Share

BAB 3 - Your Feeling is Invalid

“Mbak Rinai cantik deh hari ini.”

Pujian yang datang dari bibir Shahia, adik Ksatria, membuat Rinai tersenyum gugup. “Eh?” responsnya spontan. “Thank you, Sha.”

“Mbak, mau blind date sama temenku nggak? Temenku ganteng lho,” tawar Shahia dengan enteng dan tak menyadari kalau kakaknya yang baru saja tiba di teras, langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar tawaran tersebut.

Rinai sendiri terkejut karena ditawari blind date pagi-pagi seperti ini.

Memang sih, menurut ramalan zodiak yang tadi sempat Rinai baca ketika sarapan, tampil berbeda hari ini akan membuat suasana hatinya lebih baik dan siapa tahu membawa keberuntungan untuknya.

Maka dari itu Rinai yang biasanya mengenakan setelan blazer dan celana panjang, hari ini memilih untuk menggunakan rok yang dipadu dengan tweed blazer yang jarang ia gunakan.

Dan benar saja, hari ini dijatuhi tawaran yang entah bisa disebut sebagai sebuah keberuntungan atau bukan.

“Blind date?” tanya Rinai untuk memastikan. “Sama siapa?”

Shahia baru akan menjawab ketika Ksatria buru-buru menengahi mereka. “Nggak, nggak ada yang namanya blind date!”

Shahia melirik kakaknya dengan sinis. Padahal Shahia sudah berusaha bangun lebih pagi dari biasanya untuk menghampiri Rinai di halaman rumahnya sebelum perempuan itu berangkat kerja.

“Apa sih, Bang? Jangan rese deh.”

Shahia tahu kalau Rinai setiap hari berangkat kerja bersama dengan kakaknya. Maka dari itu ia menunggu Rinai masih dengan piyamanya di halaman rumah.

Rencana blind date ini sudah muncul di benaknya sejak hari pertama ia tahu Rinai (yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu) kembali ke Jakarta.

“Rinai kan baru balik ke Jakarta, biarin dia adaptasi dululah di sini,” sergah Ksatria yang sebenarnya bingung harus beralasan apa untuk mencegah upaya adiknya tersebut. “Kamu jangan ganggu Rinai, Sha.”

“Adaptasi?” Shahia tertawa mengejek. “Bang, Mbak Rinai tuh dari lahir juga udah di Jakarta. Dia ke Jogja cuma setahun, nggak bikin Mbak Rinai lupa sama semua hal di Jakarta.” Kemudian Shahia beralih pada Rinai. “Iyakan, Mbak?”

“Iya.” Rinai menjawab dengan jujur dan senang rasanya melihat Ksatria yang semakin kesal.

Sejak dulu hubungan Ksatria dan Shahia memang seperti Tom & Jerry—lebih banyak ributnya dibanding damainya. Sebagai anak tunggal, Rinai sangat menikmati interaksi antara Ksatria dan Shahia.

Walaupun sekarang yang dijadikan topik perdebatan mereka adalah dirinya sendiri.

“Pokoknya nggak ada blind date apalah itu. Rinai sibuk!”

“Kalau Abang ngasih kerjaan ke Mbak Rinai lebih dari jam dan beban kerja yang seharusnya, aku aduin ke Disnaker lho.”

Kesal, Ksatria berusaha menoyor Shahia tapi adiknya itu menghindar dengan cepat.

Shahia pun mendekat pada Rinai dan cepat-cepat menggandeng lengan Rinai supaya kakaknya itu tak berani macam-macam. “Mau nggak, Mbak? Pikirin aja dulu, orangnya baik kok, nggak neko-neko juga.”

“Jangan mau, Nai.” Kali ini Ksatria beralih pada Rinai. “Kalau dia kenalan Shahia berarti dia kan berondong.”

“Emang salah kalau sama berondong? Yang penting setia, bukan buaya!” elak Shahia yang kemudian menjulurkan lidahnya kepada Ksatria, meledek sang kakak.

Shahia pun kembali bicara pada Rinai. “Ini bukan berondong kok, Mbak. Seumuran sama Mbak Rinai, dia senior di kantorku.”

“Ah, begitu….” Rinai mengangguk kecil. “Hm, aku pikirin dulu deh ya, Sha.”

“Nai!”

“Beneran, Mbak?” Shahia berusaha menendang kakaknya yang langsung berseru tak terima.

Rinai kembali mengangguk. “Aku pikir-pikir dulu ya.”

“Oke.” Dengan centil, Shahia mencium pipi Rinai dan segera kabur dari halaman sebelum dijitak Ksatria.

Tinggallah Ksatria dan Rinai. Ksatria menatap Rinai dengan tak percaya dan Rinai menatap Ksatria dengan bingung.

“Kok melamun?” tegur Rinai. Rinai mengedikkan kepalanya ke arah mobil Ksatria yang sudah siap dengan sang sopir yang sudah ada di dalam. “Ayo, masuk. Nanti kena macet.”

Melihat Ksatria yang tak kunjung bergerak, Rinai hanya berdecak pelan dan masuk lebih dulu ke mobil. Seperti ada yang menjentikkan jari untuk membuyarkan lamunannya, Ksatria segera bergerak dan menyusul Rinai.

“Nai, kamu beneran mau blind date?” tanya Ksatria langsung.

“Masih kupikirin sih,” jawab Rinai dengan tak acuh. “Menurut ramalan zodiak hari ini, Leo yang single berpotensi ketemu pasangan baru yang cocok. Mungkin aja kan orangnya itu senior Shahia?”

“Hah, bullshit,” umpat Ksatria. “Mending kamu nggak usah ikut blind date itulah, si Shahia kan magnet laki-laki nggak bener. Makanya susah jagain dia ya karena entah kenapa yang ketarik sama dia laki-laki yang aneh semua.”

“Mungkin karena kakaknya nggak bener, jadi dia ketemunya sama yang nggak bener juga.”

“Sial.”

Bisa jadi sih, pikir Ksatria.

“Pokoknya kamu jangan ikut blind date itu, tolak aja,” perintah Ksatria lagi. “Jangan ngerasa nggak enak nolak karena yang minta Shahia.”

Rinai mendelik kesal karena Ksatria tahu apa yang ada di pikirannya. Sebenarnya Rinai agak takut bertemu orang baru dengan niatan sejak awal untuk berkencan. Rinai pun merasa tak enak pada Shahia karena rasanya selama ini ia tak pernah menolak apa pun yang diminta Shahia.

Yah, memang baru kali ini juga Shahia memintanya ikut blind date yang sengaja dia rancang untuk Rinai.

Ksatria yang sejak tadi mengoceh langsung berhenti sejenak saat sadar kalau Rinai malah sedang melamun. “Nai, dengerin aku nggak sih?” tanyanya dengan kesal.

“Berhenti merengek, Sat,” gerutu Rinai. “Udahlah, nggak usah dipikirin. Itu urusanku.”

Ksatria memicingkan mata, tak terima dengan jawaban Rinai. “Kamu lebih percaya sama ramalan zodiak daripada aku?”

Rinai mendengus karena menahan tawanya. Ksatria kalau di depan orang lain, apalagi perempuan, bisa saja terlihat cool dan menyenangkan.

Tetapi, di mata Rinai, Ksatria lebih sering bersikap seperti balita yang tak berhenti merengek kalau mainannya diambil saat ia sedang asyik bermain. Sikapnya pagi ini benar-benar menggambarkan hal tersebut.

“Iya, aku lebih percaya ramalan zodiak daripada kamu untuk beberapa hal.”

Ksatria berdecak kesal. Setelah semua tawarannya ditolak mentah-mentah, Rinai bahkan mau mempertimbangkan tawaran blind date adiknya yang tak jelas itu?

Rinai benar-benar tak adil!

“Kenapa kamu nggak langsung tolak tawaran itu kayak kamu nolak aku?” tanya Ksatria pada akhirnya.

Sebenarnya niatan Rinai untuk menerima tawaran Shahia hanya 40%.

Akan tetapi, melihat bagaimana Ksatria terus memerintahnya untuk menolak tawaran tersebut sedangkan kemarin Ksatria sendiri bersenang-senang dengan Scarlett, membuat Rinai jadi berpikir lagi.

Untuk apa juga ia mempertimbangkan larangan Ksatria? Toh kemarin—meskipun sebentar, pastilah Ksatria bersenang-senang dengan Scarlett kan?

Hal itulah yang kemudian mendorong Rinai untuk berkata, “Karena laki-laki yang ditawarin Shahia bukan kamu dan aku yakin, sebagai adiknya buaya darat kayak kamu, Shahia nggak akan nawarin laki-laki sejenis kayak kamu buat aku.”

Ksatria mendesis kesal. Sial kuadrat! Ia takkan membiarkan Rinai kencan dengan lelaki tak dikenal itu!

Bagaimanapun caranya!

***

Saat pertama kali ditugaskan menjadi asisten pribadi Ksatria, Rinai tahu kalau ia tidak hanya menjadi asisten sahabatnya—tapi juga mengasuh balita yang terjebak dalam tubuh lelaki dewasa.

“Are you still mad at me just because I want to have a blind date?” tanya Rinai pada Ksatria ketika siang ini mereka makan siang bersama seperti biasa.

Sudah dua hari sejak Shahia menawarinya blind date dan akhirnya Rinai menyetujui rencana tersebut. Ksatria yang tahu tentu saja kesal, ia pun mendiamkan Rinai selama dua hari penuh.

Mereka tetap pergi dan pulang bekerja bersama, makan siang bersama juga, tapi Ksatria hanya mengajaknya bicara jika benar-benar diperlukan.

Benar-benar kekanakan khas Ksatria Auriga Abimayu.

“Aku nggak marah, cuma kesel.” Sebelum Rinai sempat menyahut, Ksatria sudah lebih dulu menambahkan, “Itu beda.”

Whatever.” Rinai memutar kedua bola matanya. Rinai memilih untuk berkonsentrasi mengelap sendok dan garpunya dengan tisu sebelum kemudian mulai makan.

Ksatria kembali menatap sahabatnya dengan kesal. Dari yang ia dengar di meja makan saat sarapan tadi, hari ini Rinai akan pergi bertemu dengan pasangan blind date-nya.

Namanya Atlas dan Ksatria langsung berjengit ketika mendengarnya tadi pagi.

Kenapa namanya tidak sekalian ‘yellow page’ seperti buku yang dulu berisi nomor telepon dan tebalnya bisa untuk mengganjal pintu?

Yah, untuk saat ini Ksatria lupa kalau namanya juga sama anehnya.

“Jadi kamu beneran sore nanti bakal ketemu sama dia?” tanya Ksatria pada akhirnya.

Ksatria tak berselera makan dan memilih untuk mengabaikan makan siang yang sudah dipesan oleh Rinai sebelumnya. Hari ini ia memang memilih untuk makan siang di ruangannya dan tentu saja mengajak Rinai.

Selain karena terbiasa makan berdua dengannya, Ksatria juga ingin mencari tahu keputusan akhir Rinai. Siapa tahu perempuan itu akan berubah pikiran di detik-detik terakhir.

“Beneran,” jawab Rinai sambil melirik menu Warung Leko yang tadi ia pesan sesuai request Ksatria. “Kamu nggak makan? Itu iga penyet kesukaan kamu lho.”

“Males,” jawab Ksatria singkat.

Rinai melirik Ksatria, tapi tak berkomentar banyak. “Awas ya kalau kamu ngerjain aku dengan ngasih pekerjaan sampai malam. Aku nggak terima sikap kekanakan kamu yang kayak gitu.”

“Kamu pikir aku selicik itu?”

“Iya!” tandas Rinai tanpa ragu.

Ksatria merengut sebal. “Kok kamu mau sih ketemu sama si peta dunia itu?”

Rinai mengabaikan bagaimana Ksatria mengubah nama Atlas menjadi peta dunia. Suka-suka Ksatria saja. “Kenapa aku nggak mau? Nambah relasi itu juga perlu. Kamu juga relasinya kan banyak banget tuh sampai nggak kehitung.”

“Itu beda, Nai.”

“Beda dari mananya,” cibir Rinai. “Udah ah, nggak usah berisik soal blind date-ku nanti. Itu makan dong makananmu, Sat!”

“Suapin!”

Rinai kembali memutar kedua bola matanya. “Gimana kalau iganya buat aku?”

Rinai akan selalu jadi Rinai, yang mengutamakan makanan dan menaruh makanan di atas persahabatan mereka.

Ksatria mendengus kesal dan mengambil potongan iga miliknya, lalu menaruhnya di atas nasi Rinai. “Makan yang banyak, biar kekenyangan, terus ketiduran sampai besok pagi,” gerutu Ksatria.

Rinai tak ambil pusing dengan ocehan Ksatria dan memakan iga yang diberikan Ksatria padanya. Ksatria sendiri akhirnya ikut makan, meskipun yang tersisa di piringnya tinggal nasi dan cah brokoli.

Usai makan siang, Rinai keluar dari ruangan Ksatria dan mereka kembali bekerja seperti biasa. Siang itu Rinai harus menemani Ksatria meeting dengan tim R&D menyangkut produk baru yang rencananya akan diluncurkan paling lambat di akhir tahun ini.

Rapat itu berlangsung selama dua jam, karena Ksatria membahas detail rencananya untuk produk tersebut. Hanya saat bekerja, Rinai bisa melihat Ksatria bersikap dewasa dan sesuai umurnya.

“Kamu dijemput di sini sama si peta dunia?” tanya Ksatria begitu meeting tersebut selesai.

Rinai mengangguk sembari mengetik beberapa kalimat lagi sebelum menyudahi kegiatannya. “Iya.”

“Oh, oke.”

Rinai langsung melirik Ksatria dengan curiga. “Kamu nggak berencana bikin aku lembur kan?”

“Nggak,” jawab Ksatria. “Kan udah kubilang, aku nggak selicik itu.”

Rinai tahu kalau Ksatria sebenarnya selicik itu. Tetapi, ini sudah kedua kalinya lelaki itu membantah hal tersebut.

“Beneran?”

“Beneran.”

“Janji?” Rinai menyodorkan kelingkingnya, mengajak Ksatria berjanji seperti biasa yang mereka lakukan.

Ksatria menautkan kelingkingnya ke kelingking Rinai. “Aku janji.”

Mungkin… kali ini Rinai bisa percaya kalau Ksatria tidak akan melakukan apa pun yang akan membuat kencannya gagal.

***

Ksatria memang berjanji tidak akan membuat Rinai lembur hanya karena untuk menghalangi perempuan itu blind date dengan si peta dunia.

Tapi Ksatria tidak berjanji untuk tidak mengikuti Rinai dan lelaki itu seperti seorang penguntit.

“You’re so pathetic,” ejek Kalu pada Ksatria.

Ksatria langsung melotot. “I’m not.”

Kalu mendengus malas. Siang tadi dia dihubungi oleh Ksatria untuk menemaninya makan malam berdua. Awalnya Kalu menolak, aneh sekali Ksatria mengajaknya makan malam berdua.

Namun pikiran itu terbantahkan ketika dengan malas Ksatria mengatakan padanya, “Aku mau buntutin si Rinai kencan sama laki-laki nggak jelas yang dikenalin Shahia ke dia.”

Dan di sinilah mereka, mengintai lelaki bernama Atlas dan Rinai berjalan bersisian di Senayan City. Sore tadi Kalu sampai di Heavenly & Co setengah jam sebelum Rinai turun ke lobi dan masuk ke BMW milik lelaki bernama aneh itu.

Kalu yang ditugaskan untuk bersiap tidak jauh dari pelataran lobi, langsung mengamati mobil Atlas. Tak lama kemudian Ksatria muncul dengan napas terengah-engah dan mereka mengikuti mobil Atlas dari kejauhan.

“Sebenernya ngapain kita ngikutin Rinai?” tanya Kalu saat mereka berdua menyusup ke dalam rombongan anak muda supaya tak terlihat masuk ke Social Garden, tempat yang Atlas dan Rinai pilih untuk makan malam.

Kalu dan Ksatria duduk di tempat yang agak jauh dari meja yang dipilih pasangan blind date tersebut. Namun dari posisinya saat ini, Ksatria masih bisa mengamati Rinai. Posisinya saat ini duduk menghadap punggung Rinai supaya Rinai tak bisa melihat langsung ke arahnya.

“Buat mastiin kalau dia nggak kenapa-kenapa.”

“Orang itu kelihatannya baik,” komentar Kalu. Sejak tadi ia mengamati Atlas, lelaki itu pintar menjaga sikap dan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia adalah lelaki kurang ajar.

“Laki-laki di sekitar Shahia tuh rata-rata nggak bener,” bantah Ksatria. “Kalau yang ini juga nggak bener gimana?”

“Biarin ajalah Rinai nge-date, kan udah setahun putus juga,” imbuh Kalu lagi. “Rinai udah dewasa, Sat, nggak perlu diawasin kayak gini. Kalau kamu suka sama Rinai, harusnya bilang. Jangan ngikutin kayak pecundang begini.”

Ksatria memicingkan matanya begitu tatapannya beralih dari punggung Rinai kepada Kalu yang duduk di hadapannya.

“Siapa yang pecundang? Aku justru lagi berbaik hati jagain sahabatku.”

“Ini sih bukan karena kamu sahabatnya dia,” bantah Kalu.

“Sok tahu!”

“Akan lebih logis kalau kamu ngaku kamu suka Rinai, Sat,” tandas Kalu sambil tersenyum mengejek. “Tapi kamu nggak mau ngaku, karena kamu nggak bisa ngasih dia hubungan yang layak atau bahkan komitmen kayak laki-laki di luar sana—atau bahkan kayak si Atlas itu.”

Ksatria mengepalkan tangannya di atas meja dengan sangat erat. Mungkin apa yang dikatakan Kalu memang benar.

Karena itulah untuk pertama kali dalam hidupnya, Ksatria merasa insecure dengan lelaki lain yang lebih mungkin memberi hubungan dan kehidupan yang lebih baik, daripada apa yang bisa ia tawarkan.

Ketika Kalu baru saja akan memesan minuman sembari menunggu Ksatria meninjunya karena tersinggung atau menangis karena akhirnya punya sedikit kewarasan, ponsel Ksatria bergetar singkat layarnya menampilkan satu pesan singkat di W******p dari Rinai.

Rinai Bukan Merek Kompor: Aku tahu kamu ngikutin aku dan kalau dalam setengah jam ke depan kamu nggak pergi, aku nggak akan mau ngomong sama kamu minimal selama sebulan.

***

Satu hal yang Rinai sadari ketika sudah bertemu dengan Atlas adalah dia benar-benar berbeda dari Ksatria, bahkan dari mantan tunangannya dulu.

Terlepas dari namanya yang unik, Atlas adalah laki-laki baik yang sopan, lucu, dan pintar.

Sebenarnya, tanpa diketahui Ksatria, Rinai dan Atlas sudah saling menghubungi satu sama lain sejak sehari sebelum mereka bertemu. Shahia memberikan nomor teleponnya pada Atlas supaya mereka lebih mudah untuk janjian bertemu di kantor Rinai.

“Kamu udah bilang papamu kalau hari ini pulang agak malam karena ketemu aku?”

Suara berat Atlas yang menenangkan itu mengembalikan Rinai dari lamunannya. “Udah kok, tenang aja.”

“Nanti aku turun sebentar untuk minta maaf ke papamu karena kita pulang kemaleman ya.”

“Eh?” Mereka memang pulang agak terlambat karena terjebak kemacetan, tapi kalau dipikir-pikir, baru Atlas yang dengan beraninya mengatakan ingin bertemu ayahnya di pertemuan pertama mereka.

"Nggak usah nggak apa-apa kok, Al.” Rinai memanggil Atlas dengan nama panggilan yang disarankan Shahia. “Papaku nggak bakal marah kok, toh tadi aku udah chat dia.”

Atlas yang masih menyetir menoleh dan tersenyum pada Rinai. “Kecepetan ya ketemu papa kamu sekarang?”

Rinai tersenyum malu. Ia memang tidak biasa mempertemukan ayahnya dan lelaki yang baru ia kenal atau baru dekat dengannya seperti Atlas.

Meskipun sang ayah mewanti-wanti kalau Rinai harus memperkenalkan semua laki-laki di sekitarnya, tapi Rinai baru mau mengenalkan mereka jika ia dan lelaki itu sudah lebih dari lima kali bertemu.

Atau sederhananya, ketika ia yakin kalau lelaki itu tidak sekadar bertemu sekali lalu menghilang setelahnya.

Melihat respons Rinai, Atlas tertawa pelan. “Oke, kalau gitu, aku ngikutin enaknya kamu aja.”

“Thank you, Al.”

Anytime,” sahut Atlas ringan. Mobilnya berhenti di depan pagar kediaman Abimayu. “Bener di sini?”

“Bener kok.” Rinai melepas seat belt-nya, lalu menoleh pada Atlas. “Makasih ya buat hari ini.”

“Apa kamu enjoy pertemuan pertama kita?” tanya Atlas.

Enjoy banget,” jawab Rinai jujur. “Kamu gimana?”

Rinai tak berekspektasi apa pun mengenai pertemuannya dengan Atlas, tapi siapa sangka dari makanan, film, lagu, buku, hingga hal-hal kecil lainnya di antara mereka ternyata sangat cocok.

Rinai bahkan sampai lupa waktu saat mengobrol dengan Atlas.

“Aku bahkan mau nawarin kamu ketemu sama aku lagi untuk lunch.”

Jawaban jujur Atlas membuat Rinai terkekeh. “Sure.”

Okay,” sahut Atlas yang tidak menyembunyikan kegembiraannya.

“Hati-hati di jalan ya.” Rinai membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum menutup pintunya, ia menambahkan, “Kasih tahu aku kalau kamu udah sampai di rumah ya.”

“Oke, nanti aku akan hubungin kamu. Good night, Nai.”

Good night, Al.”

Rinai menutup pintunya dan melambaikan tangan pada Atlas yang sengaja membuka jendela mobilnya selama beberapa saat, sebelum kemudian melaju meninggalkan kediaman tersebut.

Awalnya Atlas ingin mengantar sampai dalam, tapi Rinai memintanya hanya sampai pagar. Selain karena tak ingin mengganggu penghuni lain, Rinai juga ingin menikmati waktunya untuk berpikir selagi berjalan dari depan pagar sampai rumahnya.

Satpam rumah membukakan pagar untuk Rinai sembari menggoda Rinai supaya lain kali pacarnya itu diizinkan saja masuk sampai halaman. Rinai membalasnya dengan tawa dan mengucapkan terima kasih.

Keluarga Abimayu memang tidak membatasinya, semua temannya diperbolehkan masuk sampai halaman layaknya tamu yang lain, karena akses ke rumah itu hanya ada satu, yaitu pagar depan tadi.

Rinai sendiri berjalan menelusuri halaman depan rumah yang luas tersebut. Karena penerangan di sana selalu terang, maka Rinai tidak pernah takut berjalan sendirian.

Selain lewat pintu penghubung di dapur, akses ke rumahnya juga bisa ditempuh melalui jalan kecil di samping garasi yang langsung terhubung ke halaman belakang.

Ketika melihat mobil Ksatria di halaman, secara otomatis Rinai langsung merengut sebal. Rinai tahu ia dibuntuti Ksatria sejak masih jalan-jalan di sekitar Senayan City.

Awalnya Rinai tentu saja tidak sadar, tapi ketika ia tak sengaja menoleh ketika di eskalator, matanya menemukan dua orang yang ia kenal dari jarak cukup jauh.

Keduanya sedang berdiskusi alot entah tentang apa dan Rinai buru-buru kembali menghadap depan, supaya keduanya tak tahu kalau Rinai sudah menyadari kehadiran mereka.

Dasar nyebelin, gerutu Rinai sembari berjalan ke samping garasi, di mana terdapat celah kecil yang hanya muat untuk dilalui satu orang karena merupakan celah antara dinding garasi dengan dinding tinggi pembatas rumah.

“Kamu baru pulang jam segini?”

“Hah?!” Rinai terlonjak kaget karena ia yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari kalau Ksatria menunggu di jalan kecil tersebut.

Ksatria berdiri bersandar di dinding dan masih mengenakan pakaian kerjanya, minus jas, dasi, dan dua kancing teratas kemejanya yang telah terbuka.

Begitu melihat Rinai, Ksatria langsung menegakkan tubuhnya. “Ngapain aja kamu? Kok pulangnya selarut ini?”

“Ini bahkan belum jam dua belas malam.” Rinai mendengus pelan. “Udah deh, sana, minggir. Aku mau lewat.”

“I don’t like him,” tandas Ksatria. “Si peta dunia itu kelihatan kayak ada hidden agenda sama kamu.”

“Justru serem kalau kamu suka dia.” Rinai mulai bersedekap dada, kesal juga karena Ksatria tak kunjung menyingkir dari hadapannya. “Kalau komentarmu ini dikasih setelah kamu lama kenal dia kayak kamu sama tunanganku dulu, aku masih bisa terima. Tapi omongan kamu tadi justru terdengar nggak masuk akal.”

Ksatria memicingkan matanya. Ia sudah berada di teras rumahnya sejak setengah jam yang lalu, kemudian berpindah ke sini sejak melihat sosok Rinai berjalan dari pagar rumahnya.

Ksatria tidak bisa tidur—lebih tepatnya, ia tak bisa berbuat apa-apa karena pikirannya selalu tertuju pada Rinai dan Rinai lagi. Ksatria tidak tenang dan semakin tidak senang ketika menyadari kalau Rinai berjalan sembari tersenyum sendiri.

“Emangnya kamu seneng jalan sama dia?” Meski enggan mendengar jawabannya, pada akhirnya Ksatria tetap menanyakan hal tersebut.

“Seneng,” jawab Rinai dengan santai. “Dia orangnya baik, lucu, pinter juga, dan apa pun yang kita omongin itu nyambung.”

“Kita kalau ngobrol juga nyambung.”

“Ya jelas nyambung, kita temenan dari bayi!” gerutu Rinai. “Ini bukan pertama kalinya aku deket sama laki-laki, jadi berhenti bertingkah kekanakan begini, Sat.”

“Tapi ini pertama kalinya ada laki-laki yang deketin kamu saat aku bilang aku mau kamu.”

“Kamu bilang kamu mau tidur sama aku,” koreksi Rinai. “Udah deh, Sat, aku capek, mau tidur. Minggir!”

Ksatria menatap Rinai dengan tajam. “Kok kamu nggak mau kasih kesempatan ke aku kayak kamu ngasih kesempatan ke dia sih? You’re unfair, Nai.”

“Unfair?” Rinai tertawa sinis.

Rasanya Rinai ingin membenturkan kepala Ksatria atau membawanya tes urin, siapa tahu sahabatnya itu mengonsumsi obat terlarang sampai-sampai pikirannya bisa sekacau ini.

Apa sih yang merasuki Ksatria sampai bisa menginginkannya?

Setelah persahabatan mereka sejak bayi?

Rinai tak mengerti kenapa Ksatria bisa punya rasa penasaran sebesar itu terhadap dirinya, setelah selama ini mereka bersahabat begitu saja belasan tahun lamanya.

“Kukasih tahu ya, Sat,” desis Rinai kesal. “Jelas aja semua laki-laki punya kesempatan yang sama, kecuali kamu. What you want from me is to sleep together for once, only to fulfil your curiosity. Your feeling is invalid and what you offer to me isn’t something that I’m looking for.”

Setelah mengatakan hal itu, Rinai menarik tubuh Ksatria agar menyingkir dari hadapannya, lalu berlalu meninggalkan Ksatria begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status