Share

Teman Tapi Menikah
Teman Tapi Menikah
Penulis: Sara Maureen

BAB 1 - Dia yang Hilang, Akhirnya Kembali

‘Jadi playboy juga harus ada masa pensiunnya, Ksatria. Sekarang, berhenti main-main dengan banyak perempuan dan menikahlah dengan perempuan pilihan Mama.’

Ksatria Auriga Abimayu mendengus saat masuk ke klub malam langganannya, The Clouds, seraya teringat dengan apa yang diucapkan sang ibu di makan malam tadi.

Ocehan mengenai ia yang harusnya sudah menikah, pensiun jadi playboy, serta hal-hal sejenisnyalah yang membuat Ksatria walk out dari ruang makan—dan di sinilah ia sekarang.

Lelaki itu berjalan menaiki undakan tangga menuju lantai dua di mana deretan ruang VIP berada.

Baru saja ia akan berjalan menuju ruangan yang biasa ia tempati, Ksatria mendengar ocehan beberapa perempuan yang menarik perhatian Ksatria.

Sepertinya mereka baru keluar dari powder room dan akan kembali ke ruangan mereka sebelumya.

“Ada yang lagi bachelorette party dan pakai gaun buat nikahnya gitu lho. Lucu deh.”

“Yang mau nikah yang pakai gaunnya?”

“Bukan, tapi dari ocehannya sih, dia temen yang ngadain party, cuma ya… gagal nikah.”

“Gila, segitu desperate-nya?!”

Satu alis Ksatria terangkat begitu saja. Sejak sahabatnya gagal menikah dengan orang yang ia cintai beberapa tahun lalu, Ksatria jadi agak alergi mendengar frasa tersebut.

Ditambah dengan setahun yang lalu sahabatnya yang lain sekaligus asisten pribadinya, juga putus dengan sang tunangan dan membuatnya otomatis gagal menikah.

Dua orang yang gagal menikah itu hidupnya jadi sengsara dan Ksatria tak mau ikut seperti mereka. Meskipun salah satu sahabatnya kini telah menikah lagi dan bahagia, tapi tetap saja….

Lebih baik tidak punya hubungan yang ‘tetap’ daripada sudah berinvestasi perasaan tapi ujung-ujungnya gagal juga.

Tiba-tiba pintu ruang VIP nomor tiga terbuka dengan kencang dan seorang perempuan yang mengenakan gaun berpotongan A-line dengan sutra duchesse yang terlihat jatuh dengan indah di tubuhnya keluar begitu saja.

Perempuan itu terkekeh dan kemudian menoleh pada Ksatria yang berhenti di tengah-tengah lorong area VIP tersebut. Ksatria memperhatikan perempuan tersebut dan tertegun di tempatnya.

“Rinai,” panggil Ksatria, menyebut nama sahabatnya yang tadi baru saja ia pikirkan dan secara tiba-tiba kini ada di hadapannya.

Sahabatnya yang setahun lalu pergi begitu saja dari hadapannya, setelah menangis hebat karena baru diputuskan tunangannya.

Dunia memang tak adil. Lelaki lain yang menyakiti sahabatnya, tapi Ksatria juga ikut-ikutan ditinggalkan oleh Rinai.

“Eh, siapa ya?”

Ksatria memicingkan matanya, lalu segera melangkah dengan cepat. Tidak mungkin Rinai tidak mengenalinya—hell, Ksatria bisa dengan percaya dirinya mengatakan kalau semua perempuan di klub ini mengenalnya.

Minimal pernah mendengar tentangnya dari orang lain.

“Nai, masa nggak kenal aku sih?” todong Ksatria lagi. Ia pun mencondongkan wajahnya mendekat pada Rinai lalu mengendus selama beberapa detik.

Setelahnya, Ksatria kembali menjauhkan wajahnya dan menyentil kening Rinai dengan agak keras.

“Duh!” seru Rinai kesal. “Sakit!”

“Siapa suruh minum banyak begini?!” Ksatria pun meraih tangan Rinai dan menggandengnya.

Orang-orang di ruang VIP nomor tiga itu terkesiap kaget saat mendapati dengan siapa Rinai bicara. Ksatria menyapa seadanya dan meminta tas Rinai.

“Kayaknya dia udah terlalu mabuk untuk ikut acara kalian,” kata Ksatria yang langsung tahu kalau orang yang dibicarakan pengunjung The Clouds tadi adalah Rinai, sahabatnya yang setahun belakangan menghilang begitu saja. “Nggak apa-apa kan dia ikut aku? Biar kuantar dia pulang.”

“I-iya,” jawab salah satu teman Rinai dengan gugup.

Mereka tahu kalau Rinai memang dekat dan bersahabat dengan Ksatria, tapi mereka tak tahu kalau hari ini mereka seperti dijatuhi meteor karena akhirnya bisa mengobrol dengan Ksatria dari dekat.

“Nggak apa-apa,” lanjut teman Rinai lagi setelah sadar dari keterpanaannya. “Tolong antar Rinai ya.”

Ksatria mengangguk dan membawa Rinai ke lantai satu. Pupus sudah niatnya nongkrong semalam suntuk di klub tersebut.

Beruntung gaun yang ‘katanya’ akan dipakai Rinai di resepsi pernikahannya itu tidak memiliki bagian bawah yang mengembang hingga seperti menggunakan kurungan ayam. Jadi Ksatria tidak terlalu kesulitan membawa sahabatnya itu melewati kerumunan pengunjung The Clouds.

Meskipun tetap saja, memakai gaun berwarna putih tulang dengan hiasan diamond dan berbahan satin tersebut sangat mencolok di antara banyak orang di klub itu.

Begitu tiba di mobil, Ksatria langsung mengempaskan Rinai di kursi sebelah pengemudi. Ia memakaikan seat belt dengan hati-hati dan beralih ke sisi pengemudi dengan cepat.

Saat Ksatria baru mengeluarkan mobilnya dari area parkir, tiba-tiba Rinai tertawa dan mendekat ke leher Ksatria, mengendus pelan seperti apa yang tadi Ksatria lakukan padanya.

“Rinai!” Ksatria melotot begitu merasakan embusan napas Rinai yang menggelitik lehernya. “Apaan sih?”

“Hm… aku kenal wangi ini.” Rinai kembali tertawa. “Ksatria kan? Ke-Sa-Tri-Ya—begitu dibacanya kan? Hehehe.”

“Mulai deh ngaco.” Telunjuk Ksatria langsung mendorong kening Rinai. “Kamu kok pulang dari Jogja nggak bilang-bilang, Nai? Kapan sampai? Terus kenapa ke klub pakai gaun yang gagal kamu pakai itu?”

“Cerewet!” bentak Rinai sambil cemberut. “Pusing aku denger kamu banyak nanya!”

“Iya, iya, maaf.” Rinai memang bisa jadi sangat galak kalau sedang tak sadar seperti ini. Namun Ksatria benar-benar tak bisa menahan rasa penasarannya.

“Ini… gaun nikahan aku, hehehe.” Rinai mengusap gaunnya dengan lembut sambil lagi-lagi tertawa garing.

Ksatria tentu saja tahu hal tersebut.

Gaun itu dijahit khusus untuknya, oleh desainer yang karyanya sudah dipakai oleh artis-artis di luar negeri sana. Berkat koneksi Ksatria, Rinai berhasil mendapat gaun untuk resepsi pernikahannya dari desainer idolanya tersebut.

Sayang, tiga bulan sebelum pesta pernikahan digelar, tunangannya ditangkap polisi dan hubungan itu berakhir begitu saja.

“Gaun ini dateng kayaknya setelah aku kabur sebulan ke Jogja,” cerita Rinai dengan ringan. Seolah-olah yang ia ceritakan bukan kisah hidupnya yang menyedihkan. “Terus aku setiap liat gaun ini selalu nangis, selama berbulan-bulan.

“Sampai akhirnya aku udah nggak nangis lagi setiap liat gaun ini, baru deh aku balik ke Jakarta. I’m single and ready to mingle.”

Ksatria mendengarkan ocehan sahabatnya tanpa jeda. Setahun memang sebentar, tapi rasanya cukup lama juga hingga Ksatria benar-benar terkejut ketika bisa melihat Rinai lagi tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Di sepanjang sisa perjalanan menuju rumahnya, Ksatria terdiam selagi Rinai mengoceh tentang banyak hal.

Begitu tiba di rumahnya, Ksatria segera membawa Rinai menuju kamarnya. Ia masih butuh bicara dengan Rinai, tapi tak mungkin juga langsung menyerahkan Rinai pada ayah perempuan itu dalam kondisi seperti ini.

Ayah Rinai pasti akan menendangnya hingga ke Kutub Utara.

“Gelap banget,” gerutu Rinai yang digiring Ksatria masuk ke rumahnya.

“Ssst, jangan berisik.” Rasanya Ksatria seperti anak SMA yang membawa pacarnya diam-diam ke rumah.

Ksatria baru bisa bernapas lega saat bisa sampai di kamarnya tanpa ketahuan orangtuanya, sepertinya mereka sudah tidur dan hal itu memudahkan Ksatria membawa Rinai.

“Duduk,” perintah Ksatria pada Rinai.

Rinai mematuhi perintah Ksatria—lebih dari mematuhinya karena setelah duduk beberapa detik, ia merebahkan dirinya di ranjang, masih mengenakan gaun pengantinnya.

“Nai!” panggil Ksatria dengan tidak sabaran. “Kok malah tiduran sih?”

“Ngantuk,” gumam Rinai.

Rinai merayap di ranjang hingga kepalanya menyentuh bantal dan memejamkan matanya. Ksatria ikut menyusul ke ranjang dengan gemas, tapi matanya langsung melotot horor ketika tangan Rinai beralih ke punggungnya.

“Heh, mau ngapain kamu?!”

“Bajunya gerah!”

“Ya siapa suruh pergi keluar pakai gaun nikahan?”

“Ini namanya buang sial,” jawab Rinai yang sudah kembali membuka matanya. Rinai menepis tangan Ksatria yang akan menghentikannya. “Habis ini mau kubakar!”

Ksatria berusaha berkali-kali mencegah Rinai melepas gaunnya, tapi perempuan itu memiliki tekad sekuat baja. Akhirnya Ksatria menyerah dan langsung menutupi tubuh Rinai dengan selimut hingga lehernya.

“Jangan nyesel ya besok pagi,” ancam Ksatria dengan serius, walaupun percuma saja karena Rinai pasti tak akan menganggapnya serius saat ini.

“Akhirnya.” Rinai mendesah lega, sepertinya gaun itu akhirnya lepas juga dari tubuh Rinai. Ksatria beruntung karena Rinai tidak menyingkap selimut itu.

Pada akhirnya, Ksatria membuka kemeja yang ia pakai dan ia lempar begitu saja ke lantai. Ia berbaring di atas selimut yang terbentang di sisi ranjang yang ia tempati, lalu mendekat pada Rinai yang matanya menatap dengan sayu.

“Buang sial atau move on itu bukan dengan ke klub pakai baju resepsi gagalmu itu, Nai,” bisik Ksatria sambil tangannya menelusuri wajah Rinai. “Aku tahu obat yang ampuh.”

“Apa?” bisik Rinai. Suara Ksatria cukup menenangkan hingga membuatnya terbuai.

Tatapan mereka bertemu dan kewarasan Ksatria yang memang sejak dulu patut dipertanyakan kuantitasnya (karena sangat sedikit), kini seperti hilang begitu saja.

Ksatria selalu mendapati perempuan yang menawarkan diri padanya—ia tidak pernah meminta sama sekali untuk tidur dengan perempuan mana pun.

Namun hanya di hadapan Rinai-lah Ksatria menawarkan dirinya.

“Cowok baru,” jawab Ksatria dengan ringan. “Mau tidur sama aku, Nai? Kata orang, kalau mau move on kamu butuh cowok baru dan aku adalah pilihan paling aman buat kamu saat ini.”

Ksatria menunggu jawaban Rinai dan tatapannya berpindah dari mata sayu Rinai ke bibir tebal yang entah bagaimana, malam ini terlihat menggoda. Kilap bibir yang diakibatkan oleh lip glaze-nya membuat Ksatria hampir hilang akal.

Gila, bagaimana bisa bibir yang selama belasan tahun ini biasa-biasa saja, di malam ini jadi terlihat menggoda?

Sepertinya setan sedang bermain-main dengan Ksatria, karena ia telah melupakan fakta bahwa ia dan Rinai adalah sepasang sahabat dan memilih untuk memajukan wajahnya, menghampiri bibir Rinai yang diam menunggu....

***

Rinai meraba pipinya dengan mata terpejam, tapi sedetik kemudian matanya terbuka dengan cepat saat menyadari kalau terdapat jejak-jejak lengket lip glaze-nya di pipi dan di sekitar bibirnya.

Ibu jari Rinai mengusap bibirnya dan ia pun membeku ketika bibirnya malah sudah bersih tanpa lip glaze lengket dan glossy yang semalam ia pakai.

Saat tengah mengumpulkan kesadarannya, Rinai menoleh ke sekitar dan mendapati seorang lelaki tidur tengkurap dengan tubuh bagian atas tak terbalut sehelai benang pun.

Sedangkan celananya menggantung rendah di pinggul, membuat Rinai langsung menoleh ke sembarang arah saat sangat mengenali punggung tegap polos tersebut.

“Sial, sial, sial,” rutuk Rinai yang menyingkap selimutnya dengan cepat.

Tetapi, lagi-lagi ia dibuat terkejut dengan dirinya sendiri yang kini hanya memakai pakaian dalam. Gaunnya malah mengumpul di kaki, hampir jatuh ke lantai.

‘Sebenernya aku ngapain semalam? Lipstik berantakan, baju kebuka gini!’ gerutu Rinai sambil memakai gaunnya kembali dengan terburu-buru. ‘Emang katanya Leo bakalan sial sih kemarin, tapi siapa sangka bakal sesial ini?!’

Usai memakai gaunnya, Rinai memandang ke sekeliling kamar dan bernapas lega saat melihat di mana sling bag-nya berada. Ia pun mengambil tasnya dengan cepat dan berjalan ke pintu sembari mengecek ponselnya, di mana sang ayah sudah meneleponnya berkali-kali sejak semalam.

Saat hendak membuka pintu dengan jantung berdebar hebat, Rinai menyempatkan diri untuk menoleh ke arah ranjang, di mana Ksatria masih tertidur dengan pulasnya.

Setelah menatapnya selama beberapa detik, Rinai memutar kenop pintu kamar Ksatria dan membukanya dengan sangat perlahan. Beruntung ia bangun di saat langit di luar sana masih gelap.

Sebagai orang yang ikut dengan ayahnya untuk bekerja pada keluarga Abimayu sejak ia masih kecil, Rinai tahu kalau butuh satu jam lagi untuk semua penghuni rumah tersebut bangun.

Dengan mengendap-endap, Rinai menuruni anak tangga sambil mengangkat bagian bawah gaunnya agar tidak membuatnya tersandung. Sesekali ia menoleh ke sekitar untuk memastikan tidak ada yang melihatnya sama sekali.

Saat Rinai tiba di lantai satu, ia segera berderap menuju pintu penghubung yang ada di dapur dan membukanya dengan sangat hati-hati.

Ia segera melangkah keluar, menelusuri paving block yang sengaja disusun untuk mereka yang ingin melintasi halaman belakang rumah tersebut. Kaki telanjangnya menelusuri paving block dan berhenti di sebuah rumah yang lebih kecil daripada rumah utama keluarga Abimayu.

Di sinilah ia tinggal.

Rinai menurunkan gaunnya supaya dan mengetuk pintu dengan sangat pelan. Tak perlu waktu lama sampai akhirnya sang ayah membukakan pintu dengan mata memicing.

“Nai, ini hari kedua kamu di Jakarta dan kamu udah pulang pagi?” tegur ayahnya sambil berkacak pinggang. “Kenapa kamu nggak angkat telepon Ayah semalam?”

“Maaf, Yah.” Rinai meringis sambil menangkupkan kedua tangannya. “Semalem acaranya selesai pas udah malem banget. Akhirnya kita nginep di apartemen temenku deh yang deket sama The Clouds.”

Meskipun tak bisa langsung menerima jawaban anaknya, lelaki paruh baya itu menghela napas dan membuka pintu rumahnya dengan lebih lebar.

“Ya udah, sana istirahat sebentar terus mandi,” perintahnya. “Pagi ini kita sarapan sama Pak Haydar.”

“Hah?!” Rinai tentu saja shock saat ayahnya menyebut nama atasannya alias ayah Ksatria.

Lelaki yang baru saja kamarnya ia tinggalkan.

“Kan kamu mau dikenalin sebagai asprinya Ksatria lagi.” Ayahnya menjawab sambil menutup pintu dan tak melihat raut wajah Rinai yang benar-benar shock. “Daripada di kantor, Pak Haydar mau kalian ngobrol dulu sambil sarapan.”

“T-tapi, Yah—”

“Udah sana mandi,” usir ayahnya sambil mendorong bahu Rinai dengan pelan. “Kamu bau banget, Nai, astaga….”

Seraya merengut, Rinai akhirnya berjalan masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di ranjangnya.

Rinai jelas tahu kalau hari ini ia akan bekerja lagi sebagai asisten pribadi Ksatria—itulah pekerjaannya sejak lulus kuliah hingga setahun yang lalu.

Dulu Ksatria merekomendasikannya sebagai asisten pribadi karena berpikir kalau bekerja dengan sahabatnya lebih menyenangkan dan Haydar—ayah Ksatria—setuju, karena Ksatria mengancam tidak ingin berkecimpung di perusahaan keluarga kalau bukan Rinai yang menjadi asisten pribadinya.

Setidaknya Haydar tidak akan mendapati skandal antara Ksatria dan asisten pribadinya—itulah yang membuatnya langsung menyetujui penawaran Ksatria.

Sekarang Rinai harus memikirkan cara bagaimana agar ia bisa terlihat biasa-biasa saja di depan keluarga Ksatria, padahal ia baru keluar dari kamar lelaki itu.

***

Ksatria tidak pernah ditinggalkan—biasanya, ia yang meninggalkan teman tidurnya karena tentu saja… tidak ada pagi yang manis bahkan setelah malam yang panas.

Tetapi, ketika ia terbangun dan berbalik, yang ia dapati adalah sisi ranjangnya yang kosong dan terasa dingin ketika disentuh.

“Dasar,” gerutu Ksatria entah pada siapa karena ia sendirian di kamar itu.

Ksatria pun bangkit dari ranjangnya dan melepas sisa kain yang melekat di tubuhnya, lalu mandi dan bersiap berangkat ke kantor.

Begitu turun ke lantai satu, Ksatria hampir berbelok ke dapur untuk pergi ke rumah di belakang rumahnya tersebut. Ksatria harus pergi ke rumah Rinai di belakang untuk memastikan perempuan itu benar-benar ada di sana.

Untuk memastikan kalau Rinai benar-benar ada di sini.

Namun panggilan ayahnya dari ruang makan membuat langkahnya terhenti. “Aku mau ke belakang dulu, Pa,” teriaknya dari dapur.

“Ngapain? Kamu mau bikin Rinai nunggu lama di sini?”

Balasan ayahnya membuat Ksatria langsung berbalik dan berjalan menuju ruang makan. Rinai ada di ruang makan rumahnya?

“Udah ditungguin juga dari tadi, pasti kamu kesiangan,” omel ayahnya pada Ksatria.

Ksatria tak memedulikan omelan ayahnya dan segera duduk di kursi yang biasa ia tempati, berseberangan dengan Rinai yang penampilannya sudah berbeda dengan semalam. Pagi ini Rinai sudah tampil rapi dengan rambut dikucir dan pakaian formal—setelan blazer dengan celana bahan panjang bernuansa cream.

“Pagi, Om,” sapa Ksatria pada Sandy, ayah Rinai. Kemudian tatapan Ksatria kembali beralih pada Rinai. “Pagi, Nai.”

“Pagi,” sapa Rinai singkat.

Haydar dan Sandy tak menyadari keanehan di antara Rinai dan Ksatria—Rinai yang enggan menatap lurus ke depan dan Ksatria yang menatap Rinai lekat-lekat.

“Karena Rinai udah balik ke Jakarta for good, Rinai akan jadi aspri kamu lagi,” kata Haydar tanpa menyadari kecanggungan dua anak muda tersebut. “Papa liat kamu agak kewalahan selama Rinai pergi dan nggak mau cari aspri baru. Jadi Papa tawarin Rinai posisi ini dan dia untungnya mau.”

Ksatria hanya bergumam, “Oh, begitu.” Kenapa juga ayahnya tak mengatakan hal ini sejak kemarin sih?

“Kamu harus bersikap baik sama Rinai, Ksatria,” tegur Haydar dengan sungguh-sungguh. “Nggak ada orang yang tahan dengan kamu dalam jangka waktu yang lama. Sekretarismu aja resign nggak lama setelah Rinai juga resign. Setelah itu, kamu ganti sekretaris setiap tiga bulan sekali. Bikin pusing HRD aja.”

“Sekarang Papa yang bikin pusing aku dengerin omelan Papa.”

“Anak ini!”

Sandy dan Rinai sama-sama tersenyum mendengar perdebatan ayah dan anak yang juga atasan mereka tersebut. Namun senyum Rinai langsung pudar saat Ksatria kembali menatapnya.

Di sisi lain, Rinai tak tahu harus bersikap seperti apa di depan Ksatria. Selama ini mereka memang bersahabat—sangat dekat dan malah sudah seperti saudara kandung.

Tetapi mereka tidak pernah melewati batas. Pelukan pun hanya di saat-saat tertentu. Selebihnya ya… mereka hanya sahabat, partner in crime, atasan dan asisten pribadi. Jadi mana pernah terpikir oleh Rinai akan terbangun di sebelah Ksatria hanya dengan pakaian dalam?

“Udahan makannya, Nai?” tanya Ksatria setelah akhirnya Rinai menghabiskan sarapannya.

“Iya, udah kok,” jawab Rinai. Ia tidak ingin kedua ayah mereka mencium ada sesuatu yang tidak beres jika ia hanya diam terus tanpa merespons pertanyaan Ksatria.

“Ayo, berangkat ke kantor.”

Rinai mengiakan ajakan Ksatria. Haydar dan Sandy yang masih sarapan seraya membicarakan berita terkini soal salah satu anggota DPR yang mereka kenal, mengiakan begitu saja.

Rinai berjalan agak di belakang Ksatria. Matanya memperhatikan tubuh Ksatria yang tegap dan kali ini, sudah terbalut kemeja berwarna hijau mint dengan jas yang ia bawa dengan asal di tangan kanannya.

Padahal Rinai sudah sering melihat tubuh Ksatria—hei, mereka bahkan bisa dikatakan tumbuh bersama sejak bayi, karena ayahnya sudah bekerja untuk Haydar Abimayu sejak sebelum menikah.

Namun, ketika saat ini ia kembali melihat punggung Ksatria, pikirannya langsung terlempar pada kejadian tadi pagi. Di mana ia melihat punggung itu tanpa sehelai benang pun dan tidur di sampingnya.

“Punggungku bisa bolong kalau kamu melototin aku terus, Nai.”

Ksatria tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik, membuat Rinai yang karena melamun jadi tak fokus, langsung tersentak kaget dan hampir menabrak dada Ksatria.

“Aku nggak melototin kamu,” bantah Rinai.

Ksatria tersenyum miring dan menunjuk ke sisi kirinya. Rinai mengikuti ibu jari Ksatria dan langsung mendesis pelan saat menyadari cermin yang cukup panjang dan terpajang di sepanjang koridor tersebut.

Pastilah Ksatria melihatnya dari sana.

“Jalan di sampingku kayak biasa aja, Nai,” kata Ksatria sembari meraih pergelangan tangan Rinai dan menariknya hingga mereka berdiri berdampingan. “Ngapain kamu jalan di belakang? Lebih bagus kalau ngeliatin punggungku pas aku nggak pakai baju kayak semalam.”

Rinai langsung kembali melotot. “Kamu—”

Ksatria meletakkan telunjuknya di depan Rinai yang hampir memaki dirinya. “Ayo, berangkat. Sepatu yang kamu pakai semalam masih ada di mobilku, Nai. Masih mau pura-pura lupa sama kejadian semalam?”

***

“Kok pagi tadi nggak ngebangunin aku?”

“Ngapain? Kamu kan punya alarm.”

Jawaban Rinai yang benar-benar terlihat seperti tak ingat apa-apa membuat Ksatria mendengus geli.

“Ah… apa kamu nggak mau bangunin aku karena takut?” tanya Kstaria dengan nada suaranya yang selalu bisa membuat Rinai kesal sejak dulu—songong dan belagu.

“Takut apa?” tanya Rinai balik, berpura-pura kalau ia tak akan terpengaruh dengan apa pun yang dikatakan Ksatria. “Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh.”

“Kamu yang mikir aneh-aneh,” tuduh Ksatria balik.

Khusus hari ini, karena Ksatria sedang ingin bicara berdua dengan Rinai, Ksatria menyetir sendiri di kantornya dan meminta sopirnya di rumah saja.

Kini di sebelahnya, Rinai menatap ke luar jendela dengan jantung berdebar kencang dan tangan yang sibuk memilin jemari satu sama lain di bawah tasnya.

Tanpa memperhatikan dengan detail, Ksatria tahu gestur tersebut dan sadar kalau Rinai pasti tengah gugup. Bagaimanapun, apa yang mereka lakukan semalam bukan hal yang biasa mereka lakukan.

“Friends don’t touch each other the way we do, Nai. So sorry for that.”

Rinai menoleh dengan cepat ke arah Ksatria hingga terdengar tulang lehernya yang berderak. Akhirnya karena tak tahan, ia pun menyuarakan pertanyaannya. “Emangnya semalam kita ngapain sih? Please ya, jelasin dengan bener dan berhenti isengin aku!”

“Kamu yakin mau dengerin jawabanku?” Ksatria malah bertanya balik. “Kamu tahu kan kalau aku cerita, aku akan detail seperti yang selama ini kamu selalu minta ke aku?”

Rinai bergidik pelan membayangkan hal itu terjadi. Selama ini ia memang kadang-kadang penasaran dengan apa yang dilakukan Ksatria dengan teman kencannya. Seringnya, Ksatria ogah-ogahan membahasnya.

Namun Rinai yang penasaran terus mendesak Ksatria untuk menjelaskan dengan benar dan detail, hingga Ksatria menurut lalu kalau sudah sampai di bagian yang menurut Rinai ‘tidak sopan untuk didengar oleh telinganya’, Rinai akan meminta Ksatria berhenti.

“Ya nggak usah terlalu detail dong!” gerutu Rinai sebal. “Ingatanku semalam mentok cuma di pesta lajang temenku. Sekarang, kasih tahu aku kenapa aku bisa ada di kamarmu.”

Ksatria mengulurkan tangannya—lebih tepatnya jari kelingkingnya, mengajak Rinai untuk pinky promise dengannya. Satu hal kekanakan yang mereka masih jaga sampai sekarang.

“Janji sama aku, kasih tahu kenapa kamu tiba-tiba pulang ke Jogja dan nggak ngabarin aku.”

Permintaan itu bukan hal yang mudah untuk Rinai lakukan. Akan lebih baik jika Ksatria tak bertanya dan ia akan menyimpan semuanya sendirian.

Saat Rinai mendongak untuk menatap wajah sahabatnya, Rinai menemukan Ksatria yang masih dengan sabar menunggu jawabannya.

Akhirnya ia menyerah, mungkin akan lebih baik kalau Ksatria tahu semuanya daripada ia berusaha diam selamanya.

“Janji.” Rinai menyambut jari kelingking Ksatria dan mengaitkan jari mereka.

“Kemarin aku nggak sengaja ketemu kamu di The Clouds dan kamu udah… teler.” Ksatria tertawa karena pilihan katanya. “Aku bawa pulang tapi ya kita ke kamarku.”

“Kenapa ke kamar kamu?”

“Kamu pikir aku masih bisa bernyawa kalau aku bawa kamu dalam kondisi kayak gitu ke hadapan ayahmu?”

“Oh ya, bener juga.” Rinai menepuk dahinya. Sebagai anak tunggal, ayahnya memang benar-benar protektif terhadap dirinya.

“Terus kok aku bisa nggak pakai baju?” tanya Rinai lagi. “Lip glaze-ku juga berantakan.”

“Kamu pikir aku mau garap sahabat sendiri dan dalam keadaan nggak sadar?” Ksatria bertanya dengan sinis. “Meskipun sempat tergoda—karena gila, seksi juga kamu pakai gaun nikahan gagal itu, Nai—tapi ya aku nggak jadi ngapa-ngapain kamu.

“Lagipula aku masih suka sesuatu yang sifatnya dua arah, ada timbal balik dan respons. Kalau aku ngapa-ngapain kamu waktu kamu mabuk, sama aja kayak aku sama boneka.”

Rinai cemberut saja mendengar jawaban Ksatria yang benar-benar tanpa saringan. Apalagi lelaki itu bahkan sempat menyinggung gaun pernikahan yang ia pakai semalam.

“Lip glaze-mu berantakan karena tanganmu yang ngelap bibir terus selama tidur.” Ksatria melirik sinis pada sahabatnya. “Kamu mimpi apa sih? Semalam kamu nggak berhenti gerak sana-sini dan entah ngomong apa.”

“A-ah… aku mimpi mukbang makan kepiting gitu sih.” Kali ini Rinai menjawab dengan malu-malu.

Ksatria tahu bagaimana ia sangat menyukai kepiting dan sebuah kombinasi yang aneh, ketika mereka hampir berbuat yang ‘iya-iya’, tapi Rinai malah mimpi makan kepiting berkilo-kilo.

“Astaga, bener-bener deh kamu.” Ksatria langsung menyentil kening Rinai yang membuat Rinai mengaduh. “Di dunia nyata bikin orang ngiler, di mimpi dia yang ngiler sambil makan kepiting. Dunia bener-bener nggak adil.”

“Kamu selama ini nggak pernah ‘ngiler’ liat aku. Nggak usah bohong ya.”

“Kamu nggak tahu aja.”

“Apa?!”

“Berisik, Nai, nggak usah teriak,” tegur Ksatria sementara Rinai hanya merengut. “Kamu doang yang bebas neriakin bosnya.”

“Kalau bosnya perwujudan setan di dunia kayak kamu, emang pantes buat diteriakin,” kilah Rinai lagi.

“Terus kenapa tadi kamu ngomong ‘friends don’t touch each other the way we do’ gitu? Emang….” Rinai menatap Ksatria dan ia jadi teringat lagi punggung polos serta celana yang menggantung rendah di pinggul Ksatria tadi pagi. “Kita… begitu? Kata kamu, kamu nggak mau ngapa-ngapain orang lagi tidur?”

Rinai sering menjuluki Ksatria seperti ‘setan’ karena kelakuannya yang mirip dengan deskripsi dasar mengenai setan—suka menggoda orang lain untuk melakukan hal yang dilarang, misalnya.

Senyum miringnya yang terkesan playful sekaligus songong itu juga menjadi andalannya. Senyum itulah yang tak Rinai sukai karena dalam keadaan normal, senyum itu menjadi pertanda menumpuknya pekerjaan Rinai atau adanya permintaan absurd Ksatria yang tetap harus Rinai jalankan sebagai asisten pribadinya.

“Ngisengin kamu aja.” Ksatria menjawab dengan enteng.

Sedetik setelah mendengarnya, Rinai langsung memukul lengan Ksatria bertubi-tubi. “Udah bikin orang jantungan terus alasannya cuma ‘ngisengin’ aku? Kurang ajar kamu ya!”

“Kamu lebih milih aku isengin doang atau bener-bener aku sentuh, Nai?” Ksatria meraih tangan Rinai dan menghentikannya dari kegiatan anarkis tersebut. “Aku bisa lakuin apa yang aku cuma bilang sebagai candaan itu di sini, Nai. Kamu tahu sendiri, aku lebih dari ‘bisa’ untuk lakuin hal itu.”

Rinai buru-buru menarik tangannya dan hal itu membuat Ksatria tersenyum simpul. “So, ada lagi yang mau kamu tanyain?”

“Kurasa nggak ada,” jawab Rinai setelah berpikir beberapa saat.

“Oke, sekarang giliranku.” Ksatria menyahut dengan tenang. “Kenapa selama di Jogja kamu nggak hubungin aku?” tanyanya.

“Meskipun kamu larang Om Sandy untuk ngasih tahu aku di mana kamu setahun belakangan, aku tetep tahu. Tapi waktu kamu bilang Om Sandy kalau kamu nggak mau ngomong atau ketemu sama aku, aku menahan diri untuk nggak nyamperin kamu demi menghormati keinginan kamu itu.”

Rinai menghela napasnya, tahu kalau ia tak bisa menghindar lagi. Setahun yang lalu saat tunangannya tiba-tiba memutuskan hubungan mereka, Rinai sangat patah hati dan memutuskan untuk pergi sementara.

Rinai punya terlalu banyak kenangan dengan mantan tunangannya ini di Jakarta—rasanya setiap sudut di Jakarta ini bisa mengingatkannya dengan lelaki itu dan membuatnya menangis bahkan saat sedang bicara dengan orang lain.

Akhirnya setelah resign (yang sangat sulit karena tentu saja Ksatria menahannya), Rinai memutuskan untuk tinggal di Jogja, di daerah mendiang ibunya berasal.

“Aku malu,” jawab Rinai.

“Malu sama siapa?”

“Kamu.” Rinai menghela napasnya. “Dulu kamu yang selalu bilang kalau mantanku itu bukan cowok baik-baik, tapi aku nggak percaya. Tiga hari sebelum kami putus pun, kita berdua malah bertengkar hebat dan aku lebih milih belain dia.

“Waktu ternyata kelakuan dia terbongkar dan apa yang kamu omongin semua ternyata terbukti bener, mana punya muka aku buat ngehadapin kamu.”

“Silly,” gumam Ksatria. “Kita berantem cuma kayak gitu doang, Nai. Andai waktu itu kamu izinin aku ada di sana buat nemenin kamu yang sedih kayak biasanya, mungkin kamu nggak perlu pergi jauh hanya untuk menenangkan diri.

“Kita bisa aja ambil cuti sebulan terus liburan ke Hawaii, cari summer fling buat kamu lupain si brengsek itu sambil iseng-iseng aja eksplorasi tubuh biar nanti kamu makin pinter—DUH, NAI!”

Rinai tersenyum puas melihat Ksatria mengusap lengan atasnya yang baru saja ia pukul dengan keras. “Mana bisa kita cuti sebulan? Dan kenapa sih usul kamu selalu mentok ke ranjang?”

“Karena itu keahlianku.” Ksatria mengedikkan bahunya.

“Dan kenapa kamu pakai gaun itu kemarin?” Ksatria jadi ingat gaun yang dipakai Rinai dan sadar kalau Rinai sempat mengocehkan alasannya.

Tetapi, Ksatria ingin mendengarkan versi normal yang diucapkan ketika Rinai sedang waras.

“Biar bisa move on.” Rinai menjawab seraya menghela napasnya. “Gaun itu dikirim ke alamat di Jogja, entah siapa yang ngasih tahu. Setiap ngeliat gaun itu, aku jadi selalu nangis karena tahu gaunnya nggak akan kupakai.

“Jadi waktu aku ngerasa udah agak lebih baik dan nggak nangis setiap ngeliat gaun itu, ya kuputuskan untuk kupakai sekali sebelum nanti aku buang atau bakar.”

“Sayang kan, harganya mahal,” komentar Ksatria.

“Iya sih….”

‘Ternyata jawabannya sama dengan yang semalam,’ pikir Ksatria. “Terus sekarang kamu udah bisa move on dari mantanmu yang brengsek itu?”

“Dibilang udah bisa move on, kayaknya belum sepenuhnya,” aku Rinai dengan jujur. “Tapi kalau ditanya apa masih sayang sama dia atau nggak, jawabannya ya udah nggak.”

Ksatria mengangguk paham. “Sebenernya aku udah ngomong ini sih semalam, tapi kamu mabuk, pasti nggak inget.”

“Ngomong apa?”

“Kamu nggak mau mempertimbangkan aku jadi obat patah hati kamu, Nai?” tanya Ksatria dengan serius. “Kita udah sahabatan lama banget, bahkan bisa dibilang dari bayi. Aku ngerti kamu, kamu paham aku.

“Kamu nggak mau coba jalan sama aku sebagai laki-laki dan perempuan pada umumnya? Bukan sebagai sahabat, tapi lebih dari itu.”

Rinai terdiam. Ksatria yang masih berusaha fokus menyetir, menunggu jawaban Rinai dengan waswas.

Sebelum Ksatria kembali bicara, Rinai sudah tertawa dan menepuk bahu Ksatria berkali-kali. “Nice try, Ksatria. Siapa yang percaya playboy kayak kamu nawarin hal kayak gitu? Ini jebakan baru yang lagi kamu uji coba ya?”

Ksatria mendengus kesal saat apa yang ia katakan dengan serius malah dianggap sebagai candaan oleh Rinai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status