Share

BAB 2 - When Your Lips Undress Me

“Sekian lama sahabatan sama Rinai, apa kamu nggak pernah suka sama dia? If I were you, I'll take her as my girlfriend—or even wife. Because friendship between men and women is a bull.”

Ucapan salah satu sahabatnya itulah yang menyadarkan Ksatria beberapa bulan yang lalu, kalau ia benar-benar sendirian ketika Rinai pergi dari sisinya.

Benar-benar sendirian dan tidak ada satu orang pun yang bisa mengisi kekosongan tersebut selain Rinai Prawara—sahabatnya sejak bayi dan asisten pribadinya tersebut.

Ksatria terbiasa dengan Rinai yang selalu ada di momen-momen penting dalam kehidupannya—ulang tahun, gigi pertamanya yang tanggal, kelulusan, pekerjaan part time pertamanya, parfum pertama yang ia racik sendiri, pacar pertamanya, hingga rahasia-rahasia kecil nan gelapnya… semuanya ada dengan dan pada Rinai.

Dulu Ksatria memang pernah berkhayal, bagaimana kalau ia dan Rinai pacaran saja?

Tetapi, khayalan itu mentok di sana karena setiap kali ia menyuarakan pertanyaan tersebut secara verbal, Rinai akan menoyor kepalanya atau Ksatria sendiri akan langsung bergidik pelan.

“Tumben diam aja,” komentar Rinai pada atasannya tersebut dan memecahkan lamunan Ksatria. “Kamu nggak lagi takut kena penyakit kelamin karena lupa pakai kondom pas terakhir ML kan?”

Sudah seminggu sejak ia kembali ke Jakarta dan secara berangsur-angsur, kecanggungan di antara mereka berdua sejak malam mereka tidur ‘seranjang’ itu pun mencair.

Rinai sudah menjadi Rinai yang Ksatria kenal—bubbly, kadang ceroboh, dan kadang bicara terlalu jujur mengenai semua hal. Kalau Rinai mengejek Ksatria mulutnya tanpa saringan, maka Ksatria selalu mengejek Rinai yang mulutnya setajam pedang.

“Aku nggak pernah lupa sama sahabatku, Nai.” Ksatria menepuk saku celananya, di mana terdapat dompet yang tentu saja berisi kartu, uang, dan kondomnya. “Dan aku selalu berhati-hati.”

Hari ini adalah jadwal rutin Ksatria tes STD—Sexually Trasmitted Disease atau penyakit menular seksual, setelah satu tahun belakangan ia melewatkannya begitu saja.

Sebelumnya, Ksatria rutin enam bulan sekali melakukan tes ini karena meskipun selama ini ia berhubungan menggunakan alat kontrasepsi, risiko itu tetap ada dan nyata.

Meski banyak yang bilang kalau laki-laki yang butuh tes rutin hanya mereka yang juga berhubungan dengan sesama laki-laki, Ksatria tidak terlalu memedulikannya dan tetap menjalani tes tersebut.

Ksatria terbiasa ditemani oleh Rinai yang bertugas mengatur waktunya untuk melakukan tersebut—sesuatu yang mungkin memalukan bagi orang lain, tapi tidak bagi mereka berdua.

Toh Ksatria juga sudah tidak tahu malu sejak lahir.

“Kenapa setahun kemarin kamu nggak pergi tes sendiri?” tanya Rinai yang masih kesal saat tiga hari yang lalu, ia mendapati kalau Ksatria melewatkan dua kali jadwal tesnya begitu saja.

“Karena nggak ada yang nemenin,” jawab Ksatria enteng.

“Kamu pikir kamu anak umur lima tahun yang ke dokter perlu ditemenin?” Rinai balik bertanya dengan galak.

Sopir yang mengemudikan mobil Ksatria sampai menahan tawanya mendengar bagaimana Rinai justru memarahi Ksatria.

“Sekarang, ayo kamu nunduk.” Rinai menyentuh kepala Ksatria dan membuat lelaki itu menunduk. “Dua tanganmu diangkat sedada,” katanya lagi.

Ksatria yang tidak sepintar di depan perempuan lain saat di hadapan Rinai pun main menuruti kata-kata Rinai begitu saja. “Begini?”

“Iya.” Rinai juga melakukan hal yang sama, kedua tangannya terbuka menghadap ke atas dan sejajar dengan dadanya. “Sekarang ayo kita berdoa supaya kamu nggak kena penyakit kelamin. Berdoa dimulai.”

Ksatria mendesis kesal dan Rinai malah khusyuk berdoa dengan serius. Usai berdoa, Rinai menatap Ksatria tanpa takut dengan pelototan lelaki itu.

“Meskipun kita nggak tahu apa doa kita bakal diterima atau nggak, kita mesti tetep berdoa. Kasihan kalau kamu bener kena penyakit dan nantinya Shahia yang jadi pemimpin Heavenly & Co. Adikmu itu masih pengen bebas di luar sana.”

“Aku juga mau bebas tapi aku terjebak di sini,” gerutu Ksatria yang membuatnya semakin mirip seperti anak berusia lima tahun.

“Kamu bisa mengajukan banding supaya kamu juga bebas, tapi kamu malah setuju-setuju aja asal aku jadi asprimu.” Rinai memutar kedua bola matanya dengan malas. “Ya udahlah, nikmatin aja. Toh selama ini kamu deketin cewek kan modalnya juga dari jabatan sama perusahaan keluargamu.”

Meski apa yang dikatakan Rinai memang benar, Ksatria tetap meringis seolah-olah ucapan sahabatnya tersebut menyakiti hatinya. Rinai sudah biasa dengan Ksatria yang bisa sangat playful tapi juga bisa drama seperti saat ini.

“Ah, kata-katamu menyakiti egoku, Nai.”

“Baguslah, emang itu tujuanku.” Rinai tersenyum lebar dan hal tersebut malah membuat Ksatria menyentil keningnya.

Tak lama kemudian, keduanya tiba di sebuah rumah sakit swasta yang memang menjadi tempat Ksatria melakukan tes STD dengan rutin. Rinai mengurusi semua administrasi dengan cepat karena sudah terbiasa.

“Kamu tunggu di kafetaria atau coffee shop yang ada di lantai satu aja,” kata Ksatria setelah namanya dipanggil. “Nanti kabarin kamu di mana.”

“Oke.” Rinai mengangguk, tak mungkin juga ia ikut Ksatria masuk ke ruang periksa tersebut.

Rinai pun kembali ke lantai satu rumah sakit yang cukup ramai meski hari itu adalah hari kerja. Ketika ia sedang mencari coffee shop yang tadi Ksatria sebut, matanya menangkap apotek dan Rinai pun bergegas ke sana.

Rinai pun membeli lima kotak kondom dan setelahnya, ia membawa kantong plastik apotek tersebut dengan ringan ke coffee shop.

Sudah tugasnya untuk menyetok alat kontrasepsi tersebut untuk Ksatria. Sebagai asisten pribadi yang lingkup pekerjaannya lebih personal dibanding sekretaris, sejak dulu Rinai sudah terbiasa melakukan hal ini.

Ia bahkan sudah tak malu lagi untuk membeli kondom di apotek atau drugstore. Lebih baik membeli kondom daripada membeli popok sebelum resmi menikah.

Meskipun jika ia ditanya apakah ia setuju dengan kehidupan yang dijalani Ksatria, Rinai akan menggeleng dengan tegas.

Namun Ksatria sudah dewasa, ia punya akalnya sendiri dan selagi ia bertanggung jawab serta tidak memperkosa seseorang, Rinai memilih untuk membiarkan Ksatria menjalani pilihan yang ia buat.

Tidak butuh waktu sampai café latte-nya habis untuk menunggu Ksatria kembali setelah melakukan tes. Tes untuk mereka yang tak bergejala memang berbeda dibanding yang sudah memiliki gejala STD, maka dari itu Ksatria tidak perlu menghabiskan waktu lebih lama di sana.

“Beli apa?” tanya Ksatria sembari menunjuk kantong plastik di atas meja ketika datang dan duduk di hadapan Rinai.

“Kondom, kayaknya stokmu yang di kantor udah mau habis.”

“Aaah, bener. Thank you, Silly.” Ksatria mengambil gelas café latte milik Rinai dan main menyesap isinya tanpa izin, seperti biasanya. “Kamu mau cobain satu nggak?”

“Cobain apa?”

“Kondomnya.” Ksatria menaik-turunkan alisnya dengan genit. “Nggak mau cobain satu? Tawaranku yang waktu itu sebenernya masih berlaku lho, Nai.”

Tanpa sungkan atau pikir panjang, Rinai segera memukul kepala sahabatnya tersebut dengan keras. Ksatria yang tak mengira serangan tersebut langsung mengaduh lantang dan menarik perhatian beberapa pengunjung coffee shop tersebut.

“Gila kamu ya? Perasaan perempuan masih banyak di dunia ini,” omel Rinai. “Kamu lagi kesambet apa sih sampai nawarin aku kayak gitu?”

“Aku serius tahu, Nai!” balas Ksatria dengan kesal seraya mengusap kepalanya. “Kalau kamu butuh seseorang buat hook up or something like that, aku adalah pilihan paling aman buat kamu. I won’t allow you do it with a stranger, he doesn’t know how to treat you well.”

Rinai memutar kedua bola matanya. “Hei, kamu ayahku juga bukan kenapa ngatur aku mau tidur sama siapa dan nggak boleh tidur sama siapa? Hanya karena kamu lebih berpengalaman dariku, bukan berarti kamu berhak ngatur ya.”

“Aku nggak ngatur, aku ngasih tahu.”

“Ngasih tahu tuh nggak ada unsur ‘aku nggak bolehin kamu’ kayak apa yang barusan kamu omongin ya,” tukas Rinai dengan sengit. Ia boleh jadi asisten pribadi Ksatria, tapi nalurinya untuk melawan sahabat dan atasannya itu akan selalu muncul seperti saat ini.

“Udah deh, yuk, balik ke kantor,” ajak Rinai seraya bangkit berdiri. Tangannya mengambil hobo bag yang hari ini ia kenakan dan kantong plastik dari apotek tadi.

Ksatria ikut bangkit dan berjalan di samping Rinai yang kali ini seperti menjawab tawarannya seminggu yang lalu.

Dengan penolakan yang telak.

“Nggak usah ngomong mau ngajak aku tidur atau bahkan bikin aku move on, Ksatria. Kamu kondom aja masih aku yang beliin—you’re such a big spoiled baby, you know?” Rinai menatap Ksatria dengan tatapan mengejek.

“And if you wondering, I never see you as a man who can sleep with me,” lanjut Rinai lagi.

“We’re best friend and best friend never sleep with each other. Period.”

***

“Aku bersih!”

“Huh?” Rinai bergumam tak jelas dengan tangannya yang masih mengetik di keyboard MacBook-nya. “Bersih apa?”

“Hasil tes STD-ku udah keluar, aku bersih,” jelas Ksatria sambil menyodorkan ponselnya, di mana hasil tesnya terpampang nyata karena Ksatria memang meminta soft copy dari hasil tesnya tersebut. “Ayo, tidur bareng sama aku!”

“UHUK!”

Rinai menoleh pada meja di seberangnya—di mana sekretaris Ksatria tengah terbatuk-batuk begitu mendengar tawaran vulgar dan tak beradab tersebut dari atasannya.

“Aku jadi mau ngomong kasar,” gerutu Rinai sambil melirik sadis ke arah Ksatria.

“Aku jadi mau makan siang,” kata Ksatria dengan ringan. “Yuk, makan. Udah jam makan siang, aku nggak menuntut kamu kerja tanpa istirahat.” Kemudian Ksatria berbalik ke arah sekretarisnya. “Kamu juga sana gih, makan siang. Pasti kamu mau bagi-bagi info ke klub kamu itu kan?”

Fiona meringis malu karena kegiatannya berbagi informasi kepada teman-temannya sesama sekretaris di Heavenly & Co malah ketahuan oleh atasannya sendiri.

Bukan informasi yang bersifat confidential sebenarnya—hanya update mengenai si ‘bos kecil’ yang dinanti-nanti oleh para penggemarnya di kantor tersebut.

Karena Ksatria belum didapuk menjadi direktur utama (ayahnya lebih memilih ‘menggodok’ Ksatria di berbagai level manajemen tak lama sejak Ksatria lulus kuliah hingga saat ini akhirnya bisa memiliki ruangan sendiri), orang-orang kerap memanggilnya ‘bos kecil’.

Sedangkan Haydar Abimayu sendiri dijuluki sebagai ‘bos besar’.

“Ksatria!” desis Rinai kesal. Rinai segea mengambil tasnya dan beralih pada Fiona. “Tolong omongannya yang nggak beradab tadi disensor aja, Fi.”

“I-iya, Mbak.”

Ksatria menggeleng pelan. “Kamu jangan nakutin ketua fanclub-ku di kantor ini dong, Nai.”

Rinai mendecakkan lidah dan segera meninggalkan mejanya, diikuti Ksatria yang menyusul sambil mengomel karena ditinggalkan dan Fiona yang mencatat baik-baik di kepalanya apa saja yang bisa digosipkan siang ini.

“Mau makan di mana?” tanya Ksatria pada sahabatnya saat mereka sudah di lift.

“Di kantin aja—” Rinai tak menyelesaikan jawabannya karena baru ingat, meskipun ia dan Ksatria terbiasa makan di kantin kantornya, tapi hari ini mereka harus menghindari tempat tersebut.

Fiona dan klub yang seperti dibilang Ksatria tadi pasti akan membicarakan banyak hal dan meskipun Rinai sudah bilang pada Fiona, tetap saja tak ada yang menjamin apakah omongan kotornya Ksatria tadi akan diungkap ke publik atau tidak.

Daripada jadi makanan piranha, lebih baik ia menghindar sejenak.

“Aku mau makan nasi Padang.”

“Oke. Aku ikut kamu.”

Rinai memutar kedua bola matanya. “Kamu selalu ngikutin aku, jarang milih sendiri.”

“Karena aku tahu pilihan kamu selalu bagus-bagus.”

“Tapi kalau keseringan begitu orang-orang nanti mikirnya kamu nggak punya pendirian,” komentar Rinai lagi.

“Begitu?” Ksatria tidak terdengar serius menanggapi kata-kata Rinai.

Ksatria bisa mengambil keputusan sendiri. Tetapi, entah sejak kapan, untuk hal-hal kecil dan remeh seperti makan apa hari ini atau warna dasi apa yang akan ia kenakan, Ksatria lebih suka menanyai pendapat Rinai terlebih dahulu.

Tidak semua jawaban Rinai ia ikuti—toh kadang-kadang Ksatria hanya ingin mendengar perempuan itu bicara saja, makanya ia bertanya. Namun, seringnya memang Ksatria mengikuti apa pun jawaban Rinai.

Itulah yang membuat Rinai akhir-akhir ini khawatir. Rinai takut lelaki itu sudah terlalu bergantung padanya meskipun setahun terakhir ia meninggalkan Ksatria begitu saja.

Rinai juga khawatir kehaluan Ksatria setiap kali mengajaknya tidur bersama hanya karena mereka terlalu lama terikat satu sama lain, sehingga ketika tak ada pilihan bagus di luar sana, Ksatria jadi ‘tertarik’ memilihnya.

“Mau nasi Padang yang di mana?”

Pertanyaan Ksatria yang diikuti denting lift membuyarkan lamunan Rinai. Lift terbuka di lantai sepuluh dan beberapa pegawai masuk sembari menyapa Ksatria.

Karena ini jam istirahat, maka semua orang seakan sedang berlomba-lomba untuk turun ke lantai dasar. Lift tersebut langsung penuh hingga membuat Ksatria dan Rinai terhimpit ke sudut di belakang.

Semua orang sibuk mengobrol dan tak ada yang berani menoleh ke arah ‘bos kecil’ di belakang, bahkan yang berdiri sejajar dengan Ksatria dan Rinai pun memilih untuk mengobrol dengan temannya yang lain.

Dengan memanfaatkan situasi tersebut, Ksatria tersenyum jahil dan menunduk supaya bibirnya sejajar dengan telinga Rinai.

“Nai,” bisiknya dengan pelan sehingga hanya Rinai yang bisa mendengar suaranya. “Kamu emangnya nggak inget sama malam itu? Waktu kita tidur seranjang.”

Rinai mendelik pada Ksatria. ‘Apa sih?’ tanyanya tanpa suara.

Ksatria kembali berbisik, “Aku nggak tahu kamu masih inget atau nggak, tapi kalau kamu saat itu bangun dalam keadaan nggak pakai gaunmu lagi, itu karena ulahmu sendiri. Meskipun aku nggak keberatan untuk bukain bajumu kapan pun kamu mau.”

Kesal, Rinai menginjak kaki Ksatria dengan keras. Ksatria mendesis dan kembali berbisik sambil mempertahankan wibawanya di depan pegawai lain. “Emangnya kamu nggak pernah penasaran tentang aku, Nai? Nggak pernah gitu bayangin how I undress you with my lips kayak di lagu Senorita?”

Denting lift lagi-lagi menyadarkan keduanya. Ksatria segera menjauhkan wajahnya dari telinga Rinai dan keduanya mengikuti arus orang-orang di lift itu untuk segera keluar karena lift telah tiba di lantai dasar.

Ksatria merangkul bahu Rinai seperti biasa dan di kantor Heavenly & Co tersebut, pemandangan si bos kecil dengan asistennya bukan hal yang aneh. Kabar mengenai kembalinya Rinai tentu saja sudah tersiar ke seantero Heavenly & Co dan HRD bisa bernapas lega.

Karena pekerjaan mereka mencarikan sekretaris Ksatria tentu akan berkurang frekuensinya.

Sementara Ksatria mulai mengoceh tentang mana yang harus ia pilih antara ayam pop atau ayam bakar untuk makan siang hari ini, otak Rinai jadi ikut terkontaminasi ucapan Ksatria yang ngawur di lift tadi.

Rinai melirik sahabatnya tersebut, Ksatria kini mengoceh tentang ayam pop yang kadang ia suka, tapi seringnya jarang cocok di lidahnya—semacam love hate relationship—dan Rinai ingin membenturkan kepala Ksatria ke trotoar saat itu juga.

Kenapa Ksatria bisa sesantai ini, setelah tadi berbisik dengan sok sensual menyuruhnya membayangkan bagaimana lelaki itu menelanjanginya?

Ketika jemari Ksatria tak sengaja mengusap lengan atasnya, tubuh Rinai langsung bergidik pelan.

Rinai menggigit bibirnya dengan gugup ketika merasakan sentuhan seringan bulu tersebut ditambah dengan aroma maskulin Ksatria—perpaduan antara tonka bean, leather, musk, dan green pear yang menyegarkan.

Saat itu juga bayangan punggung telanjang Ksatria terproyeksi dengan jelas di benak Rinai.

Selama ini Rinai hampir memastikan kalau matanya tak pernah melihat Ksatria bermesraan dengan perempuan lain. Bagi Rinai, itu bukan urusannya.

Tetapi karena pertanyaan mengusik itu, Rinai jadi mulai berpikir, seandainya malam itu Ksatria yang membuka gaunnya, dari mana ia akan memulainya?

Apa Ksatria akan mulai dari ritsleting di belakang punggungnya? Atau dari lengan gaunnya seperti bagaimana lelaki itu kini mengusap pelan bahu hingga lengan atasnya?

“Nai, mau makan yang di samping kiri gedung kantor atau yang jalan dikit ke arah kanan itu?”

Pertanyaan Ksatria membuyarkan pikiran kotor Rinai dan seketika perempuan itu tergagap malu.

Ketika Rinai menoleh, Ksatria menatapnya dengan raut wajah tak berdosa. Seakan-akan bukan dirinya yang baru saja membuat Rinai berpikir kotor tentang sahabatnya sendiri… untuk yang pertama kalinya.

***

Rinai itu cerewet—setidaknya itulah yang Ksatria yakini selama ini, karena Rinai memang tak pernah berhenti mengoceh jika tengah bersamanya. Kecuali ketika perempuan itu PMS atau sedang sariawan.

Makanya ketika sepanjang istirahat siang ini Rinai lebih banyak diam, Ksatria pun jadi bingung sendiri.

“Kamu kenapa?” tanya Ksatria setelah Rinai kembali usai mencuci tangannya.

Mereka masih berada di rumah makan Padang yang jadi tempat favorit mereka kalau sedang ingin makan siang dengan ayam pop atau gulai tunjang.

Ksatria pun memperhatikan sejak tadi mereka keluar dari area kantor, Rinai lebih banyak diam dan seperti orang yang tengah melamun.

“Hah?” Rinai yang tak mengerti dengan apa yang dimaksud Ksatria pun bingung. “Nggak apa-apa.”

“Dari tadi kayaknya kamu lebih banyak diem,” komentar Ksatria. “Kenapa? Rasa ayam popnya di sini berubah dari terakhir kali kamu makan?”

Rinai menahan diri untuk tidak mendengus sekaligus berdoa supaya wajahnya tak merona merah begitu mendengar pertanyaan Ksatria. Rupanya lelaki yang tadi menebar granat di kepalanya itu malah tak menyadari efek yang ia berikan saat ini padanya.

Benar-benar kurang ajar.

“Nggak berubah kok,” jawab Rinai pada akhirnya. Terakhir kali ia makan di sini memang di hari terakhirnya bekerja. Sudah setahun lamanya dan Rinai kembali lagi ke sini dengan Ksatria.

“Mau langsung balik ke kantor?” tawar Ksatria. “Eh, atau beli kopi dulu di deket sini? Kayaknya tadi liat ada gerai Kopi Soe.”

“Boleh, beli kopi dulu aja.” Rasanya Rinai butuh satu liter kopi dan disiram ke kepalanya untuk mengembalikan kewarasannya.

Ksatria memberi kode pada Rinai untuk keluar lebih dulu selagi ia membayar makanan mereka. Ketika Ksatria tengah menunggu antrean pelanggan yang akan membayar makanan mereka, tatapan Ksatria tak sengaja jatuh pada kulkas yang memajang berbagai minuman yang bisa dipilih oleh pelanggan di sana.

Ksatria mendekat dan membuka kulkas untuk mengambil sekaleng larutan penyegar yang biasa diminum Rinai kalau perempuan itu tengah sariawan. Setelah membayar makanan mereka serta minuman tersebut, Ksatria keluar dan lagi-lagi menemukan Rinai yang tengah melamun.

Iseng, Ksatria menempelkan kaleng tersebut ke pipi Rinai hingga Rinai berjengit kaget.

“Sat!” maki Rinai yang terbiasa memanggil Ksatria dengan ‘Sat’—apalagi jika Rinai tengah kesal atau terkejut. “Apaan sih? Ngagetin aja!”

“Nih, biar nggak sariawan, panas dalam, atau semacamnya.”

“Tapi kita kan mau beli kopi.”

“Nggak ada yang ngelarang beli larutan penyegar sama kopi dalam satu jam yang sama kan?” Ksatria benar-benar ingin menjitak Rinai sekarang. “Nih, ambil. Ayo, beli kopi abis ini.”

Mau tak mau Rinai pun mengambil larutan penyegar itu dari Ksatria dan mereka pun berjalan menuju gerai Kopi Soe yang tak jauh dari Rumah Makan Padang tersebut.

“Sat.”

“Kamu manggil aku sebagai ‘Ksatria’ atau ‘Bangsat’?”

“Dua-duanya.”

“Sialan.” Ksatria mengumpat. “Kenapa?”

“Kenapa sih kamu ngebet banget pengen tidur sama aku setelah puluhan tahun kita sahabatan dan baik-baik aja?” tanya Rinai tanpa menatap Ksatria sama sekali. “Apa kamu nggak takut kalau hubungan kita jadi hancur setelah kita tidur bareng?”

Pertanyaan Rinai membuat Ksatria termenung hingga kakinya tersandung batu di jalanan yang tak rata tersebut. Rinai membiarkannya saja dan Ksatria kembali sibuk mengumpat.

Lelaki itu menatap Rinai ketika mereka masuk ke gerai Kopi Soe dan mengantre untuk membeli kopi yang biasa mereka minum.

Sejujurnya Ksatria ingin lebih dari itu—ia ingin lebih dari bersahabat dengan Rinai, ia ingin lebih dari sekadar tidur hanya untuk satu malam dengan Rinai, ia ingin… mencoba dan menjalani banyak hal dengan Rinai.

Ksatria can’t express his feeling in the right way—because he doesn’t have any good example of a normal relationship.

Ksatria tak tahu kalau teorinya yang benar adalah pendekatan sambil berteman, pacaran, menikah, lalu tidur bersama. Lelaki itu tidak pernah melakukan tahapan tersebut dengan benar.

Karena selama ini yang ia lakukan adalah bertemu, mengobrol sebentar untuk bertanya di mana mereka akan bermalam, tidur bersama, lalu pergi.

“Aku nggak pernah mikir hubungan kita akan hancur, karena aku yakin kita akan berhasil bersikap baik-baik aja setelah kita tidur bareng.”

Bukan hanya Rinai saja yang menoleh karena kata-kata Ksatria, tapi orang yang tengah mengantre di depan mereka dan orang-orang yang duduk di kursi seraya menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

Tanpa ragu, Rinai segera menginjak kaki Ksatria dengan keras karena sahabatnya itu kebiasaan bicara sembarangan tanpa tahu waktu dan tempat.

Karena sudah telanjur mengantre, dengan sisa-sisa harga dirinya, Rinai tetap memesan kopi untuknya dan Ksatria juga mengikutinya tanpa beban.

Rinai menahan diri untuk tidak mengomeli Ksatria sampai mereka keluar dengan masing-masing gelas di tangan.

“Dasar gila,” umpat Rinai. “Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba mikir kayak gini—”

“Ini nggak tiba-tiba, kamu aja yang baru tahu,” sela Ksatria.

Whatever.” Rinai memutar kedua bola matanya. “Denger ya, Sat.” Rinai menekankan suaranya ketika memanggil Ksatria dengan ‘Sat’, pertanda kalau ia tengah murka. “I don't sleep with someone who has many women like you.”

Ksatria meringis begitu mendengar kalimat itu diucapkan dengan lugas dan tanpa ragu.  

Rinai pun kembali melanjutkan, “Dan nggak pernah ada di dalam mimpi atau khayalan terliarku untuk aku tidur sama kamu.”

Well, sebenarnya agak tidak benar untuk hal tersebut, karena beberapa saat yang lalu bahkan Rinai membayangkan bagaimana jika Ksatria menyentuhnya—tapi Ksatria tak perlu tahu karena Rinai yakin, hal itu terjadi karena godaan Ksatria pada perawan polos sepertinya.

Please, berhenti mengkhayal, oke? Kamu nggak lagi konsumsi obat-obatan terlarang kan? Halu sama agresifnya kamu akhir-akhir ini bikin aku khawatir.”

Ksatria mungkin masih bisa menahan diri untuk tidak berteriak mendengar penolakan Rinai. Namun, begitu mendengar dua kalimat terakhir, Ksatria dengan spontan berkata, “Hei, aku nggak ngobat!”

“Baguslah,” sahut Rinai dengan cuek. “Sekarang, mending kamu diem dan kita balik kerja.”

Rinai berjalan lebih cepat mendahului Ksatria masuk ke area gedung kantornya. Ksatria hanya menghela napas dan mengikuti Rinai.

Mereka berdua naik ke lantai di mana Ksatria bekerja dalam diam, meski sesekali Ksatria menjawab sapaan para pegawai Heavenly & Co dengan ramah seperti biasa.

“Pak, ada tamu yang udah nunggu Bapak,” kata Fiona begitu melihat Ksatria dan Rinai akhirnya muncul. “Ibu Scarlett yang tiga minggu lalu dateng ke sini, Pak.”

“Oh.” Ksatria mencoba mencari di ingatannya siapa yang bernama Scarlett selain Scarlett Johansson, tapi tidak menemukannya. “Ng… siapa ya, Fi?”

Fiona meringis. “Itu lho, Pak, teman kencan Bapak.”

Ksatria buru-buru melirik Rinai yang sudah duduk di kursinya. Ia bisa melihat kalau Rinai terkejut, tapi perempuan itu tak melakukan hal apa pun selain kembali membuka MacBook-nya.

Sial, Scarlett yang mana? Ksatria bahkan lupa pernah berkencan dengan perempuan bernama itu.

“Oke, kalau gitu.” Tahu tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya Ksatria mengucapkan terima kasih pada Fiona dan masuk ke ruangannya.

Begitu masuk ke ruangannya, hidung Ksatria disambut dengan parfum yang terlalu powdery dan membuat hidungnya gatal.

Lelaki itu mengernyit, tapi tak sempat melontarkan protes karena begitu ia menutup pintu, perempuan berambut kecokelatan itu langsung memeluknya dengan erat.

Lebih tepatnya, menerjang Ksatria.

Whoa, santai, Baby,” kata Ksatria sambil mengusap puncak kepala perempuan itu. Biasanya perempuan suka sekali diusap kepalanya.

“Kamu ke mana aja sih?” tanya perempuan itu seraya mendongak. “Aku kan kangen, tapi kamu nggak pernah hubungin aku lagi.”

“Sorry, Baby, aku sibuk.” Sebagai certified playboy, tentu saja lancar bagi Ksatria membohongi perempuan tersebut.

Ksatria juga sering memanggil teman kencannya dengan sebutan ‘baby’, ‘darling’, atau ‘love’, bukan karena ia menyayangi mereka—tapi karena Ksatria seringnya lupa nama mereka.

Mungkin ini juga yang bikin Rinai nggak mikirin tawaranku dengan serius, pikir Ksatria secara tiba-tiba.

Perempuan bernama Scarlett itu segera menarik Ksatria ke sofa dan bisa dikatakan ia bukan duduk di sebelah Ksatria, melainkan di atas pahanya.

“Kamu ada waktu nggak buat aku siang ini?” tanyanya dengan centil. Tangan Scarlett sudah bergegas membuka simpul dasi Ksatria dan dua kancing teratas kemeja lelaki itu. “Aku kangen banget sama kamu.”

“Dan nggak pernah ada di dalam mimpi atau khayalan terliarku untuk aku tidur sama kamu.”

Kalimat penolakan Rinai tadi kembali terputar di benak Ksatria. Lelaki itu menggeram kesal dan Scarlett yang tak tahu apa-apa, menganggap kalau Ksatria sudah tak sabar untuk melahapnya—sama seperti dirinya.

Maka dari itu Scarlett langsung mencium Ksatria dengan agresif, bibirnya mencecap dan menggigit bibir Ksatria, berharap lelaki itu akan melakukan hal yang sama padanya.

Seperti sebuah mesin yang otomatis mengikuti perintah yang dimasukkan, Ksatria membalas ciuman Scarlett, berharap suara Rinai di kepalanya bisa menghilang begitu saja.

Tangan Ksatria mulai menyentuh Scarlett di titik yang ia tahu akan membuat perempuan itu melayang tinggi.

Ketika Scarlett mendesahkan namanya (dengan salah pula, perempuan itu mendesahkan ‘Satria’ alih-alih ‘Ksatria’), tiba-tiba Ksatria berpikir….

How does it feels to hear Rinai moaning his name?

Seperti disadarkan dengan alarm yang berbunyi nyaring dan memekakkan telinga, tiba-tiba Ksatria melepaskan tautan bibirnya dengan Scarlett tepat ketika tangan Scarlett hampir ikat pinggangnya.

Ksatria buru-buru mengusap bibirnya dengan punggung tangan untuk menghapus jejak bibir Scarlett di sana.

“Baby?” panggil Scarlett dengan bingung. “Kok berhenti?”

“Kayaknya mending kamu pergi deh,” ucap Ksatria seraya mengancingkan kembali kemejanya dan menyimpulkan dasinya. Ksatria bahkan mengangkat Scarlett dari atas pahanya hingga perempuan itu duduk di sampingnya.

“Aku sibuk dan nggak ada waktu. Good bye, Starla.”

Scarlett yang tadinya bingung langsung berubah murka. “Siapa Starla? Aku Scarlett!”

Ksatria tak peduli dan mengambil selembar tisu dari atas meja untuk membersihkan sekitar bibirnya. Bagi Scarlett, hal itu adalah penghinaan karena tidak ada yang bersikap seperti bertemu kuman ketika bermesraan dengannya.

Kecuali Ksatria.

“Brengsek!”

I know,” sahut Ksatria. “Mungkin itu kenapa namaku Ksatria, biar kalau mau maki aku, kamu bisa dengan lebih gampang dengan ngomong ‘Bangsat’,” kelakar Ksatria yang tentu saja tak lucu bagi Scarlett.

Perempuan itu segera bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan Ksatria dengan dramatis, tentu saja dilengkapi dengan bantingan pintu yang sangat kencang.

Ketika ia sendirian di ruangannya, Ksatria menunduk lalu mengusap wajahnya dengan pelan. Derit pintu yang terbuka membuat Ksatria menoleh untuk mendapati Rinai yang melongok ke ruangannya.

“Tumben sebentar,” gumam Rinai. Pemandangan di mana Ksatria didatangi teman kencannya lalu berdiskusi(dengan berbagai gaya) di ruang kerjanya bukan hal baru bagi Rinai.

Meski tadi Rinai sempat gondok karena Ksatria bahkan masih bertemu teman kencannya setelah mengajak Rinai tidur bersama, tapi Rinai mencoba menyadarkan dirinya sendiri kalau itulah hidup Ksatria.

Perempuan datang silih berganti di kehidupan Ksatria.

Kedatangan Scarlett hari ini termasuk ke dalam rekor. Scarlett adalah perempuan dengan kunjungan paling singkat di histori Ksatria.

Sementara itu, Ksatria memicingkan matanya ketika menatap Rinai. “It’s all because of you.”

“Kok aku?” Rinai bertanya dengan tak terima.

“Pokoknya karena kamu!” kilah Ksatria dengan kekanak-kanakan.

“Dasar aneh,” gerutu Rinai sembari kembali ke mejanya, percuma mengkhawatirkan si bos kecil. Ia pikir Scarlett sempat menghajar Ksatria walaupun sebentar.

Sementara itu, di ruangannya, Ksatria mulai berpikir keras. Rasa penasarannya terhadap Rinai semakin besar dan tak terbendung.

Kepergian Rinai selama setahun terakhir dan pertanyaan temannya mengenai apakah ia tak pernah tertarik pada Rinai melebihi seorang sahabat, seperti membuka tutup dari botol yang selama ini ia segel rapat.

Seperti membuka botol champagne yang diguncang berkali-kali, membuat isinya keluar begitu saja dengan tak beraturan dan tanpa dikehendaki.

Ksatria jadi punya rasa penasaran yang amat besar terhadap sahabatnya. If curiosity can kill a T-Rex, Ksatria’s curiosity can kill his own desire to all women—except to Rinai.

And it’s dangerous.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status