"Reva, kamu Reva, 'kan?" tanya seseorang dengan suara yang cukup fakiliar hanya saja Reva sudah cukup lama tidak bertemu dengannya."Kamu Toni, 'kan?" balas Reva.Sosok lelaki yang dimaksud tersebut adalah memang Toni. Toni adalah teman lama Reva saat duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan mereka sempat dekat. Hanya saja tidak pernah jadian karena Toni merasa minder. "Iya, aku Toni. Kamu apa kabar?" tanya Toni.Bu Ningsih sedang membeli ikan dan ayam sedangkan Reva menepi untuk berbincang dengan Toni."Kabarku baik. Kamu bagaimana?" balas Reva."Aku juga baik. Aku dengar kamu di kota setelah lulus SMA dan setelah itu kita nggak pernah lagi bertemu," jawab Toni."Kamu sudah menikah?" tanya Reva."Belum. Aku belum menikah. Kamu pasti sudah menikah, ya?" terka Toni.Reva mengangguk. "Iya." "Selamat, ya? Aku nggak pernah tahu soalnya tentang kamu. Tapi kamu sehat-sehat aja, 'kan?" tanya Toni. "Iya.""Oh ya, boleh kasih tahu nomor telepon kamu tidak? Nanti kapan-kapan aku mau berku
"Kamu mau makan?" tanya Pak Haris melihat Toni yang seperti orang bingung ada di depan rumahnya. "Tidak, Pak. Saya mau bertemu dengan Reva. Revanya ada, Pak?" balas Toni.Pak Haris memperhatikan sosok Toni dari atas sampai bawah. Kalau dilihat dia mengenal Toni tapi lupa siapa tepatnya. "Mau cari Reva untuk apa?" "Tadi saya nggak sengaja bertemu Reva di pasar. Dan saya cuma mau bertemu Reva, Pak," jawab Toni dengan sopan.Pak Haris seperti ingat dengan Toni. "Tunggu, apakah kamu anaknya Bu Sumi?""Iya, Pak. Saya anaknya Bu Sumi," jawab Toni.Karena mendengar percakapan orang di luar, Reva yang penasaran akhirnya melihat kalau ayahnya sedang berbincang dengan Toni. "Oh, kamu Ton. Masuk!" "Eh, lelaki siapa ini kamu ajak masuk saja, Rev? Kamu itu perempuan yang memiliki suami. Jangan menganggap dirimu janda! Mau ditaruh mana muka ibumu ini?" sahut Bu Ningsih yang tiba-tiba menarik tangan Toni."Maaf, Bu. Saya Toni. Teman lamanya Reva," ujar Toni lalu mengecup punggung tangan Reva.Bu
"Oh, aku di sini soalnya ketemu sama teman lama. Nggak dengar kalau kamu telepon. Nih kenalin dia Toni," jawab Reva dengan menunjuk ke arah Toni.Dengan senang hati Toni mengulurkan tangannya pada Roy kemudian Roy dengan wajah datar menatap Toni dengan tataoan penuh curiga. "Roy," ujar Roy.Roy dan Toni saling berjabat tangan tetapi hanya sebentar karena Roy masih menyimpan banyak pertanyaan yang akan ditanyakan pada Reva setelah ini. "Kita balik hari ini, ya?" ucap Roy menatap wajah Reva.Reva menoleh. "Hari ini?" "Iya, katanya kamu sudah lebih baik dan ikut ibu ke pasar tadi pagi. Aku kira kamu sudah bisa kembali ke rumah kita," jawab Roy.Toni yang merasa menjadi obat nyamuk lantas memilih untuk pamit. "Rev, aku pulang dulu, ya?""Eh, kok buru-buru?" tanya Reva."Iya, kan suami kamu sudah pulang. Jadi aku pamit," jawab Toni kemudian undur diri dari hadapan Reva dan Toni. Meskipun sebenarnya ia masih ingin berada di sana. Tetapi ia sadar diri kalau suaminya Reva terlihat jauh dari
Keesokan harinya, Reva sudah bersiap pulang. Meskipun sudah merasa nyaman di desa membuat dirinya agak malas untuk kembali."Apa kamu keberatan aku ajak pulang?" tanya Roy. Ia merasa kalau Reva enggan kembali dari sikapnya."Enggak, aku enak saja di sini," jawab Reva tanpa menatap Roy dan sedang mengangkat tas ransel miliknya. "Apa karena Toni?" terka Roy."Apa sih kamu? Kan dia itu temanku saat SMA. Kenapa tak boleh bertemu?" balas Reva dengan sinis. Ia merasa sedang dicemburui tak jelas.Roy menghela napas. "Aku hanya cemburu. Apalagi kamu berdua saja duduk di depan rumah. Siapa yang nggak cemburu? Suami datang justru disambut dengan kamu berduaan sama Toni," jawabnya. Reva menatap Roy. Ia merasa bingung sama Roy. Hanya bertemu dengan Toni sudah dipermasalahkan. Apalagi yang ibunya Roy memperkenalkan Dewi sebagai calon istri Roy secara terang-terangan. "Lalu kamu mau apa? Padahal aku juga cuma ngobrol. Aku sama Toni juga nggak ada apa-apa. Cuma sekedar teman saja."Roy melihat kal
Tak berselang lama kemudian Roy juga pulang. Ia melihat istrinya sedang makan di meja makan. "Makan sama apa hari ini?" tanyanya."Sama sayur bayam," jawab Reva lalu menyuap makanan di dalam piringnya yang terakhir. Saat Roy hendak makan juga Reva justru bangkit dan hendak meninggalkan meja makan sekaligus Roy juga."Kamu mau kemana?'' tanya Roy."Aku kan sudah selesai makan." Reva tak menjawab pertanyaan Roy dan tetap meninggalkan meja makan."Reva, duduk di sini sebentar! Temani aku makan!" titah Roy.Dengan wajah malas Reva akhirnya menuruti permintaan Roy dan melihat Roy makan sayur bayam dengan ayam itu. "Reva, setelah ini kita bicara!"Reva kemudian ikut bersama Roy ke ruang tengah. Ia kemudian menunggu kedatangan Roy yang sudah berganti pakaian dari pakaian jas nya."Reva, kenapa sikap mu jadi begitu?" tanya Roy."Aku kenapa?" balas Reva yang merasa dirinya tak melakukan apapun."Kamu marah sama aku?" "Kenapa harus marah?" balas Reva dengan bola mata memutar tanda malas."Aku
Roy tidak terkejut dengan penuturan Reva barusan. Ia paham kalau Reva memang tidak suka membuang makanan yang ada. Karena Reva juga sudah terbiasa dengan ibunya yang mememiliki warung makan. Kalau pun di warung ibunya Ningsih makanan yang tidak habis waktu itu salah satunya dengan dimakan sendiri atau diberikan tetangga. Jadi tidak sampai dibuang begitu saja. Reva menikmati makanan yang disediakan. Semua berbau seafood. Reva juga paham kalau Roy adalah pecinta seafood. Sedangkan Reva memang suka tetapi bukan pecinta. Reva suka semua makanan yang penting itu halal dan layak dimakan. Baru saja Reva makan makanan penutup berupa puding dengan fla keju ia sudah kenyang. Masih banyak makanan yang masih tersaji. "Roy, kamu minta pelayan itu untuk membungkus makanan ini untuk kita bawa pulang!" titah Reva.Dengan cepat Roy menuruti permintaan Reva tersebut. Hanya sebentar saja pelayan tersebut selesai untuk membungkus makanan yang ada. Reva kemudian meneteng tas berisi makanan sisa dari rum
"Kamu ngomong apa sama Pak Roy tadi, hah?" bentuk pada Adi pada pelayan tersebut.Pelayan tersebut bergetar karena terlalu takut. "Saya hanya bilang orang kaya palsu kok makanan dibungkus lalu dibawa pulang," jawabnya.Pak Adi menahan napas kasar sembari memegang kepalanya. "Kamu tahu siapa Pak Roy? Dia adalah investor kita. Bisa nya Kamu ngomong begitu. Dia beli rumah makan ini juga bisa nggak hanya makanannya. Mau dibungkus atau dilemparkan ke wajahmu juga nggak masalah."Pak Adi benar-benar marah. Manager tersebut juga tak bisa berkata-kata karena memang murni kesalahan bawahannya. "Kamu bawa makanan ke rumah Pak Roy sekarang juga! Minta maaf sama dia! Bagus istrinya Pak Roy meminta untuk tidak memecat Kamu," perintah Pak Adi. Pelayan tersebut gegas meninggalkan Pak Adi dan Managernya. Ia merasa yang lebih utama adalah dengan meminta maaf ke rumah Pak Roy. Tapi setelah semua makanan siap untuk dibawa. Ia tak tahu harus kemana. Ia kembali menemui managernya. "Pak, maaf. Saya tidak
"Sudah lah, tidak ada masalah lagi kok, Mas! Sekarang kamu bisa pulang. Tentu ini sudah jam pulang kamu kerja,'' ucap Reva."I-ini ada bingkisan dari sana, Bu, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," jawab pelayan tadi dengan memberikan tas berisi bingkisan makanan. Lebih banyak dari apa yang dibawa oleh Reva."Maka dari itu punya mulut dijaga!" umpat Roy.Reva menarik tangan Roy. Lalu meraih tas dari pelayan. Lalu mengizinkan pelayan tadi untuk pulang. Reva masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Roy di belakangnya. Melihat bingkisan makanan yang lengkap dengan memakai microwave dan masih hangat saja makanan yang dibawa. "Wah, kita tak perlu masak sampai dua hari ini," celetuk Reva. "Yah nggak sampai dua hari juga lah. Makanan kalau sering dihangatin juga nggak baik lah,'' sahut Roy dengan meninggalkan Reva di ruang tamu. Reva tak terlalu mempermasalahkan. Toh nantinya juga dirinya sendiri yang akan makan. Karena Roy memilih makanan yang hanya tersaji satu kali atau minimal satu hari gan