Meski gagal, tekad untuk berpisah dari Edward belum juga pudar. Setelah semalam bertengkar hebat dan bahkan mendapat luka baru, pagi ini pria itu justru bersikap manis padanya. Edward seperti menyesali perbuatannya, tapi gengsi untuk sekedar meminta maaf? Entahlah, hanya Edward dan Tuhan yang tau. “Bangun, setelah itu sarapan,” suruh Edward lebih lembut, mengusap kepala Meta agar gadis itu membuka mata. Pandangan keduanya bertemu, tidak satu pun yang berniat untuk mengalihkan pandangan. Keduanya saling menenggelamkan satu sama lain lewat tatapan. “Maaf udah buat kamu marah,” gumam Meta. Edward mengangguk kecil, membantu gadis itu untuk duduk. Pria itu mengangkat sedikit baju tidur yang Meta kenakan, lantas mengoleskan saleb ke luka akibat ulahnya. “Jangan diulangi. Kamu tau aku gak akan diam aja, melihat tingkah kamu kemarin,” Meta mengangguk kecil, sangat polos seperti anak kecil yang baru dinasehati orang tuanya. Gadis itu menurut saja, saat Edward malah mengangkat tubuhnya, me
Edward sadar akan kehilangan Meta saat melanggar sebuah kesepakatan yang dia buat dengan Regano. Pria itu meneguk wine yang ke sekian kalinya. Pintu ruangan yang terbuka menarik atensi pria itu. Dia terkekeh, menyadari berakhirnya sebuah permainan. Di tempat yang sama dengan kesepakatan itu dibuat, di situ pula dia akan mengakui kekalahannya.Regano mengambil posisi di hadapan Edward, menuang wine ke dalam gelas, lantas meneguknya hingga kandas.“Aku pikir kamu akan pergi bersenang-senang, bersama mereka yang tidak bisa memenuhi target,” ucap Regano membuka pembicaraan. Biasa kalau Edward sedang stress, pelariannya pasti memainkan alat-alat kesayangannya. Suasana hatinya akan kembali saat korbannya menderita dan memohon ampun padanya.“Aku tidak ingin dia semakin membenciku. Bukan, aku tidak ingin dia terseret dalam duniaku yang semakin gelap. Dia terlalu bersih untuk kuberi warna hitam,” ungkap Edward terkekeh, ada sekelibat rasa pedih yang tampak di mata pria itu.Regano menuang wi
Edward memutuskan untuk tidak pulang malam itu, memilih menginap di motel milik keluarganya. Setelah minum wine dan mabuk, dia benar-benar tertidur pulas, sampai Regano yang bersamanya begitu tidak tega. Bagaimana jika pada akhirnya Edward harus kehilangan Meta untuk selamanya. Apa Edward sungguh akan baik-baik saja? “Mau ke mana?” tanya Regano saat Edward mengambil kunci mobil serta ponselnya. Pria itu baru bangun, mencuci wajah dan hendak pergi. “Menemui Meta,” sahut Edward singkat. “Dia udah tau kebenarannya. Bukankah lebih baik kalau kamu tidak menemuinya sekarang. Dia mungkin akan melakukan hal gila,” ungkap Regano menahan kepergian Edward. Pria itu tetap sahabatnya. Regano juga jadi bimbang harus berada di pihak siapa. Dia tahu Meta pasti membenci Edward setelah mengetahui kenyataanya. Namun, di sisi lain, Edward juga hanya seseorang yang merasa bersalah dan menuntut balas ata kematian saudarinya sendiri. Edward terkekeh, menatap remeh pada Regano. “Kamu pikir akan sepengecu
Untuk pertama kalinya, Edward terbaring lemah dengan alat-alat rumah sakit yang menopang hidupnya. Alat pendeteksi detak jantung, menunjukkan bahwa putranya itu sedang berjuang, atau mungkin Edward ingin beristirahat sejenak.Pria itu pasti lelah dengan semua kesibukan dan beban yang harus dia tanggung sebagai seorang leader serta orang yang berpengaruh di world agency. Dari lantai dasar tanpak seorang wanita berjalan terburu-buru, menanyakan keberadaan putranya.Wanita itu adalah Azura, si paling merasa bersalah atas masa lalu. Namun, tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki kesalahannya. Azura melangkah lebar, air mata tidak berhenti membasai pipi wanita paruh baya tersebut. Baru kemarin, dia dan putranya berpergian bersama, setelah bertahun-tahun berlalu.“Di mana dia? Apa dia baik-baik saja?” cecar wanita itu. Ren menunjuk sebuah ruanga, di mana Edward dirawat.Azura menangis pilu, mendapati putranya yang berjuang di dalam sana.“Apa yang terjadi?”Ren menghela napas sejena
Dia harus melanjutkan hidup, apa pun yang terjadi. Di rumah baru yang tidak terlalu besar, Meta harus memulai hidup barunya. Sulit, apalagi setelah semua hal buruk yang menimpa akhir-akhir ini. Gadis dengan perut mulai tampak menonjol itu harus melakukan segalanya seorang diri. Sesekali Regano akan mengunjunginya, membantu gadis itu. Regano benar-benar menjadi dukungan terbesar yang dimilikinya untuk saat ini.Hanya Regano yang akan ada saat perutnya terasa sakit. Regano yang akan membantunya belanja kebutuhan bulanan. Edward? Meta memilih untuk pura-pura tidak tahu saja. Dia berusaha semaksima mungkin untuk tidak membahas pria itu yang entah bagaimana kabarnya saat ini. Entah pria itu meninggal atau justru masih berbaring di rumah sakit.Meta berusaha keras mengenyahkan masalah Edward dari dalam benaknya, bersikap seolah pria itu tidak pernah ada di skenario hidupnya yang berubah secara drastis. Meta akan menganggap jika bayi itu adalah anaknya dari seseorang yang tidak ingin dia ing
Suasana hati Meta memburuk setelah makan di luar bersama Regano. Rupanya dikenal dan dijadikan sebagai istri seseorang yang cukup berpengaruh kadang tidak nyaman. Mereka membicarakan Meta dan itu cukup mengganggu. Keberadaan Regano yang juga dikenal sebagai sahabat terdekat Edward justru semakin memperkerush suasana. Dikasih leader, kok milihny asisten? Jangan-jangan dia udah hamil sama orang kepercayaan Regano, makanya udah gak sama Edward lagi. Menjijikan! Kemarin kabur ke luar negeri, sekarang pergi bersama pria lain. Meta muak, tidak memiliki nafsu untuk makan. Dia juga tidak memiliki niatan untuk memberikan penjelasan. Orang-orang itu juga tidak akan mengerti apa yang Meta alami. Mereka juga tidak akan percaya jika Edward bukan leader seperti dalam benak mereka. “Aku masakin makanan aja ya,” tawar Regano. Meta yang tengah memejamkan mata di sofa hanya berdehem pelan. Untuk membuka mata saja gadis itu sangat enggan. “Ta,” panggil Regano. Meta akhirnya membuka mata. Kalau s
Dia mencintaimu, Nak. Pengakuan dari Azura terus mengganggu pikiran gadis itu. Dia menatap ke depan, pada sosok dosen yang tengah memberikan pembahasan materi, tetapi perhatiannya entah di mana. Pikirannya melayang-layang. “Untuk hari ini, kita hanya bahas tentang garis besar materi untuk satu semester, jadi silakan bentuk kelompok sendiri, lalu buat penjelasan terkait. Sekian untuk sore ini, selamat sore semua,” ucap sang Profesor, mengakhiri perkuliahan yang hanya berjalan sekitar setengah jam saja. Awal perkuliahan diisi hanya penjelasan terkait materi, selebihnya para mahasiswa/I yang akan membahas materi tersebut lebih lanjut, dalam bentuk tim. Terkait Alec, Meta baru tahu setelah masuk kuliah, kalau pria itu tidak lagi melanjutkan pendidikannya. Pilihan yang dibuat Regano saat itu. Meski Edward memerintah agar Alec dihabisi, Regano tidak sebodoh itu untuk mengikuti kemauan Edward. Lagipula Meta yang lebih dulu mengajak Alec, tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada.
Meta tahu ada banyak penyesalan dalam hidupnya, terutama tentang pertemuannya dengan Xadira. Hanya kalau dipikir-pikir, dia hanya manusia biasa yang skenario hidup diatur oleh Sang Pencipta. Sekeras apa pun, dia menyangkal, takdir tetaplah takdir. Semua orang juga memiliki banyak penyesalan, kenapa aku gak begini aja dulu? Kenapa aku gak menolak untuk berteman dengan Xadira? Kenapa aku harus membawa Xadira waktu itu? Kemudian akan ada kata seandainya aku tidak membuka kotak pandora itu. Seandainya aku tidak berteman dengan Xadira. Semua hanya akan jadi sesuatu yang sia-sia. Meta marah karena Edward yang membunuh ibunya. Dalam keadaan itu, dia kemudian membalaskan rasa sakit, yang justru membuat lukanya semakin menganga. Dia kehilangan sesosok orang yang berhasil membuat dia jatuh hati. “Kamu akan menunggunya?” Pertanyaan dari Ren yang belum juga menemukan jawaban. Pilihannya hanya dua, kembali dan menyembuhkan luka atau tenggelam dalam rasa bersalah dan kehilangan Edward untuk sela