"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya.
"Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah.Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh jagain bayi haram itu."Tanpa permisi, bu Yulis menerobos masuk ke dalam rumahku. Dia mendatangi setiap ruangan, termasuk kamarku juga."Pasti Vina ada di kamar ini," bu Yulis melirik sekilas ke arahku yang berjalan di belakangnya. Namun, saat pintu terbuka Vina sudah tidak ada. Pasti Vina sudah pergi lewat jendela. Ya, syukurlah Vina tidak jadi ketahuan."Tidak ada 'kan, bu Yulis?"Bu Yulis masih tidak menyerah. Dia melihat bawah ranjang, kamar mandi yang terdapat di kamarku, bahkan bu Yulis sampai membuka lemari pakaianku yang aku tidak tahu muat atau tidak bila dimasuki tubuh seseorang karena ukuran lemari itu yang tidak terlalu besar.Setelah melihat setiap sudut rumah dan tidak menemukan Devina, bu Yulis menatapku marah. "Di mana kamu sembunyikan anakku? Jelas-jelas tadi saya mendengar kamu berbicara keras dengan Devina. Kamu fitnah dia dengan mengatakan ibu dari bayi haram ini itu Devina. Sekarang aku tahu, kenapa bu Marisa begitu tidak menyukaimu. Selain kamu tidak hamil-hamil, kamu ternyata juga tukang fitnah."Aku terkejut setelah mendengar ucapan bu Yulis. Kenapa dia bisa mendengar ucapanku tadi? Memang aku tadi bicara cukup keras, tapi aku yakin tidak sampai terdengar ke halaman depan apalagi ke rumahnya bu Yulis. Jadi, kenapa bisa bu Yulis mengatakan itu?"Dengar baik-baik! Vina bukan ibu dari bayi haram ini, jadi jangan suruh dia mendatangi bayi ini lagi!" Bu Yulis berteriak marah."Bu Yulis masuk secara diam-diam ke dalam rumah aku?" Tanyaku tidak percaya. Setelah aku pikir-pikir lagi, tidak ada alasan lain yang bisa masuk ke dalam otakku selain ini. Tapi kenapa bu Yulis sampai nekat begitu?"Mana ada, saya tadi cuma... cuma, cuma mau minta gula saja." Bu Yulis melengoskan wajahnya. Dari gelagatnya aku tahu ada yang disembunyikan bu Yulis.Kenapa aku merasa kalau bu Yulis ini sebenarnya tahu kalau Devina itu ibu dari baby Aydan, tapi sengaja berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Sebenarnya Bu Yulis sudah tahu 'kan kalau Vina itu ibu dari baby Aydan?"Bu Yulis melotot marah, "heh, sudah saya katakan jangan mengatakan Vina itu ibu dari anak haram ini!"Aku melipat tangan di depan dada. Ku pandangi wajah pucat pasi bu Yulis yang terlihat tidak nyaman. Aku mendengus tak percaya. Sudah dapat di tebak kalau bu Yulis selama ini memang sudah mengetahui kehamilan Devina. Namun, alasan dia tetap pura-pura tidak mengetahui putrinya itu hamil aku belum tahu. Apapun itu, bu Yulis ini keterlaluan. Di saat Devina kesusahan, dia malah hanya melihatnya dalam diam."Kenapa Bu Yulis pura-pura tidak tahu?""Apa yang kamu bicarakan? Sudah! Karena Devina tidak ada di sini, saya pulang dulu." Dengan terburu-buru bu Yulis meninggalkan rumahku.Kupandangi kepergian bu Yulis sambil menggelengkan kepala pelan. Kasihan Devina. Dia mengira selama ini ibunya itu tidak mengetahui kehamilannya sehingga menanggung sendirian di saat kesusahannya, padahal bu Yulis tahu.***Aku tersenyum senang saat menginjakan kaki di mall. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera membeli semua baju jecil yang akan terlihat lucu bila dipakaikan pada baby Aydan. Ku dirong roda bayi dengan perasaan gembira menuju toko peralatan bayi.Aku memasuki toko peralatan bayi. Kupilih beberapa baju, celana, dan beberapa kebutuhan lainnya. Setelah di rasa kebutuhan baby Aydan sudah terpenuhi, sekarang aku mau membeli baju untuku dan ms Gibran.Sesekali aku memang selalu berbelanja seperti ini, entah itu di temani mas Gibran atau sendiri. Punya suami berpenghasilan lumayan, kenapa tidak aku pakai buat senang-senang sesekali. Aku bukannya boros. Namun, ada kalanya aku jenuh terus diam di rumah. Dan mall jelas sueganya para wanita yang gemar berbelanja.Mas Gibran juga tidak mempermasalahkan uangnya aku pakai buat belanja seperti ini. Namun, yang mempermasalahkan justru mamah mertuku. Dia mengatakan jadi wanita itu harus hemat, cukup keluar uang buat beli bahan dapur saja. Selebihnya simpan buat masa depan. Lah, itu kalau aku dan mas Gibran hidup masih lama, ya uang itu bisa kepakai buat masa depan. Lalu bila aku mati besok, uangnya percuma dong disimpan. Lagipula aku bukan orang pelit untuk kebutuhan sendiri, bahkan ms Gibran yang menyuruhku langsung untuk belanja kesukaanku. Masalah uang, tentu saja tanpa sepengetahuan orang lain aku sudah menabung cukup banyak.Sedang asyik memilih pakian, tak sengaja aku melihat Fika bersama seorang laki-laki. Aku menyeringai licik begitu melihat kemesraan mereka. Hm, jadi wanita seperti ini menantu idaman ibu mertuaku. Jadi gak sabar ingin melihat pertunjukan di masa depan.Segera ku keluarkan handphonku. Setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan, diam-diam aku mengambil beberapa poto Fika yang terlihat intim bersama laki-laki di sampingnya. Setelah merasa cukup, dengan seolah baru pertama berjumpa, aku memasang wajah kaget."Fika?" Tanyaku seolah tak percaya bisa bertemu di toko pakaian. Aku melirik laki-laki yang berdiri di samping Fika sambil merangkul mesra pinggang Fika.Mengetahui ke mana arah pandangan mataku, segera Fika melepaskan tangan laki-laki itu dari pinggangnya. Seperyi orang tengah kepergok selingkuh, Fika terlihat gelisah."Siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang kini menatap Fika dan aku bergantian. Mungkin dia tidak mengerti, kenapa seakan Fika ketakutan saat aku memergokinya."Ngapain kamu di sini?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Fika malah mengajukan pertanyaan lain padaku. Terlihat sekali dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.Kupasang wajah angkuh dan sombong. "Belanja, memangnya apa lagi? Uang suamiku banyak, kalau tidak kubelanjakan takutnya makin tertumpuk."Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M
"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke
Setelah terdiam cukup lama, bu Yulis menghembusakan napas kasar. Dia memandangi Devina rumit, mungkin memikirkan egonya yang akan tercoreng bila salah mengambil keputusan."Kamu maunya gimana, Vina?" Bu Yulis menatap Devina semrawut. Dia mengacak-acak sanggul rambutnya kasar sehingga jadi kusut.Devina menunduk menyembunyikan wajahnya dari semua orang. "Vina ngikutin Ibu saja. Kalau Ibu nersedia datangin rumahnya Aryo, Vina ikut, tapi kalau Ibu tidak mau, Vina gak apa-apa selamanya gini asal Ibu tidak menanggung malu akibat perbuatan Vina ini."Bu Yulis mengusap kasar pipinya yang terdapat lelehan air mata. "Kenapa sih kamu itu harus hamil? Cape-cape Ibu biayain kamu. Kamu pikir Ibu gak cape apa cari uang sendiri buat biayain sekolah kamu? Cape Vina, Cape! Lalu apa yang kamu berikan pada Ibu? Kamu malah memberikan ibu Aib."Bahu Devina bergetar. Aku terkejut begitu Devina jatuh berlutut sambil memegangi kaki bu Yulis. "Maaf. Maaf. Maaf. Maafin Vina bu, Vina khilaf. Ibu hukum saja Vina
Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Devina. Setelah mendapat anggukan dari Devina, aku kembali meluruskan pandangan ke arah Aryo yang masih menunduk."Boleh," ucapku.Perlahan Aryo memgangkat kepalanya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri Aryo untuk menyerahkan baby Aydan. Dengan tangan bergetar, Aryo menerima baby Aydan.Terlihat sekali Aryo belum tahu cara menggendong bayi dengan benar. Aryo memangku baby Aydan seperti memegang bagi di antara dua tangannya. Aku tertawa pelan dan membenarkan letak pangkuan Aryo pada baby Aydan, barulah baby Aydan terlihat nyaman dalam gendongan ayah biologisnya.Lama sekali Aryo diam dengan pandangan menatap lekat baby Aydan dalam pangkuannya. Tangannya mengusap pelan pipi gembul kemerah-merahan baby Aydan. Sejatinya baby Aydan adalah bayi yang tidak rewel, maka saat Aryo memangkunya, baby Aydan hanya diam tenang dengan balik menatap Aryo."Kapan waktu tepatnya kita akan melaksanakan pernikahan itu?" Pak Ridwan kembali angkat suara setelah ter
"Mas," aku menatap mas Gibran penuh peringatan. Kenapa nada suaranya malah jadi tidak bersahabat begitu? Cemburunya tak beralasan. Mas Gibran menatapku jengkel sekaligus kesal. Aku tahu alasan kenapa mas Gibran menatapku begitu, apalagi kalau bukan bentuk protes dari peringatanku."Silahkan masuk, Mas Ferdi." Dengan sopan kupersilahkan masuk tamuku yang datang di waktu tidak tepat itu.Ferdi masuk ke dalam rumah dan duduk dengan nyaman di atas sopa. Namun, saat aku ingin menghampirinya, mas Gibran menahan pergelangan tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku menunggu mas Gibran bicara."Siapa dia?"Ingin sekali aku memutar bola mataku ini kalau tidak takut dosa karena mencela suami sendiri. "Mas, apa kamu lupa? Dia itu laki-laki yang ada di foto yang aku tunjukan beberapa hari lalu. Dia itu tunangannya Fika. Apa sekarang Mas sudah ingat?"Mas Gibran menepuk jidatnya saat ingatan itu kembali. Dia cengengesan karena sudah salah mencemburui orang. Dengan wajah yang kembali normal, mas Gib
Mas Gibran mendongak, "perasaan Mas saja atau bukan, kamu tidak pernah ada datang bulan lagi sekitar dari tiga bualan yang lalu. Benar tidak?"Aku tertegun. Benar juga, memang dua bulan terakhir ini aku tidak datang bulan. Namun, dulu juga pernah gitu. Aku sudah bahagia karena menyangka hamil, tapi pas aku cek pakai testpack ternyata hasilnya negativ. "Apa mau diperiksa dulu, pakai testpak gitu?" Mas Gibran menatapku berbinar. Kentara sekali dia begitu mengharapkan seorang anak tumbuh di rahimku, tapi aku takut hasilnya negatif lagi. Kecewanya tak bisa aku bayangkan."Aku..., takut hasilnya kayak dulu." Aku menunduk balas menatap mata mas Gibran dengan sorot merasa bersalah. Mas Gibran tersenyum menenangkan. Dia bangun dari tiduran di atas pahaku, lalu membawa aku ke dalam pelukannya. "Kalau kamu tidak mau, Mas tidak akan memaksa. Jadi kamu tidak perlu memikirkan ucapan Mas yang tadi!""Iya, Mas.""Sekarang ayo kita bersiap, bukankah Mas sudah bilang kita akan makan malam di luar? B
Aku menggoyangkan mulut, menimbang tawaran mas Ferdi. Kalau menolak, bagaimana dengan baby Aydan yang akan kehujanan? Tapi kalau mengiyakan, aku takut ada orang salah faham dan berburuk sangka. Mendapati situasi sulit seperti ini, membuat aku makin kesel saja pada mas Gibran. Memangnya sepenting apa pekerjaan dia itu sampai nekat meninggalkan istri dan anak di restoran gini? Mana tidak nyimpen uang lagi. Mau bagaimana lagi, aku harus mengutamakan baby Aydan. Kalau sampai dia kehujanan nanti dia bisa sakit. Aky menoleh ke arah mas Ferdi, mengangguk sebagai jawaban dari tawarannya tadi."Kalau begitu mari, mobil saya ada di sana." Mas Ferdi menunjuk sebuah mobil putih yang terparkir sejauh 15 meter dari tempat aku berdiri sekarang. "Ya, mari." Aku menjawab. Aku mengikuti mas Ferdi menuju mobilnya. Entah kenapa perasaan aku menjadi tidak enak, punggung terasa dingin. Mungkin hanya karena udara malam, aku mengenyahkan pikiran buruk itu segera. Saat masuk ke dalam mobil, mas Ferdi me