Share

BAB 7 - Kalau Akhirnya Kita Tidur Bareng....

Ksatria mengamati Rinai yang bersenandung pelan mengikuti HONNE feat BEKA yang menyanyikan lagu berjudul Location Unknown tersebut. Kepalanya bersandar di kaca dan sesekali jemarinya bermain di permukaan kaca tersebut.

“Kita mau ke mana sih jadinya?” tanya Rinai saat mereka sudah di mobil untuk waktu yang tidak sebentar.

“Nggak tahu,” jawab Ksatria jujur. Malam ini ia yang menyetir karena buat apa juga memanggil Pak Anwar yang sudah tidur.

Rinai berdecak pelan. “Kebiasaan.”

“Ke tempat biasa aja mau nggak?”

“Kota tua?”

“Iya. Kangen makan kerak telur di sana nggak?”

Rinai terkekeh pelan. “Aku lebih kangen kue pancongnya sih.”

“Oke, kita ke sana.” Ksatria mengarahkan mobilnya menuju kawasan Kota Tua yang berdekatan dengan stasiun Jakarta Kota tersebut.

Sejak dulu, Kota Tua selalu menjadi tempat ternyaman mereka. Agak jauh dari rumah, tidak terlalu banyak gedung pencakar langit, dan mereka bisa membeli makanan apa pun yang mereka mau dengan mudah karena semua pedagang berbaris rapi di kawasan tersebut.

Diam-diam Rinai mengamati tingkah Ksatria yang jadi lebih pendiam dari biasanya. Dari pesan yang dikirim Shahia tak lama setelah mereka pergi dari rumah, Rinai jadi tahu kalau Ksatria baru saja berdebat dengan ibunya.

Rinai merasa bersalah karena rasanya ia berdiri di tengah ibu dan anak itu. Namun ia juga tak mungkin melawan Leona begitu saja.

“Kamu kenapa?” tanya Rinai pada akhirnya.

“Kamu kenapa nggak ngomong kalau tadi makan siang sama mamaku?”

Rinai sudah tahu kalau Ksatria tak akan menunda untuk membahas hal ini. “Karena dilarang sama Tante Leona.”

“Tapi kan kamu aspri kamu.”

“Dia mama kamu, Sat.”

Ksatria terdiam.

Rinai pun menghela napasnya. “Aku juga kaget waktu Tante Leona tiba-tiba ngajak ketemu. Katanya jangan ngomong ke kamu. Aku tahu, kamu pasti bakal ngelarang kalau aku kasih tahu. Tapi kamu tahu kan, orang kayak aku nggak punya power buat bantah apa yang mama kamu pinta.”

“Orang kayak kamu?”

“Meskipun kita sahabat, tapi tetep aja aku kan cuma bawahan kamu.”

Ksatria mendecakkan lidahnya. “Makanya aku nawarin posisi yang lebih tinggi tuh jangan ditolak.”

“Posisi lebih tinggi apaan?”

“Jadi sahabatku, pacarku, temen tidurku, istriku—itu lebih tinggi dari posisi struktural mana pun di kantor kita, Nai.”

Rinai sudah ingin menoyor Ksatria, tapi Ksatria bergerak lebih cepat dengan menangkap tangannya dan menggigit tangan Rinai hingga perempuan itu memekik.

“Jijik, Sat!” serunya dengan sebal dan mengusap bekas liur di tangannya ke kaos yang dikenakan Ksatria.

Ksatria tergelak puas melihat ekspresi Rinai. “Makanya, jangan ketagihan noyor aku terus.”

“Setiap toyoran itu muncul karena omongan kamu yang ngawur.”

“Ngawur dari mana? Itu beneran, tahu!”

Rinai hanya memutar kedua bola matanya dan Ksatria mulai banyak tersenyum di sisa perjalanan menuju area Kota Tua.

Setibanya di Kota Tua, Rinai berdecak kagum karena area itu masih ramai bahkan saat malam hari. Seperti tidak ada bedanya dengan siang hari.

Kekaguman Rinai terputus saat tiba-tiba merasakan sesuatu yang jatuh di bahunya. Ksatria bergeser ke hadapannya dan memberi isyarat supaya Rinai memasukkan tangannya ke lengan jaket yang tadi ia sampirkan di tubuh Rinai.

Seperti anak kecil, Rinai menurut saja saat Ksatria dengan telaten memakaikan jaket tersebut padanya.

“Nah, selesai,” gumam Ksatria. “Kamu aku suruh pakai baju yang tebel, malah pakai itu doang.”

“Ini tebel,” bantah Rinai membela atasan knit-nya yang baru ia beli minggu lalu. “Kamu sendiri nggak pakai jaket?”

“Aku lebih tahan angin daripada kamu.” Ksatria menjawab lalu menjulurkan lidahnya, meledek Rinai. “Yuk, aroma kerak telurnya udah bikin aku laper.”

Ksatria merangkul bahu Rinai dan mendekapnya dengan erat supaya orang yang berlalu lalang di sekitar mereka, tidak menyenggol Rinai.

Mereka berhenti di salah satu pedagang kerak telur yang berjualan di samping pedagang kue pancong. Keduanya duduk di tikar yang digelar dan memesan satu porsi kerak telur dan kue pancong untuk mereka berdua.

“Kamu inget nggak dulu gimana ceritanya kita bisa nemuin tempat ini dan nobatin jadi comfort place kita?”

Rinai meringis saat mendengar pertanyaan Ksatria. “Ingetlah.”

Ksatria mengambil es teh milik Rinai dan menyesapnya. Setelah itu, sambil menunggu pesanan mereka yang sedang dibuat, Ksatria jadi mengingat lagi bagaimana mereka dulu menemukan tempat ini sebagai tempat untuk mereka lari sejenak dari kenyataan.

“Waktu itu karena males pulang habis buntutin Mama ke rumah selingkuhannya, kita malah random pilih Kota Tua daripada ke rumah.”

“Kamu diajakin ke mall nggak mau.”

“Bosen.” Ksatria terkekeh. “Lagian di sini jajanannya lebih variatif, Nai. Udah kayak surga.”

Rinai tertawa.

“Kalau dipikir-pikir, sebenernya ngapain ya dulu aku ngajak kamu buntutin mamaku lagi selingkuh?” gumam Ksatria yang masih terdengar cukup jelas oleh Rinai, di antara riuhnya pengunjung dan para pedagang yang masih bersemangat. “Sama aja aku ngasih tahu aib keluargaku ke kamu.”

“Aku juga bingung waktu itu, tapi aku lebih bingung lagi kenapa aku iya-iya aja,” kekeh Rinai. “Mungkin karena aku nggak tega ninggalin kamu sendirian. Kalau kamu nggak aku tahan, pasti kamu udah mukul om itu dari pertama kali liat.”

“Iyalah,” jawab Ksatria dengan bersemangat. “Masuk ke penjara juga nggak apa-apa, yang penting aku puas mukulin dia.”

Hush.” Refleks, Rinai menepuk lengan Ksatria. “Jangan sembarangan! Gimana aku nanti kalau kamu di penjara?”

“Iya ya, nggak ada yang nempelin kamu lagi.” Kali ini Ksatria yang tertawa. “Tapi ya, Nai, kamu sadar nggak sih, kamu selalu ada di setiap momen hidupku? Waktu aku ada di atas dan di bawah. Waktu aku seneng dan sedih. Waktu aku kesepian. Kamu selalu ada di sana.

“Kamu tahu semua tentang aku kayak aku tahu semua tentang kamu. Kayaknya hampir nggak ada rahasia sama sekali di antara kita.”

Ada alarm yang berdering nyaring di kepala Rinai saat Ksatria berkata seperti itu, diikuti tatapan matanya yang berubah.

Terlihat lebih lembut dari biasanya.

“Sat,” gumam Rinai seraya menggeleng pelan. “Jangan diterusin.”

“Kenapa?”

“Nggak baik buat kita berdua,” cicit Rinai. “Apa yang kita punya udah bagus sekarang. Jangan kamu tambah dengan sesuatu yang kita nggak tahu, akan berakhir baik atau buruk."

Akan tetapi, Ksatria tetaplah Ksatria. Ia malah meraih tangan Rinai dan menggenggamnya, menularkan kehangatannya ke tangan Rinai yang dingin karena udara malam.

“Previously, I never thought we’re an item. Sekarang aku kasih tahu kamu satu rahasia, Nai. Rasanya semua hal jadi bener-bener beda setelah kamu pergi karena si bajingan itu.” Ksatria merujuk pada mantan tunangan Rinai. “I realized half of me is missing and it was you. Apa waktu kamu pergi kamu nggak ngerasa kayak gitu juga, Nai?”

Genggaman tangan Ksatria semakin menguat ketika ia bertanya, “Am I the only one who felt like an empty glass when you’re not here with me?”

***

Sejak Rinai kembali ke Jakarta, ia kembali kesulitan untuk tidur seperti saat dulu awal-awal ia pindah mendadak ke Jogja.

Kali ini penyebabnya tentu saja berbeda. Kalau dulu Rinai tak bisa tidur karena terlampau sedih, kalau sekarang karena terlampau bingung.

Percakapannya dengan Ksatria di Kota Tua semalam masih terpatri dengan jelas di ingatan Rinai.

Kata-kata dan tatapan Ksatria, juga apa yang ia rasakan tadi malam, masih benar-benar terasa.

Saat lagi-lagi Rinai tak bisa menjawab pertanyaan Ksatria, lelaki itu tak mendesaknya. Ksatria hanya tersenyum dan kembali menyesap es teh Rinai karena kopi hitam yang ia pesan masih terlampau panas.

“Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa jawab,” kata Ksatria tadi malam. “Malah lebih bagus begitu, berarti kamu mikirin pertanyaanku dan nggak langsung nolak mentah-mentah.”

Rinai berusaha keras untuk tidak canggung di sisa harinya bersama Ksatria.

Malam itu mereka benar-benar membeli hampir semua jenis makanan yang ada di sana. Sesekali dengan noraknya Ksatria minta dipotret dengan ‘manusia perunggu’ yang ada di sekitar mereka.

“Ksatria sialan,” gerutu Rinai sambil mengusap pelipisnya. Perempuan itu melirik jam dinding di kamarnya dan menggeram sebal karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Berapa jam yang ia habiskan hanya untuk memikirkan pertanyaan konyol Ksatria?

Dengan tubuh yang lemas, Rinai berusaha bangkit dari ranjangnya. Rinai mengusap tengkuknya dan menyadari kalau sepertinya ia lemas bukan hanya karena tidur dua jam, tapi memang benar-benar sakit.

Mengurungkan niatnya untuk langsung mandi, Rinai keluar dari kamar dan mengambil termometer. Rinai pun beberapa kali berdeham karena kerongkongannya terasa sangat kering.

“Ah…,” gumam Rinai saat melihat suhu tubuhnya dan menyadari kalau dirinya demam.

Perempuan itu berpikir sebentar, apa kalau ia tetap ngotot untuk bekerja, dirinya sanggup? Belum lagi ia harus berpikir bagaimana caranya supaya bisa biasa-biasa saja di depan Ksatria.

Tapi kalau ia izin sakit, apa Ksatria akan berpikir kalau Rinai menghindarinya?

Rinai yang pusing karena tak tahu harus apa, kembali mendecakkan lidahnya dan beranjak ke dapur untuk memanaskan lauk yang kemarin ia buat. Sambil menunggu makanannya hangat, Rinai mencari obat dan mengambil ponselnya.

Sepuluh menit Rinai gunakan untuk berpikir, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Ksatria.

“Halo, Nai,” sapa Ksatria begitu panggilannya dijawab di dering ketiga.

“Aku izin nggak masuk ya,” kata Rinai sambil kembali mengusap tengkuknya. “Aku nggak enak badan. Surat dok—”

“Kamu sakit? Demam? Pasti karena semalam keluar pakai bajunya yang tipis,” serobot Ksatria panjang lebar. “Udah, nggak usah ada surat dokter. Kaku banget sih kamu. Aku telepon dokter aja biar periksa kamu ya?”

“Nggak usah, Sat. Aku bisa ke dokter di klinik yang deket sini kok.”

“Nurutin aku sekali-kali susah banget ya, Nai?” tukas Ksatria. “Kamu tunggu di rumah. Udah ada makanan belum?”

“Udah, kamu nggak usah nyuruh orang kirim makanan ke sini.”

“Oke.” Ksatria menghela napasnya. “Setelah ini aku minta dokter dateng ke rumah kamu. Nanti Mbak Yuna bakal nemenin kamu biar nggak berduaan sama dokternya dan bisa bantuin kamu.

“Setelah itu, minum obat dan istirahat. Kalau kamu takut ngerasa canggung ketemu aku setelah yang semalam, aku nggak akan ke sana.”

Tangan Rinai yang ada di atas pahanya meremas ujung celana pendeknya saat mendengar apa yang dikatakan Ksatria. “Iya…,” gumamnya.

“Kabarin aku kalau kamu butuh apa-apa, oke?”

“Oke.”

Ksatria tak langsung mengakhiri panggilan tersebut, sementara Rinai tak tahu harus mengatakan apa.

“Aku tutup dulu ya, Nai,” kata Ksatria pada akhirnya. “Aku telepon dokter buat kamu dulu, baru habis itu aku berangkat kerja.”

“Iya….”

Setelah panggilan tersebut berakhir, Rinai duduk termenung sambil menunggu nasinya matang.

Setelah ini… setelah apa yang diucapkan Ksatria semalam, apa yang harus ia lakukan?

***

“Om Sandy udah pulang, Sha?” tanya Ksatria pada Shahia, yang ia tugasi untuk mengawasi Rinai selama ia bekerja.

Kebetulan hari itu Shahia cuti karena sedang cuti tahunannya akan segera hangus kalau ia tak gunakan. Jadilah Ksatria memanfaatkan adiknya tersebut.

Orang-orang di rumah itu sudah terbiasa dengan tingkah Ksatria yang sering kelewat protektif dengan sahabatnya, asistennya, sekaligus anak dari asisten ayahnya tersebut. Jadi tidak ada yang curiga saat Ksatria meminta mereka menjaga Rinai, mengirim dokter keluarga untuk memeriksanya, sampai mengirim adiknya untuk menemani Rinai.

“Udah, tuh lagi ngobrol sama Mas Al.”

Ksatria langsung menegakkan tubuhnya. “Al siapa?”

“Lho, Mas Al yang seniorku. Barusan dia dateng, terus ketemu Om Sandy juga yang belum lama sampai karena khawatir Mbak Rinai sendirian. Duh, sweet banget kan, dibela-belain jam makan siang dateng ke sini buat jenguk Mbak Rinai.”

Sweet dari mananya,” cemooh Ksatria. “Udah sana, kamu nempel terus sama Rinai! Jangan sampai biarin mereka berduaan!"

"'Ih, gimana mereka mau jadian kalau aku gangguin?”

“Pokoknya tempelin terus kayak lintah di betis orang! Sana, buruan!”

Ksatria buru-buru memutus sambungan telepon itu dan bekerja seperti orang kesetanan. Pokoknya hari ini ia harus pulang cepat.

Apa-apaan si peta dunia itu? Bisa-bisanya dia bertemu dengan Rinai?! Bukannya membiarkan Rinai istirahat malah mengganggunya!

Tapi yah, namanya juga ‘manusia berencana, Tuhan yang menentukan’. Rapat mendadak dengan bos besar menghambat rencana bos kecil itu untuk pulang on time.

Ksatria harus berpuas diri keluar dari ruang meeting pukul setengah delapan malam.

Sebelum ayahnya bisa memanggilnya usai mengatakan rapat sudah selesai, Ksatria langsung melesat keluar dan jadi orang pertama yang melewati pintu ruang meeting.

Sayang, kemacetan di hari itu karena ada kecelakaan di jalan utama, membuat Ksatria berada di jalan selama dua jam. Ia sampai di rumah dalam keadaan lelah—baik secara mental maupun fisik.

Seharian ini Ksatria menahan diri untuk tidak menelepon Rinai karena dua hal, karena tak ingin mengganggu waktu istirahat Rinai dan karena ingin menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin.

Rasanya hari ini lebih parah dari setahun saat Rinai tak ada. Hal pertama yang ia lakukan ketika sampai di rumah adalah berjalan menelusuri halaman belakang, lalu beranjak ke samping rumah keluarga Rinai.

Ksatria hafal di mana letak kamar Rinai. Dari luar jendela yang ditutup tirai, Ksatria bisa melihat lampu utama di kamar itu masih menyala, terang benderang.

Ksatria pun mengetuk jendelanya beberapa kali sambil berbisik pelan, “Nai, buka, Nai. Ini aku!”

Lima menit kemudian, jendela itu terbuka dan memperlihatkan Rinai dengan sweater rajutnya. Perempuan itu membelalakkan matanya. “Ngapain manggil lewat jendela?”

“Mau telepon tapi takut kamu udah tidur.”

“Lebih manusiawi kalau lewat telepon lho, Sat,” sindir Rinai yang hanya membuat Ksatria tertawa.

“Kamu udah mendingan?” tanya Ksatria yang tak memedulikan sindiran Rinai.

Ksatria ingin membahas soal Atlas juga, tapi ia memilih menahan diri karena tak ingin Rinai lelah secara emosional akibat berdebat dengannya.

“Udah, makasih tadi udah kirim dokter ke sini.”

“Sama-sama.” Ksatria mengangguk. Lega rasanya saat melihat Rinai tak sepucat di foto yang dikirimkan Shahia tadi siang (tentu saja atas permintaannya). “Udah makan? Udah minum obat?”

“Udah dan udah.” Rinai mengamati penampilan Ksatria yang acak-acakan. Simpul dasinya sudah longgar dan agak miring ke kiri, kemejanya pun sudah kusut. “Kamu mending masuk gih, istirahat.”

“Aku baru bisa istirahat setelah mastiin kamu baik-baik aja.”

“Sat….” Rinai mencengkeram kosen jendelanya. “Please, jangan mulai lagi.”

“Kenapa sih susah banget percaya sama aku, Nai?”

Rinai memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan Ksatria. “Please, berhenti nanyain hal yang nggak ada jawabannya, Sat. Cukup yang semalam aja jadi pertanyaan terakhir kamu.”

“Nai—”

“Udah sana, kamu masuk. Night, Ksatria.”

Tanpa menunggu Ksatria bicara lagi, Rinai menutup jendela dan tirainya. Ksatria masih berdiri di sana meski jendela itu tertutup rapat.

Ksatria tak menyadari kalau seseorang di balik jendela yang ada di lantai dua rumahnya, sejak tadi menatap ke arah Ksatria dan Rinai dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

***

Ksatria mengetukkan kakinya ke paving block berkali-kali karena Rinai tak kunjung muncul. Pak Anwar yang baru kembali dari toilet pun bingung kenapa Ksatria tak langsung masuk ke mobil.

“Nungguin siapa, Mas?”

“Rinai, dia belum ke sini-sini dari tadi.”

Pak Anwar mengernyit. “Lho, Mbak Rinai nggak bilang ke Mas?”

“Bilang apa?”

“Mbak Rinai kan udah berangkat duluan sama pacarnya,” jawab Pak Anwar tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Ksatria yang signifikan. “Kata Mbak Rinai tadi, Mas nggak butuh apa-apa selama perjalanan. Jadi Mbak Rinai pergi duluan.”

Ksatria hanya mengangguk samar dan masuk ke mobil. Pak Anwar pun segera menyusul dan mengemudikan mobilnya menuju Heavenly & Co.

Apa Rinai dijemput si peta dunia? pikir Ksatria sembari menimbang ponsel di tangannya—tengah menimbang apakah ia harus menghubungi Rinai atau tidak.

“Pak Anwar lihat siapa pacarnya Rinai itu?”

“Nggak terlalu, Mas, soalnya tadi saya lagi ngelap mobil,” jawab Pak Anwar begitu Ksatria akhirnya tak tahan untuk tidak bertanya. “Tapi kalau nggak salah, kata si Jamal sih, pacarnya ini kemarin juga dateng jengukin Mbak Rinai.”

“Oh….” Ksatria mengangguk. Berarti benar, yang menjemput Rinai hari ini adalah Atlas. Sudah sejauh apa hubungan mereka sampai lelaki itu menjenguk dan menjemput Rinai?

Berbeda dengan hari-hari lainnya, perjalanan menuju ke kantor hari ini terasa panjang dan lama. Padahal biasanya terasa cepat karena waktunya dihabiskan dengan debat kusir bersama Rinai.

Begitu tiba di kantornya, Ksatria langsung menuju ruangannya dan langkahnya semakin cepat saat melihat Rinai yang sudah duduk di mejanya.

“Rinai, ke ruangan saya sekarang,” kata Ksatria dengan formal begitu melewati meja Rinai.

Rinai yang tahu kalau Ksatria akan bereaksi seperti ini sesuai dugaannya, menghela napas dan menuruti permintaan Ksatria.

“Pagi, Pak,” sapa Rinai yang juga ikut formal seperti Ksatria. “Jadwal Bapak hari—”

“Aku udah hafal jadwalku,” potong Ksatria dengan cepat.

Lelaki itu duduk di sofa dan memberi kode dengan delikan matanya kepada Rinai agar perempuan itu duduk di hadapannya.

Mau tak mau, Rinai duduk di hadapan Ksatria yang memicingkan matanya.

“Kamu udah nggak demam?”

Rinai tertegun di tempatnya.

Selama ia jadi asisten pribadi Ksatria, hanya dua kali Rinai pergi lebih dulu—saat hari pertamanya resmi bekerja dan hari ini. Karena percakapan mereka semalam, Rinai memutuskan untuk memberi jarak sejenak di antara mereka.

Atlas pun menawarkan diri untuk menjemputnya karena lelaki itu tahu ia kemarin sedang sakit. Rinai mengiakan tawaran itu sambil berpikir, kalau Ksatria mungkin akan mencecarnya habis-habisan saat tahu Rinai pergi bekerja lebih dulu.

Tapi siapa sangka pertanyaan pertama yang dilontarkan Ksatria adalah mengenai kondisinya….

“Nai,” panggil Ksatria saat Rinai hanya diam. “Kamu udah nggak demam?”

Rinai menjawab pelan, “Nggak, udah mendingan kok.”

“Udah nggak pusing?”

“Udah nggak.”

“Oke.” Ksatria menghela napasnya dan menyandarkan punggungnya ke sofa. “Kalau gitu kamu bisa kembali ke meja kamu.”

Butuh beberapa detik bagi Rinai untuk memproses apa yang baru saja Ksatria katakan. Ia pun berdiri dari duduknya dan sudah hampir keluar saat Ksatria kembali bersuara.

“Aku kesel kamu tinggalin, tapi aku tahu kamu butuh waktu untuk mikirin keseriusan omonganku selama ini.”

“Maaf,” gumam Rinai.

“Nggak ngebut kan si peta dunia bawa mobilnya?”

Rinai mendengus pelan. “Atlas, Sat, namanya. Dan ya, dia nggak ngebut.”

“Bagus. Lain kali kalau kamu milih pergi atau pulang bareng dia, kasih tahu aku dulu.”

Rinai menoleh ke belakang dan bertemu tatap dengan Ksatria. “Biar kamu nggak nungguin aku?”

Ksatria pun menggeleng. Percuma mengharapkan Ksatria waras—seperti apa yang Rinai lakukan beberapa detik sebelum mendengar jawaban Ksatria.

“Biar aku bisa ngikutin kalian dan mastiin dia nggak macem-macem sama kamu.”

“Yang bener aja, Sat!”

***

Hari itu mereka harus lembur hingga pukul tujuh malam. Ketika Fiona sudah beranjak ke lift meninggalkan Rinai dan Ksatria berdua, Ksatria keluar dari ruangannya dan mengajak Rinai makan lebih dahulu.

“Makan sate yang di belakang itu yuk, Nai,” ajak Ksatria pada sahabatnya tersebut.

“Boleh,” jawab Rinai.

Kebetulan Rinai juga sudah lapar. Perjalanan pulang di jam segini pasti memakan waktu lebih lama daripada biasanya, sampai rumah pasti Rinai sudah sangat kelaparan.

Keduanya pun turun ke lantai dasar dan keluar melalui pintu belakang. Meskipun Ksatria adalah anak bos, tapi makanan favoritnya tetaplah jajanan yang ada di belakang gedung kantornya tersebut.

Karena area tersebut termasuk area perkantoran yang cukup ramai, di sepanjang jalan belakang gedung-gedung itu banyak sekali pedagang dengan berbagai jenis makanan.

Favorit Ksatria kalau malam-malam begini adalah sate ayam bumbu kecap dan ayam bakar kalasan.

“Kayak biasa kan?” tanya Ksatria begitu mereka mendekati kios penjual sate tersebut. “Iya, kayak biasa.”

Rinai mengangguk.

“Sana, cari tempat duduk, aku yang pesen.”

Rinai mengiakan dan masuk ke dalam kios yang cukup ramai. Beruntung ada meja untuk empat orang yang tersisa di sudut kios.

“Pak, sate ayamnya tiga puluh tusuk, bumbu kecap, tomatnya banyakin ya,” pesan Ksatria. “Dipisah jadi masing-masing lima belas, tambah lontongnya masing-masing satu.”

“Siap, Mas!” Pedagang sate yang sudah hafal dengan Ksatria dan Rinai itu menoleh ke arah meja yang ditempati Rinai. “Ah, sekarang udah balik ya mbaknya? Pantes udah pesen tiga puluh tusuk lagi.”

Ksatria tertawa dan mengangguk. Mereka memang sangat sering ke sini sebelum Rinai pergi tahun lalu. Meskipun pedagang itu sudah hafal pesanannya, Ksatria selalu mengucapkan pesanannya secara detail.

Mereka biasa makan tiga puluh tusuk berdua karena Rinai ingin makan lebih dari sepuluh tusuk, tapi tak sanggup kalau harus dua porsi sendirian.

Maka dari itu Ksatria mengusulkan kalau mereka bisa beli tiga porsi dan dibagi dua, supaya keduanya bisa makan banyak tanpa kekenyangan.

Saat Ksatria duduk, Rinai mengamati sahabatnya itu diam-diam. Sejak pembicaraan semalam dan tadi pagi, keduanya tak banyak bicara meskipun Rinai tidak terlalu menjauhinya seperti apa yang diduga Ksatria sebelumnya.

Rinai masih bicara dengan Ksatria, tapi saat Ksatria menunjukkan ingin membicarakan hal lain yang terkesan lebih intimate, Rinai segera menghindar.

“Besok dijemput peta dunia lagi?”

“Nggak, dia pergi ke luar kota sampai weekend.”

Ksatria menghela napas lega. “Bagus.”

Rinai meliriknya dengan sinis dan Ksatria tidak peduli.

“Kemarin kok dia bisa jenguk kamu?”

“Dia nanya aku udah makan siang atau belum terus ya… akhirnya dia tahu kalau aku lagi sakit.”

Ksatria semakin memicingkan mata begitu mendengarnya. “Terus dia ketemu Om Sandy?”

“Iya.”

“Om Sandy kelihatan kesel nggak sama dia?”

Dengan polosnya, Rinai menggeleng dan menjawab, “Nggak, malah mereka berdua ngobrolnya nyambung. Sama-sama olahraga soalnya.”

Shit, maki Ksatria dalam hatinya.

Ternyata ia ketinggalan sepuluh langkah di belakang Atlas. Bisa-bisanya lelaki itu ambil kesempatan saat ia sedang sibuk dan menjaga perasaan Rinai supaya tak tertekan karenanya!

“Sat,” panggil Rinai yang membuyarkan lamunan Ksatria. “Aku mau nanya satu hal sama kamu. Tapi ini cuma perandaian ya, jangan dipikirin terlalu serius.”

“Oke.” Walau begitu, Ksatria langsung menegakkan tubuhnya dan memasang telinga baik-baik.

“Kamu….” Rinai berdeham gugup. Ide ini terlintas di kepalanya saat tak sengaja melihat video stand up comedy di explore I*******m-nya. “Kalau aku kasih kamu kesempatan untuk tidur sama aku, apa kamu bakal langsung puas gitu aja dan akhirnya ninggalin aku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status