Setelah kepergian Riska, aku menyalakan mesin mobil, lalu melajukannya menuju rumah Ibu yang terletak di ujung kota. Biasanya aku akan berkunjung jika suasana hati sedang tak nyaman, selain acara keluarga tentunya.
Harusnya di masa tua, aku mempunyai banyak waktu untuk mengurus Ibu, bukannya sibuk bekerja. Namun, ada banyak perut yang aku hidupi di bengkel sekalipun usaha kecil-kecilan.
Ibu menyambutku dengan senang. Hal itu terlihat ketika dia tergopoh-gopoh membukakan pintu saat aku mengucap salam.
"Tumben datang? Istrimu gak masak?" Begitulah pertanyaan yang akan Ibu ucapkan jika aku tiba-tiba datang.
"Riska ke butik pagi-pagi, Bu. Lagi banyak pesanan," jawabku santai sembari membuka sepatu dan duduk di sofa ruang tamu.
"Ayo cuci tangan. Kamu pasti lapar," ajak Ibu sembari menarik lenganku menuju ruang makan.
Rumah peninggalan mendiang Bapak ini memang sederhana karena hanya memiliki dua kamar. Ruang tempat kami makan berdekatan dengan dapur, sehingga memang terasa agak sempit.
Ibu menolak saat aku hendak merenovasinya. Beliau tidak ingin mengubah apa pun peninggalan Bapak karena akan menghilangkan kenangannya, kecuali memperbaiki bagian yang rusak atau mengganti cat tembok jika sudah kusam.
"Ibu masak apa?" tanyaku sembari menggulung lengan baju dan menarik kursi.
Ibu tak menjawab, tetapi langsung membuka tutup sajian. Seketika, menguarlah aroma harum rawon dengan kuah yang pekat. Ibu memang jagonya jika mengolah masakan. Riska kalah jauh karena tak terbiasa berada di dapur sejak kecil. Keluarga yang berkecukupan membuat istriku dimanjakan oleh orang tuanya.
"Kesukaan Bapak ini. Kalau Ibu bikin, pasti dua kali tambah nasi," ucap Ibu sembari mengulum senyum.
Ada rasa perih mengiris hatiku ketika Ibu mengatakan itu. Betapa beliau sangat mencintai suaminya hingga tak berniat berpindah hati. Sewaktu Bapak berpulang, aku masih berusia 17 tahun dan Dina 14 tahun. Aku yang saat itu masih mengikuti pelajaran di sekolah, tiba-tiba diminta pulang karena Bapak telah tiada.
"Ini kesukaan Rahman juga, Bu," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Biasanya mata Ibu akan berkaca-kaca setelah senyumnya lenyap. Padahal sudah belasan tahun Bapak meninggalkan kami, tetapi kenangannya tak pernah hilang dari hati.
"Tapi kamu ndak nambah nasi. Kalau Bapakmu iya. Terus sambalnya yang banyak sampai kepedesan."
Benar saja, tak lama setelah mengucapkan itu, Ibu mengusap sudut matanya. Aku meraih jemari beliau dan menggenggamnya erat.
"Ikhlas, kan, Bu."
"Ikhlas, tapi Ibu kangen."
Aku tersenyum menatapnya, lalu mengambil mangkuk yang disodorkan Ibu dan menyendok cabai yang cukup banyak.
Ketika mulai menyuap, rasa panas langsung menjalar di lidah. Aku mengipas mulut dengan tangan dan mengambil air putih dengan cepat.
Ibu tergelak dan lupa akan kesedihannya. Aku memang sengaja bertingkah seperti itu untuk menghiburnya. Apa yang aku lakukan tadi mirip sekali dengan tingkah Bapak dulu.
"Dina mana, Bu?" tanyaku sembari menambahkan sepotong telur asin di piring, lalu mengahabiskannya dalam beberapa suap.
"Di kamar. Ngurusin bayinya. Biasanya sebentar lagi keluar."
Kami melanjutkan makan dan asyik berbincang, hingga tak lama kemudian Dina muncul dari kamar.
"Sendirian, Mas?"
"Iya. Mbakmu lagi ngurus butik."
"Mas gak kerja?" tanya Dina sembari menarik kursi dan mengambil piring.
Aku sudah tak heran melihat porsi makan Dina yang cukup banyak sekalipun tubuhnya kecil.
"Bengkel tutup. Mas kurang sehat," jawabku singkat.
"Harusnya kalau Mas sakit, Mbak Riska gak usah kerja. Dia kan punya usaha sendiri. Tutup saja butiknya. Masa' suami sendiri gak diurus. Nyiapin makanan juga gak mau!"
Aku tersentak mendengar ucapan Dina yang begitu ketus. Sejak dulu, dia memang tak suka dengan istriku. Sewaktu kami berpacaran, Riska pernah menegurnya karena berpakaian terlalu minim saat akan dibawa jalan-jalan. Bagi kami yang terlahir dari keluarga biasa, pergi ke sebuah mall adalah momen yang langka. Adikku ingin tampil berbeda, tetapi itu justru membuat malu.
Kekesalan Dina bertambah saat Riska menolak untuk meloloskan suaminya masuk pegawai negeri, lewat jalur belakang dari papa mertuaku. Kata istriku, keluarga mereka bahkan tak pernah melakukan itu, apalagi untuk orang lain.
Riska sendiri malah berwirausaha dan nenolak menjadi pegawai negeri. Sejak itulah, setiap kali ada satu kesalahan kecil, maka Dina akan memojokkan istriku. Terlebih saat kami belum mendapat keturunan.
"Mas cuma flu terus kangen masakan Ibu. Biasanya juga beli kalau Mbakmu gak keburu masak. Dia lagi banyak orderan."
"Halah. Jadi istri kok--"
"Dina!" tegur Ibu yang membuat adikku terdiam.
Sejak tadi Ibu hanya menyimak pembicaraan kami tanpa menyela. Beliau asyik menikmati rawon sembari menatap ke arahku.
"Kita lagi makan. Baiknya ndak usah bahas itu. Lagian Masmu baru datang kok sambutannya begitu," tegur ibuku lagi.
"Tapi, benar kan, Bu? Mbak Riska memang--"
"Sudah, jangan dibahas terus. Riska juga ke butik nyari rezeki. Bukan macem-macem."
Dina mencebikkan bibir lalu menyuap makan. Kami kembali berbincang, membahas banyak hal hingga terdengar tangis bayi.
"Anakmu bangun," kataku ketika melihat Dina tetap santai makan dan mengabaikan tangisan itu.
"Iya, bentar. Lapar ini, Mas."
Melihat Dina yang belum beranjak, akhirnya aku yang bergegas ke kamar karena tangisan itu semakin kencang.
"Halo Bagas yang ganteng. Ini om datang," sapaku ketika menggendong si mungil itu. Usianya delapan bulan dan sudah bisa tengkurap. Jadi, jika kita lengah bisa saja dia jatuh dari kasur.
Bagas terlihat senang saat kudekap. Ah, rasanya aku ingin sekali melakukan hal yang sama dengan darah dagingku sendiri.
"Ayo, ikut om ke depan. Kita ketemu sama mama, ya."
Aku membawanya menuju ruang makan dan kembali duduk. Dina sudah selesai makan, jadi dia langsung mengambil putranya. Ibu sudah tak terlihat, mungkin sudah di kamar.
"Suami kamu pulang jam berapa?" tanyaku sembari bermain dengan keponakan.
"Jam lima. Kadang ambil lembur sampai jam tujuh," jawab Dina tak bersemangat.
"Ya baguslah. Kalau lembur dapat uang tambahan."
"Tapi tetap aja berat, Mas. Coba dulu lulu pegawai negeri. Pasti kehidupan kami sudah enak. Punya rumah sendiri, gak numpang sama Ibu," keluh Dina.
Aku menghela napas. Adikku lagi-lagi mengungkit tentang itu. Jika aku tanggapi, maka Riska lagi yang akan disalahkan.
"Ibu mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Tidur. Dari pagi masak. Biasanya jam segini istirahat."
"Kalau gitu Mas pulang aja, deh. Mau istirahat di rumah," pamitku saat mencium pelipis keponakanku.
"Mas."
"Ya?"
"Susu Bagas habis. Uangku ... tipis."
Aku menatap Dina lekat, lalu mengeluarkan dompet dan dua lembar uang merah.
"Makasih, Mas. Kamu dari dulu memang banyak menolong kami."
Aku mengusap kepala Dina, lalu berjalan menuju kamar Ibu. Setelah mengetuk pintu, aku segera masuk dan duduk di pinggir ranjang.
"Kamu kenapa datang? Berantem sama Riska?"
Aku mengulum senyum karena pertanyaan itu benar adanya. Sejak dulu Ibu memang mengerti kondisiku. Perasaannya begitu kuat jika ada sesuatu yang tidak beres dari anak-anaknya.
"Biasalah, Bu. Namanya suami istri. Ada aja yang yang gak sepaham," jawabku tenang.
"Ngalah, Le. Jangan nuruti emosi. Perempuan kalau ngomel itu paling cuma sebentar. Habis itu ya baikan lagi."
Aku mengiyakan semua ucapan Ibu, lalu berbaring di sebelahnya. Mendengarkan beliau bercerita banyak hal, mungkin bisa mengobati rasa rindu.
"Rahman pamit ya, Bu."
"Kok buru-buru? Katanya bengkel tutup."
"Mau ke butik, Bu. Minta maaf sama Riska. Aku banyak salahnya."
"Ya sudah, sana. Bujuk istrimu. Pasangan itu ibarat pakaian bagi kita. Jadi, jagalah dia baik-baik apa pun kekurangannya."
Aku memeluk Ibu dengan erat, lalu mencium pipinya lembut. Setelah berpamitan, aku keluar untuk bertemu Dina sebentar dan melajukan mobil menuju butik. Rasanya hatiku tak tenang jika Riska masih marah.
***
"Ibu di dalam. Ada pelanggan, Pak," jawab salah satu karyawan saat aku bertanya Riska di mana.
Aku memilih duduk di sofa depan sembari menunggu. Biasanya, jika istriku menerima tamu di ruangannya, maka ada orderan khusus yang jumlahnya banyak.
Kuraih ponsel dan mengutak-atik untuk mengusir kebosanan. Setengah jam berlalu dan pintu ruangan Riska terbuka.
Aku menoleh dan mendapati Riska sedang tertawa senang sembari berbincang dengan seorang wanita. Kutatap sekali lagi tamu istriku dan tiba-tiba saja jantungku berdebar lebih kencang.
Bukankah itu ....
"Rahman?"
Aku membuang pandangan dan menarik napas panjang agar tak terlihat gugup.
"Tante kenal suami saya?" tanya Riska.
"Oh, iya kenal, dong. Dulu sering ketemu. Ya kan, Rahman?"
Aku menelan ludah, lalu berdiri dan menyalaminya.
"Kamu lupa ya sama Tante?" tanya wanita itu.
"Eh, iya. Sudah lama gak ketemu."
"Sekarang sombong karena sudah sukses. Padahal dulu--"
"Sayang, aku datang mau jemput kamu," kupotong ucapan wanita itu agar tak banyak mengoceh.
"Kok cepat sih, Mas? Ini masih siang," tanya Riska heran.
"Ya gak apa-apa. Ada yang mau diomingin," kataku sembari melirik wanita itu agar dia tahu diri dan segera pergi.
"Kalau gitu Tante permisi, ya. Urusan kita juga udah selesai. Sampai ketemu lagi, Rahman," ucapnya seraya menyenggol bahuku.
Aku kembali membuang pandangan saat Riska menatapku lekat. Kuraih jemarinya sembari melengkungkan senyum agar dia tak curiga.
Sialan. Kenapa Sinta ada di sini?
Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada."Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah."Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat.Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal.Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir."Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu."
Keesokan harinya.Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal."Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt.Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil."Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan.Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di dep
Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasasedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis."Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja."Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan
Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli."Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya."Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga."Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta seme
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban
Aku menghela napas setelah Sinta pergi dan memintanya datang kembali untuk bertemu dengan Riska esok hari. Untunglah dia tak berani berulah selama di butik, karena aku mengancam akan mencekik lehernya jika sampai berbuat nekat."Tadi ada tamu?" tanya Riska saat kembali setelah makan siang.Aku sendiri memesan makanan online untuk makan siang dan beberapa karyawaan butik. Sepertinya besok aku tidak akan datang ke sini, mengingat cukup bahaya jika sampai bertemu dengan 'ular' itu lagi."Sinta. Katanya mau pesen baju lagi. Entah buat apa aku gak tanya," jawabku santai saat menemui Riska di depan.Aku sudah selesai menyortir kain dan itu terasa membosankan karena tidak ada tantangannya sama sekali. Berbeda dengan bengkel yang membuatku lebih 'hidup' saat mengerjakannya."Iya, Bu. Tadi Ibu Sinta datang, terus Bapak terima di ruang belakang."Aku tersentak mendengarnya. Secara bersamaan kami menoleh ke arah karyawan yang mengatakan itu tadi. Aku m