Beruntung acara makan malam itu berlangsung menjelang akhir pekan. Jadi Ksatria tidak perlu mengajukan cuti untuk merenung seharian di apartemennya.
Sebenarnya kedua orangtua Ksatria menawarkan lelaki itu untuk menginap di rumah daripada menyetir malam-malam. Namun, Ksatria menolak dengan halus dan beruntung, mereka menghargai keputusan Ksatria.
Malam itu, setelah sekian lama Ksatria tertidur tanpa merasa tenang (kecuali ketika ia sedang kelelahan, saat di Jogja bersama Rinai, atau setelah kembali dari konsultasi rutinnya), Ksatria tertidur dengan lelap dan tanpa bermimpi yang aneh-aneh.
Mereka sudah saling memaafkan.
Meski tentu, tidak
“Kali ini aku berdoa supaya Rinai cepet balik ke Jakarta, biar kamu nggak berkeliaran untuk minta makan kayak gini.”“Amin.” Dengan khidmat, Ksatria ikut mengaminkan harapan yang Shua ucapkan dari hati yang paling dalam tersebut.Shua menghela napas dan mencoba mengikhlaskan serundeng buatan ibunya yang kini tinggal tersisa setengah stoples. Padahal serundeng itu baru dikirim ibunya kemarin dan Shua pikir cukup untuk jatah makannya maksimal dua minggu lagi.Minggu siang ini Shua tengah meliburkan diri setelah bekerja gila-gilaan sebulan belakangan. Maka dari itu, hari ini ia ada di apartemen ketika Ksatria mengetuk pintunya dengan dalih ingin meminta makan.Sebenarnya Shua sudah ingin menendang Ksatria, tapi ia ingat pesan Rinai yang menitipkan Ksatria padanya saat perempuan itu memutuskan untuk pergi ke Jogja. Dengan terpaksa, ia menampung Ksatria serta memberinya makan.“Mau?” Ksatria menawarkan serundeng yang sejak tadi ia kuasai kepada Shua.Dua piring nasi sudah Ksatria habiskan
“Kamu udah terima hadiah yang aku kirim kan?”“Udah, kamu udah nanyain hal yang sama sejak seminggu yang lalu, Yang.”“APA?” Ksatria yang tengah berjalan menuju ruangannya, sampai berhenti melangkah ketika mendengar jawaban Rinai. “Coba ulang lagi, Yang!”Rinai mendesis kesal. “Nggak tahu!”Ksatria tertawa, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Fiona yang sepertinya baru datang dan masih merapikan mejanya, menyapa Ksatria dengan ramah seperti biasa.“Kebiasaan, ngambek,” ledek Ksatria.“Kamu tuh yang lebay tiap dipanggil ‘Sayang’.”“Bukan lebay. Soalnya langka banget kejadian kamu manggil aku begitu. Jadinya aku selalu kaget,” kilah Ksatria.Lelaki itu memasuki ruang kerjanya dan menaruh tasnya di tempat biasa.Sudah sebulan berlalu sejak ulang tahun Ksatria dan hari ini adalah hari ulang tahun Rinai.Seminggu yang lalu, Ksatria mengirim hadiahnya untuk Rinai ke Jogja. Lelaki itu takut kalau ia mengirimnya di dekat hari ulang tahun Rinai, malah sampainya tak sesua
Rinai sudah merencanakan hal ini sejak beberapa hari sebelum ulang tahun Ksatria sebulan yang lalu.Awalnya memang ada berbagai macam ketakutan di dalam kepalanya. Apakah ia bisa benar-benar pergi sendiri? Bagaimana kalau nanti ada laki-laki yang menyentuhnya? Apakah Rinai bisa melawan?Tapi ketika ia uraikan pro dan kontranya mengenai rencana mendatangi Ksatria ke Jakarta di hari ulang tahunnya, lebih banyak poin di bagian pronya. Rinai juga telah berkonsultasi pada psikolog yang menanganinya, ayahnya, hingga budenya.Dan mereka mengatakan, sebenarnya kalau Rinai sudah berpikir sampai sejauh ini, ia telah siap.Ayahnya sempat menawarkan untuk mengantar Rinai sampai di Jakarta. Tetapi, Rinai pikir ia harusnya sudah bisa benar-benar tiba di Jakarta sendiri.Jadilah kemarin Rinai tiba di Jakarta dengan selamat—tanpa merasa cemas, panik, atau bahkan menangis karena terpaksa berdekatan dengan lelaki saat di tempat umum.“Jadi kamu kapan sampai di Jakarta?”Pertanyaan itu mengembalikan Rin
Pagi itu Ksatria bangun karena ada sesuatu yang memberatkan lengannya hingga kram.Lelaki itu membuka kedua matanya, mengerjap pelan untuk membiasakan matanya dengan cahaya matahari yang menelusup masuk dari sela tirai yang terbuka.Setelah kesadarannya terkumpul hampir setengahnya, Ksatria menunduk dan menemukan Rinai yang tidur beralaskan telapak tangannya. Pantas saja tangannya terasa kram.Ada jarak di antara mereka, sepanjang lengan Ksatria yang terbentang karena perempuan itu menimpa telapak tangan Ksatria sebagai bantalnya.Walau begitu, Ksatria tidak menarik tangannya. Ia biarkan saja kebas itu mengaliri tangannya lebih lama lagi, asal mimpi ini tidak langsung menguap.Ada Rinai di ranjangnya dan sedang tertidur nyenyak. Ini mimpi, bukan?Tidak mungkin Rinai kembali ke Jakarta. Iyakan?Ksatria terus mengamati wajah Rinai di hadapannya dan bersyukur karena kini wajahnya tak setirus terakhir kali mereka bertemu.Hal ini tentu jadi satu tanda kalau kondisi Rinai sudah jauh lebih
“Kalau di dunia ini sisanya cuma Chris Evans sama aku, kamu pilih siapa?”“Kayaknya kamu nggak habis minum alkohol atau makan magic mushroom, tapi kenapa pertanyaan kamu kayak halu gini ya?”Ksatria tergelak hingga mendongakkan kepalanya, selagi Rinai hanya bisa menggeleng dan mengambil sepotong pizza yang mereka pesan untuk makan siang hari ini.Heran, kenapa Ksatria menanyakan hal yang jawabannya sudah jelas?“Aku serius padahal lho,” beri tahu Ksatria lagi. “Jadi kamu pilih siapa kalau di dunia ini cuma nyisa kita berdua, Yang?”“Chris Evans-lah. Gila kali kamu, itu satu-satunya kesempatan aku ketemu sama dia,” jawab Rinai dengan berapi-api. “Sedangkan sama kamu, aku ketemu dari bayi. Jadi ngapain aku pilih kamu?”Ksatria berdecak kesal dan ganti Rinai yang tertawa setelahnya. Rinai pun meledek Ksatria. “Makanya, kalau nggak mau sakit hati denger jawabanku, nggak usah nanya.”“Aku kan cuma tiba-tiba kepikiran aja,” sungut Ksatria. Tangan lelaki itu hendak mengambil potongan terakhi
‘Jadi playboy juga harus ada masa pensiunnya, Ksatria. Sekarang, berhenti main-main dengan banyak perempuan dan menikahlah dengan perempuan pilihan Mama.’Ksatria Auriga Abimayu mendengus saat masuk ke klub malam langganannya, The Clouds, seraya teringat dengan apa yang diucapkan sang ibu di makan malam tadi.Ocehan mengenai ia yang harusnya sudah menikah, pensiun jadi playboy, serta hal-hal sejenisnyalah yang membuat Ksatria walk out dari ruang makan—dan di sinilah ia sekarang.Lelaki itu berjalan menaiki undakan tangga menuju lantai dua di mana deretan ruang VIP berada.Baru saja ia akan berjalan menuju ruangan yang biasa ia tempati, Ksatria mendengar ocehan beberapa perempuan yang menarik perhatian Ksatria.Sepertinya mereka baru keluar dari powder room dan akan kembali ke ruangan mereka sebelumya.“Ada yang lagi bachelorette party dan pakai gaun buat nikahnya gitu lho. Lucu deh.”“Yang mau nikah yang pakai gaunnya?”“Bukan, tapi dari ocehannya sih, dia temen yang ngadain party, cu
“Sekian lama sahabatan sama Rinai, apa kamu nggak pernah suka sama dia? If I were you, I'll take her as my girlfriend—or even wife. Because friendship between men and women is a bull.”Ucapan salah satu sahabatnya itulah yang menyadarkan Ksatria beberapa bulan yang lalu, kalau ia benar-benar sendirian ketika Rinai pergi dari sisinya.Benar-benar sendirian dan tidak ada satu orang pun yang bisa mengisi kekosongan tersebut selain Rinai Prawara—sahabatnya sejak bayi dan asisten pribadinya tersebut.Ksatria terbiasa dengan Rinai yang selalu ada di momen-momen penting dalam kehidupannya—ulang tahun, gigi pertamanya yang tanggal, kelulusan, pekerjaan part time pertamanya, parfum pertama yang ia racik sendiri, pacar pertamanya, hingga rahasia-rahasia kecil nan gelapnya… semuanya ada dengan dan pada Rinai.Dulu Ksatria memang pernah berkhayal, bagaimana kalau ia dan Rinai pacaran saja?Tetapi, khayalan itu mentok di sana karena setiap kali ia menyuarakan pertanyaan tersebut secara verbal, Rin
“Mbak Rinai cantik deh hari ini.”Pujian yang datang dari bibir Shahia, adik Ksatria, membuat Rinai tersenyum gugup. “Eh?” responsnya spontan. “Thank you, Sha.”“Mbak, mau blind date sama temenku nggak? Temenku ganteng lho,” tawar Shahia dengan enteng dan tak menyadari kalau kakaknya yang baru saja tiba di teras, langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar tawaran tersebut.Rinai sendiri terkejut karena ditawari blind date pagi-pagi seperti ini.Memang sih, menurut ramalan zodiak yang tadi sempat Rinai baca ketika sarapan, tampil berbeda hari ini akan membuat suasana hatinya lebih baik dan siapa tahu membawa keberuntungan untuknya.Maka dari itu Rinai yang biasanya mengenakan setelan blazer dan celana panjang, hari ini memilih untuk menggunakan rok yang dipadu dengan tweed blazer yang jarang ia gunakan.Dan benar saja, hari ini dijatuhi tawaran yang entah bisa disebut sebagai sebuah keberuntungan atau bukan.“Blind date?” tanya Rinai untuk memastikan. “Sama siapa?”Shahia baru a