Share

BAB 4 - Aku Akan Menciummu Sekarang

Your feeling is invalid.

Kata-kata itu terus terngiang di kepala Ksatria bahkan sampai keesokan paginya ia terbangun di ranjangnya.

“Invalid my ass,” maki Ksatria meski tidak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.

Setelah puas menatap langit-langit kamarnya selama lima belas menit sambil mereka ulang kejadian semalam, Ksatria bangkit dari ranjang dan bersiap ke kantor. Usai mandi, Ksatria menatap walk in closet-nya dengan malas dan mengambil pakaian yang paling pertama ia lihat.

“Bang!” panggil Shahia begitu Ksatria keluar dari kamarnya. Adiknya itu juga sudah rapi dengan setelan blazer dan rok yang panjangnya hingga lima senti di atas lutut. “Kemarin Abang nggak gangguin Mbak Rinai kan?”

“Nggak,” jawab Ksatria dengan enteng. Mereka berdua turun ke lantai satu bersama. “Kenapa semua orang mikir aku bakal gangguin Rinai?”

“Karena Abang sejak Mbak Rinai pulang tengilnya keliatan jadi naik dua kali lipat,” kata Shahia tanpa takut dijitak oleh kakaknya. “Pokoknya Abang nggak boleh rese gangguin PDKT Mbak Rinai sama Mas Al ya. Awas lho kalau rese!”

“Mas Al?” Ksatria mengernyit. “Siapa?”

“Mas Atlas!” jawab Shahia dengan gemas. “Dipanggilnya Al.”

“Nggak sekalian namanya ganti jadi buku RPUL? Nama kok Atlas?!”

Shahia mendengus mendengar hinaan tersebut dari mulut kakaknya. “Orang yang namanya dipanggil Ke-Sa-Tri-Ya bisa-bisanya ngatain nama orang.”

“Namamu juga aneh,” balas Ksatria tak terima. “Apaan tuh Shahia? Harusnya diucapinnya tuh, ‘Sah? Iya kali!’.”

Shahia memutar kedua bola matanya seraya mengibaskan rambutnya dengan heboh, sengaja supaya rambutnya mengenai Ksatria hingga lelaki itu kelilipan. “Jokes-mu bapak-bapak banget, Bang. Duh!”

Tangan Ksatria sudah terulur ingin menjambak rambut Shahia, tapi adiknya itu sudah lebih dulu berlari mendahului Ksatria. Ksatria mendengus kesal dan menyusulnya.

Di meja makan, sudah ada ayah dan ibunya. Ksatria malas sarapan satu meja dengan sang ibu. Jadi ia mengikuti Shahia yang hanya mengambil selembar roti tanpa selai lalu pamit pada orangtuanya.

“Ksatria, sebentar,” panggil Leona, ibunya, yang sudah terlihat rapi bahkan di hari yang masih sepagi ini. “Duduk dulu, Mama mau ngomong.”

Ksatria mengeluh pelan. “Aku nggak suka kalau ada orang udah ngomong begitu.”

“Anak ini,” gerutu Leona. “Kamu nggak lupa kan sama apa yang Mama omongin waktu itu? Siap-siap ya, minggu ini Mama mau kenalin sama calon kamu.”

“Calon apa? Calon gubernur?”

Haydar berusaha menahan tawanya dengan menyesap tehnya, selagi Leona berdecak kesal. “Calon istrimu, Ksatria.”

“Aku nggak pernah setuju dijodohin, jadi Mama nggak usah capek-capek,” tolak Ksatria dengan tegas. “Aku nggak mau jadi kayak Papa sama Mama.”

“Terus kamu maunya apa?” Nada suara Leona mulai meninggi. “Kamu mau terus hidup bebas nggak jelas kayak sekarang?”

“Iya, daripada jadi tukang selingkuh. Mending sekalian nggak ada hubungan apa-apa.” Ksatria melambaikan tangannya, tak peduli kalau ia baru saja bersikap tak sopan sekaligus menyampaikan apa yang selama ini ia tanamkan di benaknya.

“Aku berangkat dulu,” tandas Ksatria.

Tanpa memedulikan reaksi orangtuanya, Ksatria berlalu begitu saja dan segera ke halaman rumahnya. Di samping mobilnya, ada Rinai yang sudah rapi dan tengah mengobrol dengan Pak Anwar, sopirnya yang selama ini selalu mendampingi Ksatria ke mana pun lelaki itu ingin kalau sedang malas menyetir.

“Pagi, Mas,” sapa Pak Anwar seperti biasa.

“Pagi, Pak,” balas Ksatria dengan ramah. Ksatria masuk ke mobilnya diikuti Rinai yang menyapanya hanya dengan anggukan sekilas.

“Aku mau es dawet buat makan siang,” kata Ksatria pada Rinai.

Rinai menoleh pada Ksatria dan berkata, “Oke, nanti aku pesenin.”

Ksatria sangat suka es dawet. Kesukaan Ksatria pada es dawet bermula karena dulu ART-nya pernah membuatkan es tersebut, saat Ksatria sibuk menangis karena dipaksa belajar sepanjang hari.

Jadilah sejak saat itu, ketika Ksatria sedang bad mood atau semacamnya, ia akan meminta es dawet.

Ksatria menunggu selama lima menit, tapi saat ia menoleh pada Rinai, perempuan itu tengah mengetik di ponselnya.

Lelaki itu mengambil inisiatif untuk menaikkan partisi yang memisahkan kursi bagian depan dengan bagian belakang, supaya Pak Anwar tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Kok kamu nggak nanya kenapa aku minta es dawet?” Akhirnya Ksatria tak tahan untuk bertanya pada Rinai. Biasanya Rinai akan menanyakan apa yang membuatnya bad mood.

“Kan karena pasti kamu lagi bad mood.”

“Kok kamu nggak nanya penyebabnya?”

Rinai menarik napasnya secara perlahan sebelum menjawab, “Aku mulai sadar kalau selama ini kita terlibat terlalu dalam sebagai sahabat, makanya akhir-akhir ini kamu jadi punya perasaan bisa jadiin aku apa aja yang kamu mau—asisten pribadi, sahabat, atau mungkin perempuan buat ONS.”

Ksatria langsung memicingkan matanya. “Nai—”

“Kamu masih inget series yang dulu kita tonton?” sela Rinai dengan lebih cepat. “Scandal.”

“Inget, kenapa?” Ksatria malas menonton series karena butuh banyak waktu dan ia tak terbiasa dengan sesuatu yang mengharuskannya mengikuti hal tersebut dalam waktu yang cukup lama.

Berkebalikan dengannya, Rinai lebih suka series daripada film. Jadilah kadang-kadang Ksatria ikut menonton series yang ditonton Rinai, hanya karena perempuan itu susah diajak main kalau sedang mengikuti satu series.

“Semalam aku nggak sengaja lihat cuplikan adegannya dan dialog si Olive Pope saat itu kayaknya relate dengan keadaan kita sekarang.” Rinai menaruh ponselnya ke dalam tas dan ia menoleh kepada Ksatria.

“Di situ Olivia ngomong, ‘I am not a toy that you can play with when you’re bored or lonely or horny. I am not the girl the guy gets at the end of the movie. I am not a fantasy.’

“Kira-kira gitu kalimatnya.” Rinai mengedikkan bahunya. “I am not your fantasy, Sat. Wake up.”

Ksatria ingat dialog itu. Dulu, Rinai sampai memutar klipnya yang ia temukan di Youtube berkali-kali. Otak Ksatria lebih seringnya mengingat hal tak penting ketika bersama Rinai dibanding yang penting.

Jadilah Ksatria menyahut, “Tapi di situ si Olaf—”

“Olive, Sat!” Rinai jadi gemas sendiri karena Ksatria malah menyebut nama boneka salju di film Frozen.

“Iya, iya, Olive.” Ksatria merengut. “Olivia juga bilang, ‘If you want me, earn me’.”

Rinai mendengus. “Yang itu nggak relate sama kita. Aku nggak pengen kamu ngapa-ngapain, just stay in the line, can you?”

“Itu relate!” Ksatria ngotot. “Okay, I’ll fight for you! Just wait and see.”

“Sat!”

“Bangsat atau Ksatria?”

“Dua-duanya!” Gigi Rinai sampai bergemeletuk karena menahan amarahnya. “Udah deh, diem!”

“Kamu doang aspri yang bisa marahin bosnya,” komentar Ksatria.

“Kalau bosnya kayak perwujudan setan gini ya nggak apa-apa dimarahin.” Rinai mendengus kesal dan menurunkan partisi supaya Pak Anwar tak curiga kenapa mereka berlama-lama merahasiakan apa yang mereka bicarakan.

“Sore ini aku nggak pulang bareng kamu, aku ada janji sama Al.”

“Ngapain?” tanya Ksatria dengan nada suaranya yang berubah sengit.

“Nge-date,” jawab Rinai asal.

“Oke, aku tungguin kamu sampai pulang di pos satpam.”

Pak Anwar mendengus pelan, tak sengaja karena tadinya ia berusaha untuk tidak tertawa melihat tingkah Ksatria.

Tapi baik Ksatria atau Rinai terlalu sibuk dengan perdebatan mereka sampai tak menyadari hal tersebut.

“Sana, tungguin,” tantang Rinai. “Orang kayak kamu mana tahan nunggu di pos satpam kecil begitu.”

“We will see.” Ksatria tentu saja tak suka diremehkan. “Awas aja kalau kalian pulang lebih dari jam sembilan malam.”

“Mau hukum aku?” tanya Rinai balik tanpa takut. “Kamu bukan Pak Sandy Prawara alias papaku. Enak aja!”

“Pokoknya jam sembilan, Nai. Nggak boleh lebih,” tegas Ksatria. “If you’re late, I’m gonna kiss you.”

Bukan hanya Pak Anwar yang terbelalak tak percaya. Rinai menoyor kepala Ksatria tanpa peduli menyusulnya ancaman potong gaji atau SP3.

Dengan lantang Rinai menyahut, “Over my dead body!”

***

Rinai selalu menyempatkan diri membaca ramalan zodiaknya setiap hari, entah itu di pagi hari sebelum bekerja atau saat sedang coffee break di sore hari.

Ramalan zodiaknya hari ini mengatakan kalau Leo akan mulai menemukan cinta sejatinya dan diharapkan untuk belajar membuka hati kembali.

Rinai melirik ke sampingnya dan menemukan Atlas yang ternyata juga tengah meliriknya. Secara otomatis, Rinai tersenyum kecil pada lelaki itu.

Kayaknya ramalan Leo akhir-akhir ini mendekati benar semua, pikir Rinai.

Atlas datang ke kehidupannya yang tengah kacau balau karena kehaluan Ksatria, membuat Rinai mulai berpikir mungkin satu tahun menggalaukan pertunangannya yang sudah putus sudahlah cukup.

“Kenapa, Nai?” bisik Atlas pelan karena mereka sedang berada di bioskop. “Layarnya di depan, bukan di wajahku. Tapi aku nggak keberatan kalau kamu mau lihat aku.”

Rinai terkekeh kecil. Atlas memang menyenangkan dan sering bercanda, sesekali ia akan menggombal seperti itu dan karena sudah terbiasa dengan Ksatria, maka Rinai pun menganggapnya sebagai hal yang biasa.

“Kamu sendiri ngapain nengok ke aku?”

“Karena ngerasa dilihatin.” Atlas memberikan senyuman lebarnya.

Rinai menggeleng pelan masih dengan senyum di wajahnya. Ia pun kembali menghadap ke layar dan Atlas melakukan hal yang sama.

Setelah kemarin mereka bertemu untuk yang pertama kalinya, Rinai merasa lumayan cocok dengan Atlas. Pagi tadi Atlas menawarinya, apakah jika ia mengajaknya bertemu lagi malam ini terlalu cepat untuk mereka yang baru kenal?

Rinai pun berpikir sejenak, lalu mengiakan ajakan Atlas. Tidak ada salahnya juga mengiakan ajakan tersebut, toh Rinai sudah bertanya ratusan hal pada Shahia mengenai Atlas.

Dan di sinilah mereka, menonton salah satu film yang sudah lama dinantikan Rinai di jam tayang yang terakhir. Walaupun hari ini bukan akhir pekan, tapi studio tersebut cukup ramai, meski jelas tidak semua kursi terisi.

Begitu film tersebut selesai, keduanya bangkit dari kursi dan keluar dari bioskop. Pencahayaan mall sudah meredup karena sudah banyak toko yang tutup.

Namun, lampu-lampu untuk menerangi jalan ke eskalator sampai area parkir masih menyala, memastikan pengunjung mall dan pegawai yang pulang malam itu masih bisa berjalan dengan baik.

“Beneran nggak apa-apa kamu pulang malam begini?”

“Nggak apa-apa, aku udah ngomong ke papaku kok.” Rinai menunjukkan ponselnya. Perempuan itu sedang mencoba melupakan janji Ksatria yang ingin menungguinya di pos satpam.

Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam. Awalnya pun Rinai tidak berencana menonton bioskop. Tetapi, ia tahu jadwalnya dari besok hingga dua minggu ke depan cukup padat sebagaimana jadwal Ksatria.

Akan sulit menemukan waktu untuk menonton film yang ia tunggu dan Ksatria sedang dalam mode halu, tidak asyik untuk diajak have fun seperti biasa.

“Syukurlah.” Atlas tersenyum lega dan mulai mengemudikan mobilnya. “Tapi kalau papamu mau ketemu aku untuk mastiin anaknya diajak jalan sama orang beneran, aku nggak keberatan kok.”

Rinai tertawa mendengar bagaimana Atlas mendeskripsikan dirinya sebagai orang beneran. “Emang ada yang bilang kamu orang jadi-jadian?”

“Nggak ada sih.” Atlas membalas seraya memberikan cengiran lebarnya.

“Papaku emang orangnya agak protektif sih, tapi nggak gimana-gimana kok,” timpal Rinai. “Kamu setor muka ke CCTV di depan pos satpam itu juga udah aman buat sekarang.”

Atlas tentu saja tergelak mendengar jawaban Rinai. Keduanya pun terlibat pembicaraan seru lainnya mengenai banyak hal selama perjalanan pulang tersebut. Rinai bahkan sudah benar-benar lupa dengan peringatan Ksatria pagi tadi.

Bagi Rinai, Ksatria hanya sedang ingin bermain-main dengannya. Mungkin lelaki itu bosan dengan perempuan di sekitarnya. Lalu kembalilah Rinai dari Jogja dan ia jadi terlihat menarik di mata Ksatria.

Harusnya begitu… iyakan?

Tidak mungkin kan Ksatria menyukainya atau bahkan menginginkannya?

“Jadi….” Atlas menghentikan mobilnya tepat di depan pagar kediaman Abimayu yang tertutup. “Masih belum waktunya aku laporan sama papamu kalau aku baru nganter pulang kamu?”

“Belum,” jawab Rinai seraya meringis. “Makasih ya untuk malam ini.”

“Sama-sama, Nai,” jawab Atlas lembut.

“Hati-hati di jalan ya, Al.”

Atlas mengangguk. “Good night, Nai.”

Rinai membalas sapaan tersebut dan keluar dari mobil Atlas. Mobil yang dikendarai lelaki itu segera meluncur pergi setelah Rinai berjalan menuju gerbang.

Ketika Pak Jamal, satpam yang malam itu bertugas, membukakan pagar untuknya, Rinai melotot saat melihat Ksatria duduk di kursi. Lelaki itu duduk dalam kondisi tertidur dan kepala yang bersandar di dinding.

“Dari kapan dia di situ, Pak?” tanya Rinai pada Pak Jamal dengan sangat pelan. Rinai tak ingin Ksatria terbangun dan mendapatinya baru pulang saat ini.

Pak Jamal melirik atasannya yang sejak tadi menemaninya berjaga di pos kecilnya tersebut. Sebenarnya pos itu tidak terlalu kecil, malah kadang-kadang Rinai mencandainya kalau pos itu lebih mirip kontrakan sepetak karena cukup luas untuk sebuah pos.

“Nggak lama setelah Mas Satria pulang kerja, Mbak.”

Pak Jamal memang lebih suka memanggil Rinai dan Ksatria dengan panggilan ‘Mas’ dan ‘Mbak’, karena sudah terbiasa sejak hari pertamanya bekerja lima tahun yang lalu.  

Lelaki itu pun kesulitan menyebut nama Ksatria dengan benar, hingga akhirnya Ksatria pasrah namanya berubah jadi ‘Satria’ di lidah Pak Jamal.

“Saya tanya, kenapa nggak nunggu di dalem? Kan nanti saya bisa infoin. Tapi katanya udah janji mau nungguin di sini.”

“Sableng,” maki Rinai pelan sambil masih menatap sahabatnya itu.

“Mau dibangunin sekarang?”

“Eh, nggak usah! Nggak usah!” sergah Rinai. “Saya masuk dulu, lima belas menit lagi baru bangunin dia aja, Pak.”

Tanpa menunggu jawaban Pak Jamal, Rinai segera berlari menjauh. Rinai sudah terlalu lelah berdebat dengan Ksatria selarut ini.

Lagipula, buat apa sih lelaki itu benar-benar menunggunya di pos satpam?

Dasar gila, maki Rinai dalam hatinya.

***

Dengan refleks, Ksatria mengusap tengkuknya yang terasa pegal. Ketika ia membuka mata, pemandangan yang ia dapati pertama kali adalah monitor yang menampilkan tangkapan CCTV di berbagai sudut luar rumahnya.

“Rinai belum sampai juga, Pak?” tanya Ksatria pada Pak Jamal yang berdiri di depan pintu pos.

“Eh, udah bangun, Mas?” Pak Jamal menoleh kaget. “Tadi Mbak Rinai bilang, bangunin Mas Satria lima belas menit lagi.”

Kantuk Ksatria segera hilang dan ia berdiri dengan tiba-tiba. “Dia udah pulang?”

“Udah, Mas—”

“Oke, makasih, Pak.”

Ksatria segera menerobos keluar dan masuk ke halaman rumahnya. Matanya memicing seraya melangkah—lebih tepatnya, berlari melintasi halaman. Ia bisa melihat sekelebat bayangan yang memasuki jalan kecil di samping garasinya.

“Pasti dia sengaja,” gerutu Ksatria sambil mempercepat larinya.

Ksatria berhasil menyusul Rinai dengan napas terengah dan keringat yang mulai mengalir di tubuhnya. Saat Rinai tengah melintasi halaman belakang menuju ke rumahnya, Ksatria segera menarik tangan Rinai.

“Curang,” gerutu Ksatria. “Kamu pulang telat, Nai.”

“Aku udah izin sama papaku.”

“Ngapain aja kamu sama si peta dunia?”

“Nggak usah kepo.” Rinai berusaha mengentakkan pergelangan tangannya yang dicengkeram oleh Ksatria.

Tapi bukannya melepaskan tangan Rinai, Ksatria malah menarik tangan Rinai hingga memangkas jarak di antara mereka.

"Kamu baru kenal sama dia, Nai.” Ksatria menahan dirinya untuk tidak meneriaki Rinai. “Kalau diapa-apain gimana coba?”

Rinai tersenyum sinis saat berkata, “Lho, sahabatku sejak bayi aja ngajak aku tidur bareng. Apa bedanya?”

Rasanya seperti ada yang baru saja meninju ulu hati Ksatria saat ini.

“Kamu pulang telat.”

“Aku pulang larut malam, tapi nggak telat. Karena aku nggak bikin kesepakatan dengan siapa pun mengenai jam berapa aku harus sampai di rumah.”

“Kayak yang tadi pagi aku bilang.” Ksatria mengabaikan kata-kata Rinai. “I’m going to kiss you.”

Rinai terbelalak kaget, apalagi saat Ksatria benar-benar maju selangkah, membuatnya mundur dua langkah dengan panik—meskipun sebisa mungkin ia menutupi kepanikannya tersebut.

Di bawah penerangan halaman belakang yang agak redup karena salah satu lampunya tak menyala, Rinai bisa melihat kesungguhan itu di mata Ksatria.

Kenapa Ksatria sekarang benar-benar bertingkah seperti kekasih overprotektif, di saat mereka bahkan tak punya hubungan apa-apa selain sahabat dan atasan-bawahan?

Apa yang mengubah pandangan Ksatria padanya.

“Dorong aku kalau kamu nggak berkenan, or stay still if you want me to continue,” tambah Ksatria dengan suaranya yang kini malah sehalus beledu, seperti godaan setan yang halus tapi sebenarnya menjebak.

Ksatria mengambil tangan kiri Rinai dan menempelkannya di dadanya, membuat Rinai harus mengambil keputusan untuk mendorongnya atau menjadikannya tumpuan saat Ksatria menciumnya.

Rinai ingin menolak bahkan mendorong Ksatria sampai terbentur ke tiang lampu. Namun ketika tatapan mereka bertemu, ada sesuatu yang baru ia temukan di tatapan Ksatria padanya.

Ketika Rinai masih harus membuat keputusan dan di ambang keraguan, suara pintu yang terbuka dan dehaman yang terdengar janggal membuat keduanya terlonjak kaget.

“Ksatria, Rinai, ngapain kalian di sana?”

***

“I-ini, Pa, Ksatria ngomongin soal kerjaan,” jawab Rinai dengan cepat dan menurunkan tangannya yang tadi ditempelkan Ksatria di dada lelaki itu.

Tanpa menatap Ksatria, Rinai langsung berlalu dari hadapan lelaki itu dan berjalan menuju rumahnya.

Di teras rumah kecil itu, Sandy Prawara menatap anaknya dan Ksatria secara bergantian dengan janggal.

Tatapan Ksatria mengikuti ke mana Rinai pergi, bahkan sampai perempuan itu menghilang di balik pintu rumahnya.

“Ksatria?” tegur Sandy saat Ksatria masih berdiri di tengah-tengah halaman. “Ini udah malam, kamu nggak masuk ke rumahmu?”

“Iya, Om.” Ksatria mengangguk canggung. “Maaf karena udah ganggu Rinai soal kerjaan malam-malam. Saya duluan, Om.”

Ksatria segera berlalu masuk ke rumahnya melalui pintu penghubung di bawah pengawasan Sandy. Setelah memastikan tidak ada orang di halaman belakang tersebut, Sandy pun masuk ke rumahnya.

Di kamarnya, Rinai menaruh tasnya di ranjang dengan asal dan ia pun berbaring seraya menutup matanya dengan lengan.

Jantungnya berdebar keras hingga ia takut kalau ada orang lain di sini, orang itu akan mendengar debar jantungnya.

Ksatria gila, maki Rinai di dalam hati.

Kalau ayahnya tidak tiba-tiba muncul, apa Ksatria benar-benar akan menciumnya?

Denting singkat dari ponselnya membuat Rinai menghentikan pemikiran konyol tersebut. Rinai meraih ponselnya dan membaca pesan baru dari Atlas.

Atlas Satyanegara: Karena jalanan sepi aku jadi cepat sampai rumah. Udah tidur, Nai?

Rinai Prawara: Ini baru mau tidur. Syukurlah kalau udah sampai.

Atlas Satyanegara: Tidur yang nyenyak, Nai. Mimpi indah ya.

Rinai Prawara: Kamu juga ya.

Dengan gamang, Rinai menatap ponselnya yang masih menampilkan deretan pesannya dengan Atlas. Namun, sedetik kemudian layarnya berubah menjadi tampilan panggilan masuk dari Ksatria.

Rinai awalnya ragu untuk menjawab panggilan tersebut, tapi setelah cukup lama membiarkannya begitu saja, akhirnya Rinai memilih untuk menjawab panggilan tersebut.

“Apa?” tanya Rinai dengan galak.

Di seberang sana, Ksatria terkekeh. “Galak banget. Hei, aku cuma mau ingetin kamu, kamu punya utang satu ciuman sama aku.”

“In your dream.”

“Maunya di dunia nyata, Nai.”

“Sat!”

“Kamu tadi ke mana aja sama si peta dunia itu sampai pulang larut?” Ksatria memilih untuk menanyakan hal tersebut dibanding panggilannya langsung diakhiri sepihak oleh Rinai.

“Ke mall, makan sama nonton.”

“Kalian nonton di bioskop? Duduk sebelahan?!”

Rinai sampai perlu menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Ksatria yang lebih menyerupai teriakan.

“Ya iyalah,” jawab Rinai keki. “Mana ada orang nonton duduknya jauh-jauhan?”

“Ada, si Kalu.” Ksatria menyahut. “Kalian ciuman nggak di bioskop?”

“Kamu pikir aku anak ABG baru pacaran sampai ciumannya harus di bioskop, hah?” Kali ini Rinai benar-benar ingin mencari Ksatria di kamarnya dan melakukan kekerasan apa pun padanya supaya lelaki itu cepat sadar.

“Lagian ciuman atau nggak itu urusanku,” timpal Rinai lagi. “Emangnya selama ini aku pernah nanya kamu sama si Scarlett itu atau Gaby yang model itu kalau bercinta pakai gaya apa? Nggak kan?”

Ksatria diam di seberang panggilan sana.

“Sat,” panggil Rinai dengan lebih lembut kali ini. “Aku buatin jadwal konsultasi ke psikiater ya? Mau nggak? Kondisi kamu mengkhawatirkan banget soalnya. Sebagai sahabat, aku takut kamu kenapa-kenapa.”

“Hah? Psikiater?”

“Iya, kita cari tahu kenapa kamu tiba-tiba kayak terobsesi sama aku.”

“Aku nggak terobsesi sama kamu,” bantah Ksatria dengan kesal. “Aku cuma baru sadar kalau aku—”

“Kalau kamu belum pernah tidurin aku?”

“Itu sih fakta yang dari dulu aku juga tahu,” bantah Ksatria. “Bukan itu. Aku cuma baru sadar kalau aku mau kamu. Nggak sebagai aspri, nggak sebagai sahabat, tapi—"

Rinai buru-buru memutus panggilan tersebut sebelum mendengar penjelasan Ksatria.

Tidak. Tidak.

Ksatria tidak mungkin… menyukainya kan?

Setelah bersahabat sejak bayi?!

Rinai ingat, dulu Ksatria pernah bersumpah tidak akan menyukai siapa pun menggunakan hatinya setelah selama enam bulan penuh, ia mengikuti ibunya pergi ke rumah selingkuhannya.

Sumpah itu diucapkan Ksatria di hadapan Rinai, di hari terakhir mereka membuntuti Leona ke rumah selingkuhannya di kawasan Kebayoran Baru dan sesaat setelah memberi tahu Haydar mengenai perselingkuhan yang dilakukan istrinya.

Saat itu di hadapan Ksatria, Haydar hanya mengatakan agar Ksatria membiarkan saja apa yang dilakukan ibunya dan lebih baik melupakan apa yang telah ia lihat. Rinai yang menunggu Ksatria di balik rak besar yang menjadi sekat ruangan, tahu kalau sejak detik itu, Ksatria benar-benar sakit hati.

Bagaimana bisa perselingkuhan itu diwajarkan begitu saja?

Karena hal itulah Ksatria tak pernah pakai hati kepada perempuan mana pun. Ksatria tidak pernah mengatakan ia mau perempuan mana pun, karena semua perempuan dengan otomatis datang kepadanya.

Sampai hari ini, di mana pertama kalinya Rinai mendengar Ksatria menginginkan seorang perempuan.

Dan perempuan itu adalah dirinya.

“Nai.”

Panggilan yang disertai ketukan pintu tersebut membuat Rinai terlonjak kaget. “Ya, Pa?”

“Udah tidur?”

“Belum kok.” Rinai segera beranjak dari ranjangnya dan membukakan pintu untuk sang ayah.

“Tadi pulang sama Ksatria?” tanya Sandy, ayahnya. “Katanya jalan sama temen.”

“Nggak kok. Aku emang jalan sama temen. Tapi pas mau ke rumah, si Ksatria manggil dulu.” Rinai merasa agak bersalah karena harus berbohong pada ayahnya, tapi tak mungkin juga ia mengatakan yang sebenarnya.

“Kamu….” Lelaki paruh baya itu menatapnya dengan ragu. “Kamu nggak lagi pacaran sama Ksatria kan?”

“Hah?” Rinai melotot kaget. “Nggaklah, Pa! Masa aku pacaran sama Ksatria?”

“Beneran?”

“Beneran, Pa!” Punggung Rinai sebenarnya sudah basah karena keringat, cemas entah karena apa. Sebab, baru kali ini ayahnya menanyakan hal tersebut.

“Baguslah.” Sandy menghela napas lega. “Papa sejak dulu nggak masalah kalau kamu temenan sama dia, tapi beda soal kalau pacaran. Jangan main-main sama api, Nai.”

“Iya, Pa.” Rinai tak tahu harus merespons apa.

Di satu sisi, kata-kata ayahnya benar. Ksatria seperti api unggun yang cantik dan menghangatkan, tapi jika dimainkan tetap saja bisa membakarnya.

Sebelum Sandy meninggalkan kamar Rinai, lelaki itu kembali berpesan, “Kamu tahu sendiri kan selama ini Ksatria sukanya main-main aja—bahkan kamu yang selama ini bantuin dia main-main.

“Kalau misalnya Papa biarin kamu sama dia, emang kamu bisa bersikap biasa lagi setelah dimainin sama Ksatria?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status