Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada.
"Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.
Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah.
"Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat.
Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal.
Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir.
"Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu."
Pertanyaan itu membuyarkan konsentrasiku. Mata Riska menatap dengan penuh selidik dengan tangan yang terlipat di dada. Seketika aku menjadi gemas melihat ekspresinya.
"Lupa."
Kukeluarkan jawaban andalah kaum Adam jika malas menjelaskan sesuatu. Berpura-pura tak mengingat itu adalah jalan teraman agar tak mendapat amukan dari kaum Hawa.
Seayu apapun Riska, dia akan berubah menjadi singa betina jika emosinya memuncak. Apalagi jika sampai dia tahu hubunganku dan Sinta dulu. Ditambah kondisiku yang sekarang, maka lengkaplah sudah.
"Dia itu pelanggan butik beberapa bulan ini. Gak tau dapat rekomendasi dari mana. Kalau pesan gaun pasti yang paling mahal, terus maunya aku sendiri yang jahit, bukan karyawan," jelasnya.
"Memangnya dia kerja apa? Kok banyak banget uangnya?" tanyaku pura-pura tidak tahu sembari fokus menyetir, padahal dalam hati berdebar kencang.
"Istri pejabat. Uangnya banyak, gak ada serinya kali. Ngalir kayak air," lanjut Riska.
"Ada pesenan apa sampai dibilang tamu penting?" tanyaku lagi, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kebaya sama beskap buat acara keluarga bulan depan. Lima belas pasang. Katanya sih, ada keponakannya mau nikahan. Dia nyumbang itu."
Riska tampak bersemangat saat menjelaskan. Wajahnya berseri-seri setiap kali membicarakan pekerjaan. Itulah yang membuat aku jatuh hati selain kebaikan hatinya.
Sayang, Riska tak tahu masa lalu suaminya. Aku memang pengecut, tak berani mengatakan semua kebenaran itu hingga kini. Belum siap jika sampai kehilangan orang-orang yang disayang hanya karena masa lalu yang buruk.
Tak semua orang bisa menerima keadaan kita yang sekarang, sekalipun telah berubah dan memperbaiki diri. Lalu, ketika aku sudah bersunguh-sungguh melakukan itu, mengapa ujian datang kembali?
Beginikah jalan hidup manusia? Diuji tiada henti hingga kelak ajal menjemput?
"Banyak, dong dapat cuannya," candaku yang sukses menciptakan lengkung manis dibibirnya.
"Buat bonus anak-anak akhir tahun."
Kami bercerita seperti biasanya, mengalir seolah-olah tidak pernah bertengkar sebelumnya. Sesampainya di rumah, kuparkir mobil dengan cantik di halaman depan. Tempat berteduh sederhana yang dibeli berdua dengan hasil usaha sendiri.
Begitu daun pintu tertutup, kutarik lembut lengannya. Aku rindu. Selama satu minggu tak memeluknya, terasa ada yang hampa.
"Baru nyampai juga." Pipi Riska merona.
Sikapnya itu membuatku gemas dan semakin erat merengkuhnya.
"Masih marah?" tanyaku mesra.
Riska membuang pandangan sembari menggeleng. Lalu, kubawa di ke kamar dan menyelesaikan semua.
***
Aku terbangun saat dering ponsel berbunyi tiada henti. Sepertinya aku mengaktifkam mode silnet karena terlalu lelah dengan kebersaaman bersama Riska seharian ini.
Kunyalakan lampu kamar dan melirik ke arah jam di dinding. Jarumnya menunjukkan angka satu. Siapa yang iseng menelepon tengah malam begini?
Aku mengambil ponsel dan melihat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Kuangkat pada dering ke sekian. Siapa tahu memang penting, bukan?
"Rahman, ini Sinta." Terdengar suara lembut san agak serak di seberang sana.
Aku mengumpat berkali-kali. Untuk apalagi dia menganggu. Nomornya yang dulu pernah menghubungi, sudah kublokir. Salahku malah lupa mengganti dengan nomor sendiri dengan yang baru.
"Jangan ganggu aku lagi," bisikku karena takut Riska terbangun. Aku bahkan menutup mulut saat berbicara.
"Tapi aku kangen."
"Aku sudah gak kerja begitu lagi. Baiknya Tante cari orang lain," jawabku cepat.
"Aku gak bisa lupain kamu. Aku, kan, orang yang pertama kali sama kamu. Inget malam itu, gak?" katanya lagi.
Pertanyaan itu membuatku geram dan ingin segera memutuskan sambungan.
"Aku sudah bahagia. Tolong jangan rusak rumah tanggaku. Tante juga punya keluarga. Jangan mempermalukan diri sendiri."
Tut!
Sambungan telepon kuputus begitu saja bersamaan dengan kepala yang terasa sakit karena terbangun tadi. Aku berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka, menatap wajah berdosa ini dari pantulan kaca.
Entah bagaimana kehidupan ini akan berlangsung kedepannya. Aku hanya bisa pasrah. Kadang, kita memang harus menerima takdir yang telah ditetapkan sekalipun itu menyakitkan. Maka berdamai dengannya adalah jalan menuju ketenangan hati.
Aku kembali ke kamar dan mengambil segelas air di meja dan menghabiskannya dengan cepat, lalu duduk di ranjang, hendak melanjutkan tidur.
Ponsel kembali berbunyi. Aku membukanya karena ada sebuah pesan yang masuk.
'Aku mau ketemu. Berdua. Kalau kamu gak mau juga, aku sebar foto-foto kita.'
"Foto? Ah, si--"
Kuabaikan lagi, karena jika diladeni malah akan semakin menjadi. Lalu, sebuah gambar aku dan dia, entah di malam yang mana, muncul di pesan itu.
Aku segera menghapusnya karena merasa jijik melihat perilaku yang dulu. Selain itu, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Riska membuka ponselku.
Kami memang menjaga privasi dengan tidak mencampuri urusan masing-masing. Namun, kadang-kadang aku membiarkan Riska memakai ponselku jika dia ingin meminta nomor seseorang.
"Mas."
Panggilan Riska mengangetkanku.
"Apa, Sayang?"
"Siapa telepon? Kok, Mas bisik-bisik?" tanyanya dengan mata yang masih terpejam.
Aku segera merengkuh Riska dengan erat lalu mengusap anak rambutnya yang terjuntai di pelipis.
"Anak bengkel," jawabku berbohong.
"Ada apa malam begini?"
Riska membuka mata dan menatapku lekat, lalu membenamkan kepalanya ke dalam dekapanku.
"Mau ... pijam uang."
Riska mengeratkan pelukan dan kembali memejamkan mata. Aku mengucap syukur dalam hati bahwa dia tak curiga dan kembali tidur.
Sepertinya, aku memang harus bertemu dengan Sinta untuk menyelesaikan semua. Wanita itu akan terus meneror selama keinginannya belum terpenuhi.
Keesokan harinya.Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal."Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt.Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil."Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan.Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di dep
Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasasedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis."Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja."Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan
Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli."Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya."Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga."Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta seme
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban
Aku menghela napas setelah Sinta pergi dan memintanya datang kembali untuk bertemu dengan Riska esok hari. Untunglah dia tak berani berulah selama di butik, karena aku mengancam akan mencekik lehernya jika sampai berbuat nekat."Tadi ada tamu?" tanya Riska saat kembali setelah makan siang.Aku sendiri memesan makanan online untuk makan siang dan beberapa karyawaan butik. Sepertinya besok aku tidak akan datang ke sini, mengingat cukup bahaya jika sampai bertemu dengan 'ular' itu lagi."Sinta. Katanya mau pesen baju lagi. Entah buat apa aku gak tanya," jawabku santai saat menemui Riska di depan.Aku sudah selesai menyortir kain dan itu terasa membosankan karena tidak ada tantangannya sama sekali. Berbeda dengan bengkel yang membuatku lebih 'hidup' saat mengerjakannya."Iya, Bu. Tadi Ibu Sinta datang, terus Bapak terima di ruang belakang."Aku tersentak mendengarnya. Secara bersamaan kami menoleh ke arah karyawan yang mengatakan itu tadi. Aku m
Hari ini aku bergegas ke rumah sakit hendak menemui Fredy untuk bertanya perihal foto-foto itu. Aku menyesal mengapa kemarin tidak mengambil itu dari tasnya.Riska berangkat ke butik pagi-pagi karena ada janji temu dengan Sinta. Untunglah dia mengerti bahwa aku tak bisa membantu menyortir kain, setelah kuceritakan kejadian di rumah sakit kemarin.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi karena mengejar waktu. Begitu tiba di sana, aku langsung menuju kamar tempat Fredy dirawat."Hai, Bro. Udah sehat?" sapaku ramah.Aku berniat menggali semua informasi sehingga memilih berpura-pura tidak tahu. Kemunculan Sinta yang tiba-tiba, kebakaran bengkel, dan pertemuan tak sengaja dengan Fredy yang terjadi dalam waktu dekat, membuat prasangka di hati ini semakin menjadi-jadi."Lebih baikan. Thanks Bro karena udah bawa aku ke sini. Kalau gak, mungkin aku udah lewat," ucapnya sembari tersenyum.Aku memulai perbincangan agar suasana mencair dan tidak k