Share

BAB 5 - Ini yang Pertama Kalinya Bagi Rinai

Morning, Rinai bukan merek kompor!”

Rinai mengernyitkan kening saat mendengar sapaan Ksatria yang terdengar ceria sekaligus meledek namanya.

Walau begitu, ia tidak berkomentar apa pun dan menyusul Ksatria masuk ke mobil. Pak Anwar segera mengemudikan mobil dan Rinai memejamkan matanya saat mobil tersebut sudah melewati pagar.

Semalaman Rinai sulit tidur karena lelah dan entah kenapa memikirkan kata-kata ayahnya hingga pukul tiga pagi. Kalau orang lain saat lelah jadi bisa cepat tidur, Rinai justru kebalikannya.

“Hari ini kamu nggak ada jadwal ketemu sama si peta dunia kan?” tanya Ksatria mengusik Rinai. “Masa ketemu tiap hari? Kalau mau ketemu tiap hari ya sekolah aja sana.”

“Nyinyir ya kamu sekarang,” komentar Rinai balik. Rinai pun membuka matanya dan menoleh ke arah Ksatria. “Bisa aja kalau aku mau ketemu setiap hari sama dia, nikah aja,” jawabnya asal.

“ENAK AJA!” Ksatria berseru panik hingga membuat Pak Anwar di depan sana juga ikut terkejut. “Nggak, nggak! Nggak ada ceritanya kamu nikah sama dia. Nanti anak kalian namanya jadi Buku Basah dong. Bapaknya Atlas, ibunya Rinai gitu.”

Rinai menoyor Ksatria dan kali ini Ksatria tak bisa menghindar. “Terus anakmu nanti namanya jadi Ksatria Baja Hitam,” ledek Rinai balik.

“Nggak dong. Kan tergantung kamu maunya anak kita namanya apa.”

Rinai langsung menoleh dengan panik ke arah Pak Anwar yang terbatuk-batuk. Tahu kalau sebentar lagi Rinai akan memakinya, Ksatria buru-buru menaikkan partisi supaya Pak Anwar tak dapat mendengar pembicaraan mereka.

“Ksatria!” panggil Rinai dengan frustasi. “Please, berhenti dong jadi gila kayak gini. Yuk, waras lagi, Sat.”

“Apa sih? Aku nggak gila, Nai.”

“Kamu gila.”

“Emang kamu dokter?”

“Bukan, tapi kelakuan kamu tuh mulai bikin aku juga stress.”

“Stress atau tergila-gila sama aku?” goda Ksatria seraya menaik-turunkan alisnya, menggoda Rinai tanpa peduli kalau saat ini Rinai mungkin sudah keluar tanduk di kepalanya.

“Sadar, Sat, sadar,” omel Rinai lagi. “Kamu nggak mungkin mau aku kayak yang tadi malam kamu bilang. Jadi berhenti recokin hidupku.”

Sebelum Ksatria sempat membantah, Rinai lebih dulu menekan tombol untuk kembali menurunkan partisi mobil. Pak Anwar melirik mereka beberapa kali, antara ingin tahu dan khawatir.

Sama dengan ayah Rinai, lelaki paruh baya itu juga sudah bekerja cukup lama untuk keluarga Abimayu. Rumahnya juga tak jauh dari rumah orangtua Ksatria dan ia menjadi sopir untuk Ksatria sejak lelaki itu bekerja untuk Heavenly & Co.

“Pak, kalau Ksatria ngomong yang aneh-aneh, nggak usah didengerin ya. Anggap aja dia lagi mabuk,” kata Rinai pada lelaki paruh baya itu.

Jangan sampai Pak Anwar mengadukan apa yang ia dengar ke ayah Rinai. Kalau ayahnya mengetahui bagaimana manuver Ksatria selama ini, pastilah Rinai tak akan selamat.

Nasihat ayahnya semalam semakin jelas terngiang di kepala Rinai. Ia tak boleh terperangkap ke dalam apa pun yang tengah direncanakan oleh Ksatria.

“Iya, tenang aja.” Pak Anwar tersenyum maklum. “Bapak pinter jaga rahasia. Buktinya tiap Bu Leona nanya ke mana aja Mas Ksatria pergi, Bapak nggak ngomong apa-apa.”

Ksatria meringis mendengar jawaban gamblang dari Pak Anwar. Sementara itu, Rinai hanya berdeham pelan dan memilih untuk tidak menghiraukannya. Rinai pun memejamkan matanya dan memutuskan untuk tidur di sepanjang sisa perjalanan menuju Heavenly & Co.

Ksatria tadinya ingin mengusik Rinai kembali, tapi saat melihat Rinai yang terlelap, ia tak tega dan memutuskan untuk mengajak Pak Anwar mengobrol dengannya.

“Pak, emang saya nggak cocok ya sama Rinai?” tanyanya dengan santai.

Pak Anwar meringis mendengar pertanyaan tersebut. “Emangnya Mas Ksatria sanggup ngadepin Pak Sandy? Pak Sandy kalem-kalem gitu galak lho, Mas.”

Ksatria jadi ingat dengan tatapan curiga dan tajam Sandy Prawara terhadapnya tadi malam. Benar juga… selama ini Sandy mungkin memang menganggapnya anak karena mereka cukup dekat, sebab Sandy-lah yang kerap kali menggantikan peran ayahnya kalau ayahnya sibuk.

Tetapi, Sandy juga tahu bagaimana sepak terjangnya selama ini.

Untuk pertama kalinya, Ksatria jadi berpikir ulang mengenai hidup yang selama ini sudah ia jalani.

***

Pukul setengah dua belas siang adalah waktu-waktu krusial bagi pegawai kantoran. Waktunya istirahat belum tiba tapi kebanyakan dari mereka sudah mulai sulit berkonsentrasi dengan pekerjaan masing-masing.

Akan tetapi, hal itu tak berlaku bagi Rinai siang ini. Karena masih mengantuk, yang ia inginkan saat waktu istirahat nanti hanyalah tidur. Rinai bisa bertahan dengan semangkuk granola yang selalu ada di pantry lantai tersebut untuk mengganjal perutnya.

Saat tengah berpikir di mana ia bisa curi-curi waktu untuk tidur, ketukan heels yang familier karena Rinai sering mendengarnya membuat Rinai mengalihkan pandangannya dari layar MacBook-nya.

“Bu Leona,” sapa Rinai yang langsung bangkit berdiri dari kursinya. Sejak dulu Rinai terbiasa memanggil orangtua Ksatria di luar kantor dengan ‘Om dan Tante’ sesuai permintaan mereka, kalau di kantor ia akan memanggilnya dengan formal seperti pegawai lain.

“Nai,” sapa Leona dengan ramah. “Ksatria ada di ruangannya?”

“Ada, Bu.” Rinai mengangguk.

Rinai bergerak mengetuk pintu ruangan Ksatria seraya memperhatikan sekilas perempuan berambut brunette yang mengenakan heels dari Amina Muaddi yang ikonik tersebut.

“Siang, Pak.” Rinai menyapa Ksatria dengan formal. “Ada Bu Leona datang.”

Ksatria yang tadinya tengah duduk langsung berdiri menghampiri ibunya yang masuk ke ruangannya. Leona tak sendiri, ia bersama perempuan yang baru kali ini Ksatria lihat.

“Mama ngapain ke sini?” tanya Ksatria dengan bingung.

“Mama bawa calon kamu yang Mama udah bilang itu lho,” jawab Leona dengan santai.

“Calon apa? Gubernur?”

“Calon istri dong, Ksatria,” jawab Leona dengan gemas. Leona dan Aleah tidak memperhatikan Rinai yang tertegun di tempatnya seraya memegang kenop pintu. “Kenalin, Ksatria, ini Aleah. Aleah, ini Ksatria, anak sulung Tante.”

Ksatria melirik Rinai, tapi perempuan itu melengos dan bergumam pelan untuk pamit pada Leona. Leona menoleh pada Rinai dan menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih pada asisten pribadi anaknya tersebut.

Usai menutup pintu, Rinai kembali ke mejanya dan mengerjakan hal yang tadi sempat terhenti. Fiona, sekretaris Ksatria yang selama ini mengamati hubungan antara atasan dan asisten pribadinya itu, mengernyit pelan.

“Mbak,” panggil Fiona pada Rinai.

“Kenapa, Fi?”

“Mbak nggak apa-apa?”

“Hah?” Rinai malah bingung ketika ditanya seperti itu. “Nggak apa-apa, kenapa?”

“Itu….” Karena pintu yang tadi belum tertutup, Fiona pun mendengar ucapan Leona. “Pak Ksatria dibawain calon istri, Mbak Rinai nggak apa-apa?”

Butuh lima detik untuk Rinai mengerti dan setelahnya ia tertawa. “Nggak apa-apalah. Bagus malah.”

Memang benar kata ayahnya, Rinai tak seharusnya terjebak untuk bermain api dengan Ksatria. Dipandang dari sudut mana pun, tidak ada bagusnya jika ia mengikuti alur permainan sahabatnya itu.

Meskipun tak pernah ada yang bilang pada Rinai, tapi Rinai juga sadar siapa dirinya. Mudah bagi Ksatria bermain dengan perempuan sepertinya, tapi akan sulit bagi Rinai menyembuhkan hatinya jika ia benar-benar terjebak dan menggunakan hatinya dengan Ksatria.

Pada akhirnya, jika suatu saat Ksatria harus berlabuh pada satu orang perempuan, Ksatria hanya cocok dengan perempuan seperti Aleah.

Cantik, terlihat berkelas, dan setara. Dibandingkan dengan Rinai, Rinai tak ada seujung kuku pun dibanding dengan Aleah.

***

“Nai, meskipun aku punya calon istri, aku tetep maunya sama kamu.”

“Uhuk!”

Rinai menepuk dadanya berkali-kali karena tersedak kopi yang tengah ia minum. Ksatria hendak mendekat, tapi Rinai segera mencegahnya.

Siang tadi Ksatria, Leona, dan Aleah makan siang bersama. Ksatria sudah hampir menyeret Rinai ikut, tapi Rinai dengan cepat berkelit dan mengatakan kalau ia akan makan siang dengan Fiona.

Leona berterima kasih padanya lewat tatapan mata, menganggap kalau Rinai mengerti ia sedang berusaha mendekatkan Ksatria dan Aleah.

Di waktu istirahat tadi Rinai jadinya tak jadi tidur dan pukul tiga sore ini, Ksatria mengajaknya coffee breaksebentar di coffee shop yang ada di lantai tiga gedung kantornya.

Mereka berdua sudah terbiasa sejak dulu untuk beristirahat sebentar di jam-jam kritis seperti ini. Jadi bukan pemandangan baru di coffee shop tersebut untuk mendapati Ksatria dan Rinai yang duduk di sana saat hari menjelang sore.

“Kamu kalau ngomong jangan sembarangan deh, Sat,” kata Rinai setelah lebih baik. Kedua tangan Rinai menggenggam erat gelas double shots iced shaken espresso-nya. “Aleah keliatannya lumayan, gimana tadi makan siangnya?”

Ksatria mendecakkan lidahnya. “Biasa aja. Makanannya jadi hambar karena Mama sibuk ngoceh.”

“Gitu-gitu mama kamu lho itu.”

“Kenapa sih tadi kamu malah nggak ikut aku?”

“Ngapain? Nanti aku ganggu usaha mamamu.”

Ksatria memicingkan matanya, lalu mencondongkan tubuhnya supaya bisa menatap Rinai dengan lebih dekat. “Oh, kamu cemburu ya liat ada perempuan lain?”

Rinai tertawa dan menahan diri untuk tidak menoyor Ksatria, bagaimanapun mereka masih berada di lingkungan kantor. “Mimpi!”

“Kamu emang beneran nggak cemburu, Nai?”

“Nggaklah,” bantah Rinai dengan cepat. Nada suaranya meninggi satu oktaf saat melanjutkan, “Gila aja kalau aku cemburu.”

“Mama nyuruh aku deket dulu sama Aleah sebelum mutusin buat tunangan, semacam PDKT,” cerita Ksatria tanpa diminta.

“Oh, bagus dong. Setidaknya Tante Leona nggak buru-buru nyuruh kamu nikahin dia.” Rinai mengangguk suportif. Perempuan itu memotong cheese cake di hadapannya dan menyuapnya dengan santai.

Ksatria memperhatikan gestur Rinai selama ia membicarakan pertemuan pertamanya dengan Aleah.

“Aku maunya ka—NAI!” desis Ksatria saat di bawah meja di antara mereka, Rinai menginjak kakinya keras-keras.

Sebenarnya Ksatria sudah menolak mentah-mentah usulan ibunya, juga sosok Aleah. Sesaat sebelum makan siang itu berakhir, Ksatria memberi tahu ibunya kalau ia tak akan mau dijodohkan dengan Aleah atau perempuan mana pun di muka bumi ini.

Tapi Leona adalah Leona. Sifat tak mau mendengarkan apa kata orang lain yang dimiliki Ksatria, ya diturunkan dari Leona.

Jadi Leona mengatakan kalau Ksatria harus tetap mencoba jalan bersama Aleah minimal selama enam bulan, sebelum dua keluarga bertemu untuk membahas pertunangan jika Aleah merasa cocok dengan Ksatria.

Hanya pendapat Aleah yang didengarkan dan pendapat Ksatria diabaikan begitu saja. Ksatria jadi berpikir, sebenarnya yang anak Leona itu siapa? Dirinya atau Aleah?

“Kayaknya kamu harus belajar mana yang bisa kamu ucapkan dan mana yang mending kamu simpan sendiri di otakmu,” kata Rinai setelah menyingkirkan kakinya dari atas kaki Ksatria.

“Apa yang tadi mau aku omongin itu, seisi dunia harus tahu lho, Nai.”

“Kopiku masih lumayan banyak buat nyiram kepalamu.”

Ksatria mendengus pelan mendengar ancaman Rinai. “Jadi kamu maunya gimana, Nai? Apa mau kita ngaku di depan Mama aja biar Mama batalin perjodohan sinting itu?”

Rinai menghela napasnya begitu mendengar pertanyaan Ksatria. Lelaki itu menanyakan hal tersebut seakan-akan mereka sedang membahas siapa yang akan maju presentasi di kelas saat kerja kelompok di mata pelajaran Geografi.

“Nggak usah bawa-bawa aku,” tampik Rinai. “Kita nggak ada apa-apa sampai harus ngaku di depan Tante Leona. Kalau kamu nggak suka dia, ya tolak aja langsung. Kalau nggak ada yang salah, coba aja jalanin dulu.

“Kamu tuh kebiasaan untuk hal-hal kayak gini malah nanya ke aku, belajar deh kurangin ketergantungan kamu yang ini, Sat. Kayaknya hal ini juga yang bikin kamu ngerasa halu pengen aku berhubungan sama kamu bahkan sampai tidur bareng.”

Ksatria terdiam ketika menyadari sekalinya Rinai bicara panjang, perempuan itu malah terdengar seakan mendukung perjodohan antara dirinya dengan Aleah.

Ksatria tahu latar belakangnya dan apa yang selama bertahun-tahun ini ia lakukan, tidak akan membuatnya jadi calon pacar potensial. Namun, Ksatria baru kali ini menyadari kalau getah dari apa yang selama ini ia lakukan benar-benar menyebalkan.

Rinai bahkan tidak percaya dengan kata-katanya sama sekali.

“Begitu?” tanya Ksatria sebelum menyesap habis sisa Americano On The Rock-nya.

Rinai mengangguk. “Ini kan soal hidupmu, Sat, jangan sampai hal-hal nggak penting malah mempengaruhi kamu saat mau ambil keputusan dan bikin nantinya malah bikin kamu menyesal.”

“Tapi kamu kan penting buatku.”

Rinai mendengus pelan. “Jangan mulai deh.”

“Beneran kamu rela liat aku jalan sama Aleah?”

“Hei, selama ini yang halu itu kamu, bukan aku.” Rinai menyandarkan tubuhnya ke sofa yang ia duduki. “Lagipula aku udah liat kamu sama banyak perempuan selama ini, bahkan aku yang stok terus kondommu.”

Mereka berdua bertukar tatap selama beberapa saat dan Rinai-lah yang pertama kali melengos.

Tatapan itu lagi.

Tatapan Ksatria padanya sama persis dengan semalam. Rinai beruntung di sisa hari ini Ksatria tak kembali membahas kejadian semalam. Tetapi, cara Ksatria menatapnya yang sudah mulai berubah dari yang dulu-dulu, membuat Rinai resah.

“Udah habis kan minumanmu?” tanya Rinai. “Ayo, balik ke atas.”

Ksatria menurut dan keduanya keluar dari gerai coffee shop tersebut.

Ketika tengah menunggu lift, akhirnya Ksatria berkata, "Kalau gitu coba kamu cari tahu apa kesukaan Aleah, Nai. Sekalian reservasi restoran buat dinner sama dia. Sesuaikan waktunya dengan jadwalku dan Aleah.”

Permintaan tiba-tiba itu hanya ditanggapi dengan ‘iya’ oleh Rinai. Rinai tidak tahu apakah langkah ini adalah wujud dari berubahnya pikiran Ksatria mengenai Aleah dan perjodohan yang dirancang ibunya, atau ada agenda lain di baliknya.

Yang pasti, ini pertama kalinya bagi Rinai untuk mencari tahu apa yang disukai perempuan yang tengah dekat dengan Ksatria. Karena biasanya, Ksatria tidak peduli pada hal-hal kecil mengenai perempuan yang dekat dengannya—kecuali Rinai.

***

“Jangan lupa ya, hari ini kamu makan malam sama Aleah di restoran yang udah aku reservasi,” kata Rinai setelah mereka selesai meeting pukul empat sore hari itu.

Sudah tiga hari berlalu sejak Ksatria meminta Rinai mengatur pertemuan kedua Ksatria dengan Aleah. Rinai sudah berhasil menemukan hal-hal yang disukai Aleah, hal ini termasuk hal yang mudah karena Aleah memajangnya di media sosial miliknya.

Selain itu, Rinai juga sudah mereservasi salah satu restoran milik keluarga Yogas, salah satu sahabat Ksatria, yang termasuk ke salah satu daftar restoran favorit Aleah.

“Oke,” sahut Ksatria. “Bunganya udah dipesenin juga?”

“Udah.”

Ksatria juga menambahkan pada Rinai kemarin untuk membelikan buket bunga yang bisa ia berikan kepada Aleah nantinya.

Kalau orang lain melihat apa yang dipersiapkan Ksatria, mereka bisa berpikir kalau Ksatria memang serius untuk melakukan pendekatan pada Aleah.

Tapi sebagai orang yang mengenal Ksatria bertahun-tahun lamanya, Rinai tahu apa yang dilakukan Ksatria saat ini bukan karena ia menyukai Aleah. Tetapi, kalau Ksatria tidak menyukai Aleah, kenapa juga Ksatria melakukan hal-hal ini?

Nggak mungkin dia begini karena mau bikin aku… cemburu kan? pikir Rinai dengan ragu.

Dua setengah jam kemudian, Ksatria keluar dari ruangannya. Fiona sudah izin pulang terlebih dahulu karena hari ini ia izin masuk setengah hari. Jadilah tinggal Ksatria dan Rinai di sana.

“Pak Anwar udah aku kasih tahu ya kamu mau ke mana malam ini,” kata Rinai seraya mengangkat tote bag-nya dan berjalan menyusul Ksatria. “Kamu kenapa nggak nyetir sendiri terus jemput Aleah aja?”

“Males muter-muter,” jawab Ksatria dengan enteng. “Dan siapa tahu nanti minum sedikit, aku nggak mau nyetir meskipun baru minum setetes.”

Rinai hanya mengangguk. Untuk prinsip Ksatria yang satu ini, Rinai sangat mengapresiasinya sejak dulu. Kalau ada orang yang berpikir tidak apa-apa minum dan menyetir asalkan tidak mabuk, Ksatria sejak dulu sangat anti akan hal tersebut.

Aroma parfum racikan Ksatria yang memang selalu lelaki itu pakai memenuhi indra penciuman Rinai. Lelaki itu jelas bersiap sekali untuk makan malam hari ini. Semua benar-benar direncanakan dengan matang dan Rinai terlibat di dalam semuanya.

Rinai bahkan menyadari kalau jas yang saat ini dikenakan Ksatria berbeda dengan yang tadi lelaki itu kenakan saat bekerja.

“Oke,” sahut Ksatria lagi. “Kamu nggak dijemput si peta dunia kan hari ini?”

Rinai mendelik sinis pada Ksatria. “Nggak. Nanti aku pulang pesen Grab kok.”

“Pulang? Siapa yang nyuruh kamu pulang?”

“Hah?” Pembicaraan mereka tersela karena lift yang terbuka.

Keduanya masuk dan begitu pintu tertutup, Ksatria menjelaskan, “Kamu ikut aku makan malam. Nanti kita pulang bareng.”

“Hah?!”

“Sekali lagi ngomong ‘Hah’, kamu aku nobatin jadi tukang keong, Nai.”

Rinai melotot tak percaya. “Sat, mana ada orang romantic dinner tapi bawa asprinya? Nggak, aku bakal pulang!”

“Ada, orangnya adalah aku,” jawab Ksatria penuh percaya diri seperti biasanya. “Kamu harus ada di sana untuk memastikan semua keperluanku ada, Nai. Ini perintah.”

Rinai menggeram kesal, tapi Ksatria tidak memedulikannya. Mereka keluar dari lift begitu tiba di lobi dan segera masuk ke mobil yang telah menunggu di pelataran lobi.

Satu hal yang selama ini sulit untuk Rinai tolak adalah tentu saja perintah Ksatria. Tahu kalau ia tak akan bisa berkutik, akhirnya Rinai dengan pasrah mengikuti Ksatria malam itu.

Pak Anwar yang semula diberi tahu oleh Rinai kalau malam ini ia hanya akan mengantar Ksatria, tentu bingung dengan kehadiran Rinai. Namun, lelaki paruh baya itu dengan bijak tidak bertanya apa pun pada mereka.

Begitu sampai di pelataran restoran, Ksatria membuka pintu seraya membawa buket bunga yang sudah disiapkan sebelumnya.

Ketika Rinai tak kunjung keluar, Ksatria membuka pintu mobil di sisi Rinai dan menatapnya dengan heran.

“Jadi sekarang kamu baru mau keluar kalau aku bukain pintu?”

“Hah?”

“Kan, tukang keong,” ledek Ksatria.

“Ngapain aku ikut keluar?” tanya Rinai dengan kepanikan yang ia coba untuk sembunyikan. “Aku di mobil aja sama Pak Anwar. Kalau kamu ada perlu sesuatu tinggal chat atau telepon aja.”

“Nggak praktis.” Ksatria memutar kedua bola matanya dengan malas. Ksatria pun menarik tangan Rinai hingga perempuan itu mau tak mau keluar dari mobil. “Ayo, ikut ke dalam.”

Rinai tentu saja langsung melotot. Selama ini, Rinai tidak pernah terlibat dalam satu kencan pun di kehidupan Ksatria. Mana pernah Rinai ikut Ksatria makan malam dengan pasangan kencannya seperti ini?

“Jangan gila deh, Sat,” desis Rinai dengan tertahan. “Nggak mungkin aku ikut kamu.”

“Mungkin aja, kan aku yang suruh.”

“Kamu bener-bener otoriter!”

“Sesekali jadi otoriter nggak apa-apa, Nai.”

Akhirnya Rinai pun ikut masuk ke restoran tersebut. Entah beruntung atau sial, restoran yang biasanya selalu penuh karena direservasi sejak jauh-jauh hari oleh tamu lain itu, malam ini memiliki satu meja kosong untuk Rinai.

Ksatria memang tak memaksa Rinai untuk satu meja dengannya dan Aleah—syukurlah Ksatria masih punya tata krama. Namun lelaki itu menempatkan Rinai di meja yang membuatnya dan Rinai bisa saling melihat dengan jelas.

“Kamu duduk di sini.” Ksatria menekan kedua bahu Rinai saat perempuan itu sudah duduk di kursinya. “Kalau nanti aku butuh sesuatu, aku akan panggil kamu.”

Rinai memberanikan diri untuk menoleh pada Ksatria dan memicingkan matanya. “Maksudnya apa sih aku disuruh ikut ke sini?”

“Biar kamu bisa lihat dengan mata kepala kamu sendiri, bener nggak aku cocok sama Aleah.” Ksatria tersenyum tengil seperti biasanya. “Aku kan pernah ada di posisi kamu sekarang ini, Nai, waktu kamu pertama kali jalan sama si peta dunia.”

“Sat, kamu nih—”

Ksatria yang berdiri di samping kursinya, langsung menunduk dan berbisik di telinga Rinai, membuat perempuan itu bisa merasakan deru napas Ksatria yang menggelitik kulit lehernya.

“Sekarang, kamu rasain ada di posisiku waktu itu. Duduk di sini dan lihat aku sama orang lain. Kalau kamu ngerasa nggak suka ngeliat aku sama Aleah, kasih tahu aku ya, Nai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status