“Om nggak istirahat?”
Sandy menoleh kepada Ksatria yang bertanya dengan pelan. Hari mulai beranjak malam, tapi Ksatria tidak beranjak sedikit pun dari kamar rawat inap Rinai sejak siang tadi tiba di rumah sakit.
“Kamu sendiri nggak pulang?”
Ksatria langsung menegakkan tubuhnya. Sebenarnya Ksatria ingin bermalam di sini, tapi ia tahu tidak akan semudah itu bagi Sandy untuk mengizinkannya.
Walau begitu, Ksatria tetap mencoba peruntungannya. “Saya boleh tetep di sini nemenin Om dan Rinai nggak?”
Kedua lelaki beda generasi itu bertukar tatap, lalu Sandy bangkit dari kursi di samping ranjang anaknya.
“Kayaknya ada coffee shop yang buka 24 jam di sini,” gumam Sandy seraya kembali memaka
“Kamu udah pikirin pertanyaanku waktu itu, Nai?”“Pertanyaan—oh.” Rinai mengatupkan bibirnya saat ingat apa yang barusan dimaksud Atlas.Di hari ketiga Rinai dirawat, Atlas kembali menjenguknya saat jam besuk. Ksatria sedang pergi ke coffee shop dan ayahnya baru saja izin pergi sebentar. Jadilah hanya tinggal mereka berdua di kamar ini.Pertanyaan yang dimaksud Atlas adalah pertanyaan yang diajukan Atlas ketika lelaki itu datang ke rumahnya hari Minggu lalu, saat Aleah juga datang mengikutinya ke rumah Rinai.“Aku mau kita bisa menjalani hubungan yang lebih dari temen, Nai, dan tentu aja ke jenjang yang lebih serius. Kamu mau nggak?”Pertanyaan sederhana dengan jawaban yang sulit Rinai dapatkan.
“Kamu nggak dandan aja cantik ya, Nai. Nyesel juga sih dulu nggak usaha banget nyingkirin Ksatria.”Rinai tersenyum malu mendengar pujian tersebut, “Makasih lho, Nara.”“Stop it, Bastard,” tegur Ksatria sambil memicingkan matanya kepada Nara. “Nggak usah genit sama Rinai.”“Posesif,” cibir Nara. “Kukasih tahu aja, kalau kamu posesif nanti Rinai kabur, Sat.”Ksatria mendengus pelan dan berniat menjauhkan Nara dari ranjang Rinai, karena Nara kebetulan duduk di kursi yang tak jauh dari ranjang perempuan itu.Tetapi, Kalu dengan isengnya menahan bahu Ksatria supaya lelaki itu tetap bertahan di sampingnya, di sofa.Hari ini giliran semua sahabat Ksatria yang men
“Kamarnya di mana, Sayang?”“Itu, yang paling ujung.” Leona menunjuk pintu kamar yang sudah terlihat semakin dekat. “Tapi Pak Anwar tadi bilang, Mas Sandy lagi pulang buat istirahat.”“Oh, iya? Bagus dong, bisa gantian kita yang jagain Rinai,” sahut Haydar. “Papa juga hari ini nggak ada meetingkok. Kamu abis ini ada perlu, Yang?”“Nggak.” Leona menggeleng. “Aku emang udah niat mau di sini sampai nanti Mas Sandy dateng.”Kalau sedang tidak di kantor suaminya atau bicara dengan suaminya, Leona memang kerap kali menyebut Sandy dengan panggilan ‘Mas’. Karena lelaki itu memang lebih tua darinya setahun dan di luar hubungan kerja pun, mereka sangat akrab.“Berarti yang
“Kamu mau minum? Makan? Atau mau aku?”“Nggak, nggak, nggak.”“Yah….” Ksatria mendesah pelan. “Padahal kalau kamu mau dipangku aku, aku nggak keberatan lho.”Rinai melotot kepada Ksatria yang hanya membalas dengan cengiran lebarnya seperti biasa.“Mau popcorn?”“Kalau itu aku mau.” Rinai menanggapi tawaran Ksatria dengan anggukan.Selagi Ksatria mengambil stoples berisi popcorn asin untuk Rinai, Rinai sendiri menatap ke sekeliling rumahnya yang sudah ia tinggalkan selama beberapa saat. Rumah itu masih terlihat bersih meski Rinai tahu, ayahnya jarang pulang ke rumah untuk menjaganya.
“Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal kerja?”“Nggak apa-apalah,” jawab Rinai dengan bersemangat. “Justru aku bosen lihat mukamu.”Ksatria memicingkan matanya. “Nggak mungkin.”“Mungkin aja, Sat. Kita udah temenan dari bayi, kamu pikir seumur hidupku aku nggak pernah bosen liat mukamu?”“Jadi kamu pernah bosen?”“Sering.”“Duh.” Tiba-tiba Ksatria memegangi dadanya. “Sakit banget dengernya.”Rinai tentu saja hanya bercanda dan ia segera tergelak melihat bagaimana berlebihannya Ksatria.“Udah sana, kerja.&rdq
“Jadi Mbak Rinai belum jadian juga sama Mas Al?”Rinai memang tak terlalu pintar menyembunyikan reaksinya atas hal-hal tertentu, termasuk ketika dengan frontalnya Shahia menanyakan hal tersebut.“Belum.” Atlas-lah yang menjawab pertanyaan Shahia. “Kamu sih, kurang kenceng doanya.”“Yah, gimana sih, Mas Al.” Shahia mengerucutkan bibirnya, lalu menyandarkan kepala di bahu Rinai yang duduk di sampingnya “Ayo, usaha lebih kenceng lagi dong. Perempuan kayak Mbak Rinai nih satu banding sejuta alias langka banget!”“Kamu gencar banget promosiin aku, Sha,” canda Rinai kepada Shahia.“Abisnya aku kan nggak mau Mbak Rinai ketemu laki-laki yang nyia-nyiain Mbak gitu aja. Jadi aku cuma kenalin dan promosiin
“Mbak Rinai nggak nyesel?” Shahia bertanya dengan sangsi. “Ini si Bangsat-nya VIP lho, Mbak. Belum terlambat kok kalau Mbak mau ganti orang.”Dengan dramatis (sepertinya Rinai mulai tertular Ksatria), Rinai menggeleng. “Aku juga pengennya gitu, Sha. Tapi gimana ya….”“Nai!” Tanpa Ksatria sendiri sadari, ia sudah melotot dan merajuk pada Rinai. “Kok kamu gitu sih sama aku?”“Abisnya gimana ya, Sat…. Sebenernya kan yang dibilang Shahia ada benernya.” Rinai sengaja menoleh pada Ksatria yang masih duduk di sampingnya. “Ini Ksatria lho, si Bangsat-nya VIP Club.”Ksatria mendengus pelan. Lama kelamaan kalau ia biarkan Shahia lebih lama lagi bersama dengan Rinai, hubungannya dengan Rinai bisa bubar jalan karena tiba-tib
“Orang kalau mau kencan biasanya pakai baju apa?”“Nggak pakai baju?”“Orang gila!” maki Rinai kepada Shua yang terhubung dengannya melalui sambungan telepon.“Serius, Nai, skin to skin bagus juga lho.”“Ah, capek ngomong sama kamu!” desis Rinai kesal.Panggilan itu sudah terhubung sejak setengah jam yang lalu dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Karena malas memegang ponsel sambil mondar-mandir, Rinai mengaktifkan mode loudspeaker.Hari masih cukup pagi, kalau Rinai tak ada janji, ia mungkin masih tertidur sampai sekarang. Tapi hari ini adalah jadwal kencannya dengan Ksatria dan tiba-tiba saja, Rinai tidak tahu harus memakai pakaiannya yang mana.