“Kamu emang nggak kerja?”
“Harusnya kerja sih, tapi mana mungkin aku nggak jemput kamu. Meskipun rasanya kayak lagi selingkuh sama orang sih, harus ngumpet-ngumpet ke bandaranya.” Shua terkikik geli setelah mengatakannya. “Coba bilang ke aku, kenapa kita diem-diem begini? Kupikir waktu ulang tahunmu aja kamu ke Jakarta nggak bilang dulu ke si Bangsat.”
“Biar jadi… kejutan.” Rinai membuka pintu kamarnya dan menghela napas begitu melihat tumpukan kardus yang ada di sana. “Buat Ksatria. Gitu-gitu dia suka kejutan lho.”
Dari semua ruangan yang ada di apartemen itu, Rinai malah meninggalkan kamarnya menjadi temp
“Mama titip pesen, katanya besok Abang diminta makan malam di rumah.”“Ada apaan? Tumben,” komentar Ksatria. Lelaki itu memindai isi piring Shahia dan tersenyum saat menemukan kalau bihun di piring ketoprak milik Shahia masih tersisa banyak. “Bagi dong bihunnya.”“Enak aja!” Shahia langsung menjauhkan piringnya dari jangkauan Ksatria. “Sana, beli lagi! Aku juga suka bihunnya.""Pelit," cibir Ksatria. “Kalau sama Rinai, aku pasti dikasih walaupun kadang dia ngomel.”“Karena Mbak Rinai tahu, Abang kalau nggak diturutin resenya bisa seminggu. Tapi karena kita udah ngga
Katanya, manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan.Pada akhirnya, itulah yang terjadi pada Ksatria dan Rinai saat ini.Ksatria ingat, diam-diam ia sudah membeli tiket pesawat ke Jogja untuk mengunjungi Rinai, apalagi setelah Rinai tak kunjung mengabarinya soal hasil dari wawancara kerjanya waktu itu.Ksatria pikir, mungkin Rinai gagal mendapatkan pekerjaan itu. Makanya Ksatria berniat datang ke Jogja dua minggu lagi untuk memberi kejutan pada perempuan yang rambutnya sudah melewati bahu di sampingnya ini.“Ngelihatin aku doang nggak bikin kamu kenyang, Sat,” canda Rinai sembari menaruh beberapa potongan daging kambing d
Rinai melangkah masuk ke gedung kantor yang dulu pernah jadi tempatnya bekerja selama bertahun-tahun. Heavenly & Co terlihat lengang karena memang belum jam makan siang saat Rinai tiba.Perempuan di balik meja resepsionis yang tentu saja masih mengenali Rinai, menyapa perempuan itu dengan ramah ketika Rinai hendak menukar KTP-nya dengan access card. Tidak hanya itu, pegawai lain yang kebetulan berpapasan dengan Rinai selama menunggu lift pun ikut menyapa Rinai.Perasaan familier itu melingkupi Rinai sepanjang langkahnya menuju ruangan Ksatria berada. Di lift pun ada yang mengenalinya, salah satu nose yang lumayan sering bertemu dengan Rinai.
Ksatria turun dari mobil dan menatap halaman rumahnya, yang dipenuhi mobil ayahnya dan Shahia.Setahu Ksatria, hari ini ibunya tidak pergi ke Kaia Jewellery karena acara makan malam ini. Makanya tidak terlihat mobil yang biasa digunakan ibunya itu di halaman tersebut.Lelaki itu melangkah masuk sambil bersiul pelan. Perlahan, pulang ke rumah bukan menjadi sesuatu yang menyebalkan lagi.Meski kadang-kadang masih teringat jelas di benak Ksatria bagaimana ia selalu tak betah di rumah, tapi kali ini ia sudah bisa mengendalikan emosinya.Apa yang sudah berlalu tak bisa ia atau bahkan orangtuanya perbaiki. Ya, dulu bagi Ksatria pulang ke ruma
“Damn! Ksatria!!!”Rinai menatap panik ke sebelahnya, di mana Ksatria tidur dengan nyaman—berkebalikan dengannya yang saat ini sedang panik dan langsung bangun hingga menyebabkan kepalanya terasa berputar seperti gasing.“Ksatria! Bangun!”“Lima menit lagi, please,” gumam Ksatria dengan mata yang masih terpejam. “Lima menit lagi, baru aku pulang, Yang.”“Nggak ada lima menit lagi!” Rinai menjewer telinga Ksatria. “Ini udah pagi! Kamu pikir ini masih jam sembilan malam, hah?!”“Hah?!” Ksatria se
“Are you okay?”Rinai menggeleng, tak tahu juga harus menjawab bagaimana. Apakah ia baik-baik saja?Setelah menaruh dua kaleng soda di atas meja, Rinai menyusul Ksatria duduk di sofa dan melamun, kembali memikirkan tentang jam-jam yang ia lalui hari ini.Sebenarnya, seharian ini Rinai beberapa kali kehilangan fokusnya. Padahal seharusnya pertemuan dengan ibu tiri Atlas tidak terlalu mempengaruhinya.Iyakan?Tetapi, ada kalanya Rinai masih tak bisa mengendalikan pikirannya. Sampai akhirnya saat tadi sedang menunggu Ksatria menjemputnya, Rinai menghubungi orang yang selama
‘Jadi playboy juga harus ada masa pensiunnya, Ksatria. Sekarang, berhenti main-main dengan banyak perempuan dan menikahlah dengan perempuan pilihan Mama.’Ksatria Auriga Abimayu mendengus saat masuk ke klub malam langganannya, The Clouds, seraya teringat dengan apa yang diucapkan sang ibu di makan malam tadi.Ocehan mengenai ia yang harusnya sudah menikah, pensiun jadi playboy, serta hal-hal sejenisnyalah yang membuat Ksatria walk out dari ruang makan—dan di sinilah ia sekarang.Lelaki itu berjalan menaiki undakan tangga menuju lantai dua di mana deretan ruang VIP berada.Baru saja ia akan berjalan menuju ruangan yang biasa ia tempati, Ksatria mendengar ocehan beberapa perempuan yang menarik perhatian Ksatria.Sepertinya mereka baru keluar dari powder room dan akan kembali ke ruangan mereka sebelumya.“Ada yang lagi bachelorette party dan pakai gaun buat nikahnya gitu lho. Lucu deh.”“Yang mau nikah yang pakai gaunnya?”“Bukan, tapi dari ocehannya sih, dia temen yang ngadain party, cu
“Sekian lama sahabatan sama Rinai, apa kamu nggak pernah suka sama dia? If I were you, I'll take her as my girlfriend—or even wife. Because friendship between men and women is a bull.”Ucapan salah satu sahabatnya itulah yang menyadarkan Ksatria beberapa bulan yang lalu, kalau ia benar-benar sendirian ketika Rinai pergi dari sisinya.Benar-benar sendirian dan tidak ada satu orang pun yang bisa mengisi kekosongan tersebut selain Rinai Prawara—sahabatnya sejak bayi dan asisten pribadinya tersebut.Ksatria terbiasa dengan Rinai yang selalu ada di momen-momen penting dalam kehidupannya—ulang tahun, gigi pertamanya yang tanggal, kelulusan, pekerjaan part time pertamanya, parfum pertama yang ia racik sendiri, pacar pertamanya, hingga rahasia-rahasia kecil nan gelapnya… semuanya ada dengan dan pada Rinai.Dulu Ksatria memang pernah berkhayal, bagaimana kalau ia dan Rinai pacaran saja?Tetapi, khayalan itu mentok di sana karena setiap kali ia menyuarakan pertanyaan tersebut secara verbal, Rin