosinya. Selama ini, dia sudah bersabar menghadapi suami dan mertuanya, tapi mereka justru semakin melunjak.

“Mas, kau–”

Ketika Rani ingin kembali berbicara, Hendra tiba-tiba memotongnya, "Sebaiknya, tutup mulutmu, Ran. Aku sudah muak mendengar ocehan itu. Seharusnya, kau menghormati suamimu, bukan terus melawan. Aku minta sertifikatmu itu untuk modal usaha. Itu juga demi kau dan Rara bukan untuk orang lain.

“Hahaha….” tawa Rani sinis. Tak ada sedikit pun rasa bahagia mendengar Hendra yang tiba-tiba ingin bertanggungjawab pada keluarga kecil mereka.

Tetangga sebelah rumah pun tahu kalau tujuan utama pria itu, adalah menikahi kekasihnya yang menginginkan resepsi mewah.

"Aku tak peduli, Mas,” ucap Rani nyalang, “Yang pasti, sertifikat itu tak ada padaku. Jadi, percuma kau memintanya.”

“Sekarang, tolong tinggalkan rumah ini! Aku sudah muak melihatmu," usir Rani yang tak tahan lagi melihat tingkah Hendra dan ibunya.

Dia berjanji pada dirinya tak akan memperpanjang urusan dengan kedua orang ini karena Rani tak ingin tensinya naik terus menghadapi mereka.

Namun, bukannya mengerti, kini malah sang Ibu mertua yang maju.

Dengan santainya, wanita itu tiba-tiba berbicara, "Percuma kau bicara dengan wanita bodoh ini, Hen. Lebih baik, ceraikan saja dia, lalu nikahi Anita itu jauh lebih baik."

Tangan Rani sontak mengepal, menahan geram. Ibu mertuanya ini memang senang sekali meminta Hendra untuk menceraikannya. Apakah dia pikir Rani tak mau melepaskan pria ini?

Cih! Jelas sekali, Rani sudah meminta ditalak berkali-kali, tetapi Hendra tak pernah mengabulkannya. Pria itu selalu membawa-bawa sang putri yang memang menyayanginya.

"Belum waktunya, Bu," ucap Hendra santai–seperti biasa. Tangan Rani mengepal mendengar ucapan yang sudah ia duga.

"Sampai kapan, Mas?Aku juga sudah tak sudi menjadi istrimu,"  tegas Rani yang membuat Hendra dan Ibunya seketika melotot.

"Tutup mulutmu itu, Rani!" teriak Ibu Mertuanya.

Belum sempat memproses, lagi-lagi Rani terkejut melihat mertuanya menarik tangan putrinya dan menghempaskan tubuh kecil itu ke dinding.

Rani pun tak sempat bereaksi, selain berteriak histeris memanggil nama anaknya, "Rara!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Irma Karisma
iiih geram nya dgn mereka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status