Share

BAB 6 - Ksatria yang Selalu Berlari ke Rinai

Atlas Satyanegara: Kamu belum pulang kerja? Lembur?

Rinai Prawara: Iya, lembur. Tapi bukan di kantor.

Atlas Satyanegara: Lho, terus ngapain?

Rinai Prawara: Ngasuh anak kecil.

Rinai melirik sinis ke arah meja yang kini ditempati oleh Ksatria dan Aleah. Saat Aleah tiba tadi, tentu saja perempuan itu menyadari kehadiran Rinai yang duduk berjarak beberapa meja dari meja mereka.

Aleah tentu saja terlihat bingung, tapi perempuan itu menyempatkan diri menyapa Rinai dan Rinai pun mengatakan jangan menganggap dirinya ada di sini supaya tidak mengganggu mereka.

Karena dibawa ke restoran ini, akhirnya Rinai memutuskan balas dendam dengan memesan makanan favoritnya yang kebetulan jadi menu utama di restoran tersebut.

Rinai makan tanpa peduli kalau Ksatria sewaktu-waktu bisa memanggilnya, anggap saja ia tengah ke sini sendirian karena sedang kebanyakan uang.

Saat sedang makan itulah, Rinai tak menyadari kalau beberapa kali Ksatria melirik ke arahnya. Kadang lelaki itu tersenyum kecil melihat betapa Rinai menikmati makanannya dan tak peduli dengan sekitar.

Sejak dulu, Rinai memang hobi makan dan hal itulah yang membuat tubuhnya berisi saat SD hingga SMP. Ksatria-lah yang dulu diam-diam sering menghajar lelaki yang mengejek Rinai hingga Rinai menangis diam-diam.

Ksatria selalu ada untuk Rinai, ia menempel seperti lintah dan sering mengusili Rinai supaya Rinai tidak kesepian. Saat kuliah dulu, Ksatria pikir ia mulai menyukai sahabatnya.

Tapi kata-kata seseorang membuatnya menyadari kalau lelaki sebrengsek dirinya mungkin tidak pantas untuk bersanding dengan Rinai. Sejak saat itu, Ksatria mengubur perasaannya yang baru mulai bersemai dan menganggap periode itu tidak pernah ada di dalam hidupnya.

Sampai akhirnya ketika Rinai meninggalkannya selama setahun belakangan, Ksatria sadar kalau ia jadi kehilangan banyak hal meski yang pergi hanya seorang Rinai.

Mungkin benar kata Rinai, selama ini Ksatria terlalu bergantung padanya. Namun, ketika Rinai mengatakan perasaannya hanya halusinasi, Ksatria tahu pendapat Rinai tentangnya itu salah.

“Ksatria?”

Suara Aleah menyadarkan Ksatria. Ksatria pun kembali menatap perempuan yang dijodohkan ibunya tersebut seraya tersenyum.

“Kenapa, Aleah?”

Aleah mengernyit, lalu berkata, “Kamu bisa panggil aku ‘Le’ aja kalau ‘Aleah’ kepanjangan.”

“Oke.” Ksatria mengangguk. Sembari mengiris daging di piringnya, Ksatria bertanya, “Jadi kamu nggak akan setuju dengan perjodohan ini kan?” tanyanya dengan yakin. “Kamu pasti tahu siapa aku dan kalau untuk jadi calon suami, nilaiku 0.”

Di luar dugaan Ksatria, Aleah malah terkekeh. “Aku nggak secepat itu kok dalam menilai orang lain.”

Ksatria menahan diri untuk tidak dengan spontan mengatakan, ‘Hah?’

“Bagiku, semua laki-laki di awalnya bisa aja nggak terlihat cocok untuk menikah. Tapi kalau belum dijalanin kan, siapa yang tahu? Aku tertarik untuk kenal kamu lebih jauh. Kurasa kita bisa jadi partner hidup yang baik. Gimana menurut kamu?”

Ksatria bergidik pelan mendengar bagaimana antusiasme Aleah terhadap dirinya dan rencana mereka menjadi ‘partner hidup’. Ksatria tahu kalau selama ini Aleah kuliah dan bekerja di Perth, mungkin itu kenapa Aleah tidak tahu banyak soal sepak terjangnya selama ini.

Tapi informasi sekarang ini bisa didapat dengan mudah. Ksatria yakin Aleah juga punya teman di sini, jadi pastilah tidak sulit untuk mencari tahu seperti apa dirinya bagi Aleah.

Dan Aleah tidak ilfeel seperti Rinai padanya?

Ksatria berdeham pelan. “Le,” panggilnya mengikuti saran Aleah tadi. “Kamu nggak salah? Masa laluku nggak bagus-bagus banget lho,” kata Ksatria dengan kebingungan yang ia coba untuk sembunyikan.

Lagi-lagi Aleah menggeleng. “Nggak kok, biarin aja jadi masa lalu. Yang penting nantinya aku bisa bikin kamu cuma setia sama aku kan.” Aleah menjawab dengan yakin.

“Lagipula aku suka tantangan, bisa bikin seorang player kayak kamu cuma ngeliat aku adalah hal yang aku suka,” katanya lagi dengan blak-blakan.

Kini Ksatria tahu kalau Aleah adalah tipe orang yang merasa bisa menaklukan seorang player atau mungkin bad boy bisa menjadi sebuah achievement tersendiri baginya.

Aleah juga selalu blak-blakan sepanjang pengamatan Ksatria. Kesan pertama yang Aleah berikan pada Ksatria adalah orang yang tahu apa yang ia inginkan dan akan berusaha untuk mendapatkannya.

Ksatria meringis. “Hati-hati sama ekspektasimu, Le.”

Aleah menggeleng pelan. “Aku yakin sama apa yang kulihat sekarang kok. Aku juga yakin kalau bisa bikin kamu suka atau bahkan cinta sama aku.”

“Masalahnya adalah sejak awal aku nggak menginginkan perjodohan ini,” kata Ksatria dengan tegas.

Ksatria bahkan sudah mengutarakan hal ini sejak pertemuan pertama mereka, makanya Ksatria pikir Aleah akan menolak ajakan makan malamnya ini. Tapi semua hal tentang Aleah seperti di luar dugaannya.

“Tapi kamu ngajak aku makan malam hari ini.” Aleah rupanya benar-benar termakan tipuan Ksatria. “Sebenernya kalau kamu nggak ngajak aku, tadinya aku yang mau ngajak kamu. Kamu boleh bilang nggak menginginkan perjodohan ini.

“Sebagai laki-laki, kamu pasti nggak suka diatur dan seperti nggak bisa mengambil keputusan sendiri seperti ini. Tapi aku bisa bikin kamu menginginkan aku.”

Ksatria semakin merasa kalau rencana ibunya untuk menjodohkannya dengan Aleah adalah hal yang buruk.

***

Rinai menahan diri untuk tidak melirik ke belakang melalui rear-view mirror yang ada di hadapannya.

Aleah yang tidak membawa mobil saat ke restoran dengan harapan ingin diantar Ksatria, membuatnya terjebak di satu mobil yang sama dengan Rinai dan Pak Anwar.

Kini mereka akan mengantar Aleah ke apartemennya dahulu, baru kemudian pulang. Sebenarnya Aleah berharap kalau Ksatria akan mengantarnya sendiri dan mungkin… mereka bisa menghabiskan waktu hanya berdua.

“Gimana tadi makanannya? Enak kan?”

Pertanyaan Ksatria secara otomatis membuat Aleah tersenyum, setidaknya Ksatria cukup perhatian bukan?

Namun, ketika Aleah baru akan membuka mulutnya untuk menjawab, Ksatria mengulurkan tangannya ke depan dan mencolek bahu Rinai.

“Nai, aku nanya kamu,” imbuh Ksatria. “Enak kan makanannya? Signature dish restoran itu kan makanan kesukaan kamu.”

Rinai yang juga berpikir kalau Ksatria tadi bertanya pada Aleah, terkejut saat merasakan bahunya disentuh. “I-iya, enak,” jawab Rinai seraya melirik ke arah Aleah.

“Next time kalau bosen sama restoran di sekitar kantor, kita lunch di situ aja.”

Hm….” Rinai memilih bergumam supaya Ksatria mengerti kalau ia tak mau diajak bicara.

“Kita juga bisa lunch bareng lho,” kata Aleah yang memutuskan ia harus angkat bicara, kalau tidak Ksatria hanya akan mengajak bicara asisten pribadinya itu. “Kantor kita nggak terlalu jauh. Aku juga sejak Senin ini mulai kerja di kantor papaku.”

“Kalau aku minat ya,” jawab Ksatria seadanya.

Rasanya Rinai baru bernapas lega saat akhirnya mobil yang dikemudikan Pak Anwar tiba di depan towerapartemen yang dihuni Aleah. Aleah menunggu sampai Ksatria membukakan pintu untuknya atau ikut turun bersamanya, tapi lelaki itu tak bergerak dari tempatnya.

“Kamu nggak mau mampir dulu?” tanya Aleah pada akhirnya.

Ksatria menggeleng dan tersenyum. “Sorry, aku harus bangun pagi besok.”

“Oke.” Aleah ikut tersenyum, menyembunyikan kekesalannya saat menyadari kalau lagi-lagi tatapan Ksatria terarah pada Rinai yang duduk di depannya. “Malam, Ksatria.”

“Malam.”

Aleah turun dari mobil Ksatria dan berlalu masuk ke tower apartemennya. Sementara itu, Ksatria mengamati Rinai yang masih diam di kursinya.

“Kamu mau duduk di sana terus?” tanyanya. “Pindah ke belakang, Nai.”

“Tapi—”

“Pindah.”

Satu kata bernada perintah itu akhirnya membuat Rinai keluar dan berpindah ke sisi Ksatria di kursi belakang. Rinai tak menyadari kalau dari kejauhan, Aleah masih bisa melihatnya yang berpindah ke sisi yang tadi Aleah duduki.

Di samping Ksatria.

Ketika akhirnya mobil itu bergerak menjauh, Ksatria menaikkan partisi mobil dan menoleh pada Rinai.

“Do you feel nothing when you see me with another woman?” tanya Ksatria pada Rinai yang memilih menatap ke luar jendela, tanpa mau menjawab pertanyaan Ksatria barusan.

***

Tante Leona: Nai, kita bisa makan siang bareng nggak hari ini?

Tante Leona: Ada yang mau Tante omongin sama kamu.

Rinai melirik Ksatria yang masih sibuk membahas mengenai rencana produksi ulang parfum pertama yang dulu dirilis Heavenly & Co, dalam rangka ulang tahun perusahaan yang ke-55.

Dengan hati-hati agar tak terlihat oleh Ksatria, Rinai membalas pesan Leona.

Rinai Prawara: Bisa, Tante. Mau ketemu di mana?

Tante Leona: Di Ootoya PP ya, Nai. Nanti Tante suruh Pak Bob jemput kamu di kantor.

Tante Leona: Berdua aja dan jangan kasih tahu Ksatria kalau kamu ketemu Tante ya, Nai.

Rinai Prawara: Oke, Tante.

“Udah dicatat semua kan, Nai?”

Rinai segera menyimpan ponselnya ke saku blazer yang ia kenakan dan mengangguk. “Udah, Pak.”

Ksatria melirik Rinai sekali lagi, lalu mengakhiri meeting dengan tim produksi karena satu jam lagi waktunya istirahat.

Keduanya kembali ke ruangan Ksatria dan mereka terdiam, tidak ada yang bicara sama sekali.

Tanpa Ksatria ketahui, ucapan Ksatria masih melekat di benak Rinai. Semalam Rinai memang tak menjawab pertanyaan Ksatria karena ia tak tahu apa yang harus ia katakan.

Tentu saja Rinai merasakan sesuatu yang asing saat melihat bagaimana Ksatria dan Aleah makan bersama sambil mengobrol, di restoran yang terkenal sebagai tempat orang-orang untuk melamar pasangannya tersebut.

Rinai tidak ingin mengatakannya karena hal itu hanya akan membawa bencana bagi mereka berdua. Rasanya tidak ada hal baik yang akan datang kepada mereka berdua selagi Ksatria ngotot ingin bersamanya lebih dari sekadar sahabat.

“Mau makan siang di mana?” Akhirnya Ksatria-lah yang memecahkan keheningan di antara mereka.

“Aku mau makan siang di tempat lain.”

“Iya, mau di mana?” tanya Ksatria lagi. “Aku ngikut aja ke mana pun kamu mau makan siang.”

“Maksudku, aku mau makan siang di tempat yang nggak biasa kita datengin, Sat,” jawab Rinai. “Dan aku nggak akan makan siang bareng kamu hari ini.”

“Kenapa?” Ksatria langsung menoleh dengan cepat. “Mau makan siang sama siapa emangnya?”

“Rahasia.”

“Sama peta dunia?”

“Namanya Atlas, bukan peta dunia,” bantah Rinai dengan sebal. “Iya, sama dia.”

Maafin aku ya, Al, udah bawa-bawa nama kamu, batin Rinai saat menjawab pertanyaan Ksatria. Tidak mungkin kalau ia mengatakan kalau Leona-lah yang mengajaknya pergi makan siang.

Sejak dulu Ksatria sudah sangat antipati terhadap ibunya. Entah untuk alasan apa, Ksatria pun tidak suka kalau ibunya dekat-dekat dengan Rinai. Maka dari itu wajar rasanya kalau Leona meminta Rinai merahasiakan pertemuan mereka hari ini.

“Awas ya kalau kamu sampai ngikutin aku lagi,” ancam Rinai lebih dulu. “Aku bakalan bener-bener marah, Sat.”

Karena tahu Rinai bisa saja melakukan hal tersebut, maka Ksatria mengangguk seraya merengut sebal. “Oke, oke.”

Keduanya berpisah di depan ruangan Ksatria. Ksatria masuk ke ruangannya dan Rinai duduk di kursinya yang berseberangan dengan Fiona. Dengan cepat, Rinai merapikan catatannya dan mengirimkannya kepada Ksatria.

Rinai berusaha mengerjakan pekerjaannya secepat mungkin, jadi ketika jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang, ia bisa langsung pergi sebelum Ksatria keluar dan melihatnya.

Benar saja, pekerjaannya selesai lima menit sebelum pukul dua belas dan Pak Bob, sopir yang biasa mengantar Leona ke mana pun perempuan itu pergi, mengirim pesan padanya kalau ia sudah ada di pelataran lobi.

Rinai pamit pada Fiona dan segera turun ke lantai dasar sebelum Ksatria keluar dari ruangannya. Rinai jarang menyimpan rahasia dari Ksatria, jadi pasti akan susah untuk bertemu dengan Ksatria sebelum ia pergi menemui Leona.

Pasti sulit baginya untuk menahan diri supaya tidak membocorkan janji temunya dengan Leona pada Ksatria.

Begitu tiba di Pacific Place, Rinai segera menuju lantai lima di mana Ootoya berada. Ibu Ksatria itu memang penyuka hidangan dari negara sakura tersebut, berbeda dengan Ksatria dan Shahia, kedua anaknya.

Rinai langsung bisa mengenali sosok Leona di antara banyaknya orang-orang berpakaian formal yang tengah menikmati makan siangnya. Ia pun bergegas menghampiri Leona sebelum Leona merasa sudah menunggunya terlalu lama.

“Siang, Tante.”

“Siang, Nai,” sapa Leona. “Duduk, duduk. Kamu pesen dulu ya, Nai. Tadi Tante baru pesen minum aja.”

Rinai mengiakan dan dengan cepat menyebut pesanannya pada pramusaji yang dipanggil oleh Leona. Setelah keduanya menyebutkan pesanan mereka, Rinai mulai merasa canggung.

Leona selama ini cukup baik padanya, tidak pernah merendahkan statusnya meskipun ia bersahabat baik dengan Ksatria.

Tetapi, kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya Leona mengajaknya makan siang berdua saja.

Tanpa Ksatria atau Shahia.

Sementara itu, Leona mengamati Rinai dengan intens. Pagi tadi Aleah mengatakan padanya kalau Ksatria kembali menolaknya dan bahkan membawa asisten pribadinya untuk ikut makan malam dengan mereka.

Leona tahu kalau Ksatria tidak akan langsung setuju dengan perempuan pilihannya. Tetapi, mendengar bagaimana anaknya itu mengundang Aleah makan malam sembari diawasi oleh Rinai merupakan hal yang aneh.

“Nggak mungkin kan Ksatria suka sama asprinya itu, Tan? Masa dinner aja Ksatria sampai bawa asprinya sih?”tanya Aleah tadi pagi yang langsung dibantah oleh Leona.

Meskipun ia tidak dekat dengan Ksatria, tapi ia juga tahu bagaimana persahabatan putranya dan Rinai. Tidak mungkin Ksatria menyukai Rinai.

Tidak mungkin… kan?

“Sebenernya Tante ke sini mau ngerepotin kamu, Nai,” kata Leona sambil tersenyum kecil. “Kamu tahu kan kalau Ksatria lagi Tante coba deketin sama Aleah?”

“Iya, Tante.”

“Tante belum tahu sih, sejauh apa hubungan mereka. Toh baru dua kali ketemu kan.” Leona terkekeh pelan. Tangannya meraih tangan Rinai dan menggenggamnya dengan erat. “Jadi Tante mau minta tolong kamu, Nai.”

“Eh? Minta tolong apa ya, Tante?”

“Tante minta dukungan kamu ya buat perjodohan ini,” ucap Leona sungguh-sungguh. “Dibanding Tante sama ayahnya Ksatria, Ksatria tuh cuma mau dengerin kamu doang, Nai. Emang sih, ini salah Tante dan Om yang nggak bisa jadi orangtua yang baik.

“Maka dari itu, kamu kan udah tahu banget Ksatria gimana orangnya, bisakan Tante minta tolong kamu untuk yakinin Ksatria, kalau Aleah itu emang yang terbaik buat dia?”

Rinai terpaku di tempatnya saat mendengar permintaan Leona.

Tapi keterpakuan Rinai ditangkap lain oleh Leona. Leona pun melanjutkan, “Tante capek lihat dia selama ini keliling nggak menentu—siang ini sama si A, sorenya sama si B. Separah itu.” Leona menggeleng ringan. “Udah saatnya dia menikah dan hidup dengan baik. Iyakan, Nai?”

“Iya, Tante….” Rinai tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

“Tante minta bantuan dan dukungan kamu ya, Nai,” pinta Leona kembali dengan lebih sungguh-sungguh. “Bantu Tante yakinin Ksatria untuk jalanin dulu hubungan dengan Aleah. Aleah perempuan yang baik dari segala sisi, cocok sama Ksatria kalau aja anak itu mau buka hati.”

Rinai tahu kelemahannya adalah sulit mengatakan tidak pada keluarga Abimayu, yang secara tak langsung sudah membantu membesarkannya hingga seperti ini.

“Rinai bantu semampunya ya, Tante. Tante tahu sendiri Ksatria orangnya susah kalau udah punya pendirian.”

“Tante percaya sama kamu!” Leona menepuk pelan punggung tangan Rinai dengan senang. “Tante nggak akan bisa lupain jasa-jasa kamu kalau nanti mereka akhirnya menikah. Kamu emang sahabat terbaiknya Ksatria, Nai!”

Dan baru kali inilah, bayangan Ksatria menikah dengan perempuan lain, terasa sangat nyata di benak Rinai.

***

“Bang? Tumben udah pulang jam segini.”

Komentar Shahia tidak dipedulikan Ksatria yang hanya melambaikan tangan dengan asal kepada adiknya tersebut.

Ksatria masuk ke kamarnya seraya melepas dasi dengan gusar. Memang cukup jarang Ksatria pulang tepat waktu. Meskipun tidak lembur atau hangout dengan sahabatnya, biasanya Ksatria suka melewatkan waktu makan malam di kantor.

Ksatria lebih suka pulang hanya untuk tidur dibanding bersosialisasi dengan keluarganya. Rinai yang sudah hafal kebiasaan lelaki itu pun biasanya mengikuti Ksatria, mereka akan makan di kantor atau di luar.

Akan tetapi, seringnya Ksatria memilih untuk pergi entah ke mana dengan pacar-pacarnya supaya Rinai tidak perlu menemaninya. Rinai masih punya ayah yang bisa ia temani, jadi Ksatria tidak ingin mengambil waktu Rinai lebih banyak lagi.

Hari ini, Ksatria kembali makan malam di rumah karena ada yang ingin ia bicarakan. Ksatria sudah menahannya sejak siang tadi melihat bagaimana mobil ibunya mengantarkan Rinai sampai di kantor.

Awalnya Ksatria ke lobi hanya karena ingin membeli roti di bakery yang ada di sana. Yah, hitung-hitung menunggu Rinai sampai ke kantor diantar si peta dunia itu.

Tapi siapa sangka peta dunia yang dimaksud Rinai bukan Atlas senior adiknya. Ternyata ibunya yang mengantar Rinai dan Ksatria bisa memastikan, kalau ibunya mengantar Rinai bukan hanya karena sekadar tak sengaja bertemu di jalan.

Lelaki itu memilih untuk tidak bertanya langsung pada Rinai. Sejak awal saja sahabatnya itu menyembunyikan hal tersebut. Lebih baik kalau ia bertanya pada ibunya mengenai apa yang mereka bicarakan.

Ksatria sendiri menebak kalau ibunya membicarakan soal Aleah dengan Rinai.

“Tumben di rumah,” kata Haydar begitu melihat Ksatria yang sudah mandi dan berganti pakaian turun ke lantai satu saat jam makan malam.

Ksatria hanya mengedikkan bahunya. Keterkejutan juga muncul di manik mata ibunya, tapi perempuan paruh baya itu tidak berkomentar apa pun.

“Mama ngapain ngajak Rinai ketemu?”

Ksatria tak memberi kesempatan ibunya untuk menikmati hidangan yang ada di meja makan, karena lelaki itu bertanya tepat saat ibunya hendak menyuap makanannya.

“Kapan Mama ketemu Rinai?” Leona memilih pura-pura tak tahu soal apa yang dibicarakan anaknya.

Ksatria menggeram kesal dan Shahia yang juga terkejut dengan pertanyaan kakaknya, kini menepuk pelan bahu lelaki yang duduk di sampingnya itu.

“Mama ngomong apa aja sama dia?” tanya Ksatria sekali lagi. “Aku tahu tadi siang Rinai makan siang sama Mama dan Mama pasti punya agenda tersendiri kan?”

“Siapa yang bilang Mama pergi makan siang sama Rinai?”

“Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri,” jawab Ksatria dengan kesal. “Masih nggak percaya? Rinai nggak ngomong apa-apa, tapi aku lihat Mama nganter Rinai sampai depan kantor.”

“Ksatria,” tegur Haydar ketika suara Ksatria mulai meninggi saat bicara dengan ibunya. “Ngomong pelan-pelan bisa kan?”

“Tanya aja istri Papa, bisa nggak untuk nggak ikut campur urusan anaknya?”

Leona menghela napasnya dan menaruh kembali sendoknya. “Iya, Mama ketemu Rinai. Sejak kapan Mama ketemu Rinai harus bilang-bilang kamu dulu?”

“Sejak dulu,” tandas Ksatria dengan asal. “Ngapain Mama ngajak Rinai ketemu?”

“Cuma ngobrol kok.” Ketika Ksatria semakin memicingkan matanya, Leona memilih untuk mengatakan yang sejujurnya. “Ngobrolin kamu dan Aleah. Mama minta dukungan Rinai buat jodohin kamu sama Aleah karena Mama tahu, kamu lebih dengerin Rinai daripada Mama.”

“Sayang,” panggil Haydar yang sama terkejutnya dengan kedua anaknya begitu mendengar apa yang dilakukan istrinya. “Kamu—”

“Mama bener-bener keterlaluan,” desis Ksatria. “Tahu kenapa aku lebih dengerin orang lain ketimbang Mama? Karena bahkan sejak dulu pun Mama nggak pernah mau dengerin aku. Aneh, berharap anaknya dengerin dia tapi dianya sendiri nggak pernah mau denger.”

“Ksatria!”

Ksatria tidak menghiraukan teriakan ibunya yang menyuruhnya untuk kembali duduk. Lelaki itu memilih pergi dari ruang makan.

Sejak Ksatria memergoki bagaimana kehidupan yang orangtuanya jalani dan seperti apa orangtua yang ia miliki, rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali dalam setahun Ksatria bisa duduk di meja yang sama dengan mereka sampai makan malam benar-benar tuntas.

Pergi begitu saja di tengah acara makan bersama rasanya sudah jadi kebiasaan Ksatria.

Ksatria pergi ke arah tangga, berniat untuk kembali ke kamarnya. Namun pikirannya berubah dan Ksatria berbelok ke arah dapur. Lelaki itu membuka pintu penghubung dan berjalan melewati halaman rumahnya.

Dalam setiap langkahnya, rasanya Ksatria seperti diajak bernostalgia.

Dulu saat kecil dan ibunya sering marah-marah hanya karena ia mendapat nilai 8 dari 10, Ksatria selalu berlari melintasi halaman belakang sambil menahan diri untuk tidak menangis dan mengetuk pintu rumah keluarga Prawara dengan brutal.

Kini Ksatria mengulangi hal itu—selalu berlari pada Rinai saat ia merasa tidak punya siapa-siapa.

Ksatria mengetuk pintu rumah Rinai beberapa kali. Dari luar, samar-samar Ksatria bisa mendengar suara televisi dan derap langkah.

“Sebentar,” teriak Rinai dari dalam.

Pintu pun dibuka oleh Rinai yang satu tangannya tengah memeluk stoples berisi keripik singkong. Rambutnya yang biasa dikucir kuda saat bekerja, kini tergerai begitu saja dan agak berantakan.

Malam itu Rinai hanya mengenakan kaus belel yang melekat di tubuhnya dengan sempurna dan celana pendek yang memamerkan setengah pahanya.

Ksatria termenung selama beberapa saat ketika mengamati penampilan sahabatnya yang sangat berbeda dengan yang biasa ia lihat.

Karena setelah mereka dewasa mereka terbiasa bertemu di luar—kampus, kantor, dan kapan pun saat mereka keluar bersama, Ksatria jadi canggung begitu melihat penampilan Rinai yang santai begini.

Bahkan Ksatria tak ingat kapan terakhir kali melihat Rinai dengan hotpants-nya tersebut.

“Sat?” panggil Rinai yang bingung karena Ksatria datang malam-malam dan melamun di hadapannya. “Kenapa? Kok ke sini?”

“Kamu lagi ngapain?” tanya Ksatria setelah berdeham beberapa kali.

“Nonton sambil ngabisin ini.” Rinai menunjuk stoplesnya.

“Om Sandy ada di rumah?”

Rinai mengerutkan keningnya. “Papaku hari ini pergi ke Bintaro dari pagi. Palingan lusa baru balik. Kenapa?”

“Aku izin ke papamu dulu kalau gitu.” Ksatria merogoh ponselnya dan bersiap menelepon Sandy Prawara. “Kamu ganti baju gih. Pakai yang panjang dan tebel.”

“Emang kita mau ke mana?”

“Ke mana aja, asalkan jangan di rumah ini.”

Meski tak mengerti, Rinai mengangguk dan meninggalkan Ksatria di depan pintu rumahnya. Ini bukan yang pertama kalinya Ksatria berlari kepadanya dan mengajaknya pergi sejenak menjauhi keluarga dan rumahnya.

Pada akhirnya, Ksatria akan selalu berlari pada Rinai….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status